Bagus Ardiyansyah
Pegiat Sanglah Institute
Dosen Sosiologi UNUD
Isu
fatherless di Indonesia merujuk pada situasi di mana anak tumbuh tanpa
figur ayah dalam kehidupan mereka, baik karena perceraian, perpisahan,
meninggal dunia, atau bahkan ketidakhadiran fisik atau emosional dari seorang
ayah. Fenomena ini berpengaruh besar pada perkembangan sosial, emosional, dan
psikologis anak. Konsekuensi dari kekurangan figur ayah dalam kehidupan anak
sangat beragam, mulai dari masalah dalam membentuk identitas diri, kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain, hingga perasaan kurangnya perlindungan dan
dukungan emosional. Anak yang tumbuh tanpa ayah juga berisiko lebih tinggi
terlibat dalam perilaku negatif seperti kecanduan, kekerasan, dan masalah
mental. Salah satu pendekatan yang
dapat dilakukan adalah dengan menguatkan pentingnya kehadiran emosional ayah
dalam kehidupan anak, serta mengajarkan pentingnya peran ayah dalam membentuk
karakter anak-anak mereka.
Lebih
dalam, pada tulisan beberapa waktu silam, telah disinggung perihal
maskulinitas, di mana beresensi jamak dan terpetakan ke dalam beberapa bagian,
dan salah satunya adalah maskulin tahun 1980-an dengan cirinya new man as
nurture and new man as narcissist. Kali ini akan membahas secara sekilas
tentang new man as nurture yang menunjukkan bahwa laki-laki juga punya
sifat alamiah—kasih sayang dan perhatian—tindakannya melibatkan emosional. Pada dasarnya, rumah juga sebagai
tempat bagi laki-laki, sehingga absennya laki-laki dalam hal ini kurang tepat.
Laki-laki dan rumah bukan sebatas pada melakukan sesuatu yang hanya menggunakan
kekuatan otot, tetapi termasuk kekuatan perasaan yakni tentang pengasuhan dan
perawatan anak-anak, pekerjaan rumah tangga serta aktivitas-aktivitas lainnya
yang secara tradisional masuk dalam paradigma sebagai pekerjaan. Hal ini
memunculkan istilah krusialnya fatherhood
atau “kebapakan”, yakni bentuk maskulinitas yang melibatkan ayah untuk
lebih bertanggung jawab pada hal-hal yang berkaitan dengan mengasuh anak. Fatherhood
merupakan instrumen menuju suatu keintiman yang seringkali absen antara
laki-laki (ayah) dan anak, juga sebagai navigasi untuk menumbangkan citra
maskulin hegemonik yang menganggap fatherhood sebagai ketergantungan
serta kerapuhan sehingga tidak layak masuk dalam barisan maskulinitas.
Meningkatnya perhatian laki-laki terhadap isu
fatherhood salah sekiannya terjadi pada awal tahun 1987, di mana mahasiswa Oxford yang bernama Robert
Carver meminta Pengadilan Tinggi mengeluarkan surat perintah untuk mencegah
pasangannya melakukan aborsi.
Lebih
jauh, ihwal new man as nurture—fatherhood kiranya bisa lebih terpahami
lewat teori yang dicetuskan oleh Michael E. Lamb. Lamb, mencetuskan teori fatherhood
involvement atau father involvement (keterlibatan ayah dalam
pengasuhan)—ihwal yang dekat secara sosiologis—yang merupakan terjunnya
laki-laki atau ayah dalam dunia domestik berupa interaksi dengan anak,
memberikan kehangatan, pemantauan, serta bertanggungjawab pada keperluan dan
kebutuhan anak. Konsep di dalam teori tersebut, antara lain sebagai berikut;
- Interactional dan intimacy (Paternal
Engagment) (kedekatan emosional dengan anak), merupakan dimensi berupa
interaksi atau ikatan, baik langsung atau tidak langsung, antara ayah dan
anak, mulai dari aktivitas serta kehangatan yang diberikan ayah pada
anaknya, dan memiliki sifat dua arah antara ayah dan anak.
b. Accessibility atau provision
(Paternal Accessibility), berupa kebutuhan anak akan kehadiran atau
ketersediaan ayah. Dimensi ini merupakan bentuk pengasuhan atau keterlibatan
yang memungkinkan seorang pasangan mengasuh anak; menentukan standar materi
bagi kehidupan keluarga. Dengan kata lain, konsep ini menggambarkan di mana
ayah secara fisik atau nonfisik hadir di rumah tapi tidak berhubungan langsung
dengan sang anak.
c. Responsibility dan protection
(Paternal responsibility) adalah bentuk keterlibatan yang meliputi tanggung
jawab seorang ayah dalam mengurus serta memenuhi kebutuhan sang anak. Di sisi
lain, dimensi ini mencakup bagaimana seorang ayah terlibat dalam mengontrol,
perencanaan, dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan anak. Dengan
demikian, menunjukkan sejauh mana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak,
termasuk dari bahaya fisik maupun pengaruh negatif, juga endowment (memberikan waktu, uang, dan
tenaga untuk masa depan anak atau keluarga). Sederhananya, merupakan pelibatan
dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengorganisasi.
Dalam
konteks ini, fatherhood bukan hanya tentang menjadi penyedia materi,
tetapi juga tentang hadir secara emosional dan mendidik anak-anak dengan
nilai-nilai positif. Maskulinitas ini mendorong pria untuk lebih terlibat dalam
kehidupan keluarga, tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam
pengasuhan anak dan hubungan yang penuh kasih. Menumbuhkan figur ayah yang
tidak hanya berbicara tentang kekuatan fisik, tetapi juga kesadaran emosional,
pengertian, dan kepercayaan diri, dapat memberi dampak besar terhadap
perkembangan anak. Oleh karena itu, pendidikan tentang fatherhood dapat
memberikan wawasan kepada para pria di Indonesia untuk berperan lebih aktif
dalam keluarga mereka dan membantu mengatasi kesenjangan yang timbul dari
ketidakhadiran ayah.
Representasi
fatherhood ini telah dilakukan dalam media, misal dalam novel, film, dan
sebagainya. Beberapa film yang merepresentasikan fatherhood diantaranya,
Kramer vs Kramer, Gifted, The
Family Man, The Good Father, dan
lain sebagainya. Dalam film The Good Father, yang diperankan oleh
Anthony Hopkins, mengisahkan ihwal peran ayah yang terlibat dalam usaha
memenangkan hak asuh anaknya, juga menyingkapi misogini serta konflik kekuasaan
yang mengintai dari balik fatherhood. Lebih lanjut, praksis fatherhood
yang terjadi dalam karya sastra, misal di Indonesia, seperti dalam novel Ayah
Mengapa Aku Berbeda karya Agnes Davonar (2011), Ayah Pemilik Cinta yang
Terlupakan karya Eidelweis Almira, Ayahku (bukan) Pembohong karya
Tere Liye, dan novel-novel lainnya. Dengan memperkuat maskulinitas yang penuh
empati dan bertanggung jawab (Fatherhood), kita bisa berharap dapat
mengurangi dampak negatif dari isu fatherless dan meningkatkan
kesejahteraan anak-anak di Indonesia.
*****
0 Comments:
Post a Comment