Fina Yulfa Laila
Mahasiswi
Sosiologi, Universitas Udayana
Martha Craven Nussbaum merupakan
cendekiawan perempuan yang lahir pada 6 Mei 1947. Beliau adalah seorang profesor
di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nussbaum memiliki konsentrasi studi
pada bidang filsafat Yunani Kuno dan Romawi Kuno, filsafat politik, eksistensialisme,
feminisme, serta etika. Selain itu, Nussbaum merupakan anggota Dewan Program
Hak Asasi Manusia dan anggota Komite Studi Asia Selatan.
Salah satu kritikan Nussbaum menyasar fenomena
rasial pada masyarakat global. Salah satu pernyataan Marcus Aurelius yang
dikutip Nussbaum adalah, menjadi warga dunia seharusnya tidak hanya mengharuskan
diri mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk
berimajinasi terhadap sesama. Hal ini perlu untuk menekan angka rasisme yang
sudah dinormalisasi oleh kebanyakan masyarakat. Marcus Aurelius menjelaskan bahwa
imajinasi simpatik mampu membantu seseorang dalam memahami motif dan pilihan
orang-orang yang berbeda, seperti perbedaan agama, jenis kelamin, rasial,
kelas, dan asal kebangsaan.
Nussbaum sebagai sosok yang mendalami
fenomena multikultural pada masyarakat global, menilai bahwa sekian banyak
perbedaan membuat tugas pemahaman simpatik menjadi semakin sulit. Kondisi ini
terjadi karena perbedaan yang tidak hanya membentuk pilihan praktis kelompok,
melainkan juga “bagian dalam” mereka seperti keinginan, pikiran, dan cara
pandang.
Internalisasi stereotipe rasial dari
ilmu sejarah juga memiliki pengaruh pada harga diri, prestasi, dan cinta yang
memungkinkan kelompok membuat penilaian negatif pada kelompok lain, yang seolah
valid karena berdasarkan internalisasi pengetahuan rasial yang diperoleh. Nussbaum
juga mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Rousseau, orang-orang tidak sepenuhnya
memahami fakta sosial yang terjadi sampai mereka mampu membayangkan kondisi
sakit yang dialami orang lain.
Faktanya, individu akan kesulitan jika
dipaksa untuk membayangkan posisi atau kondisi individu lain yang belum pernah
dialaminya, misalnya seorang yang kaya berusaha menempatkan diri pada posisi
sulit orang miskin. Hal ini sebagaimana perbedaan kelas sosial yang digambarkan
dalam novel Charles Dickens, Hard Times
dan A Christmas Carol. Kondisi tragis
yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah dalam novel Dickens mungkin
dipahami oleh pembaca dari kalangan berada, tetapi kondisi ini menjadi
keprihatinan yang melintas sesaat atau bisa dikatakan tidak ditindaklanjuti
karena hanya menjadi penonton dalam fakta sosial terpinggirnya suatu kelompok.
Berdasarkan pengamatan Nussbaum, hal ini
terjadi karena telah mengakar kuatnya hak istimewa dan konvensi dari kelas,
ras, etnis, jenis kelamin, dan bangsa pada suatu masyarakat, sehingga membuat
mereka sulit untuk benar-benar membayangkan diri mereka sebagai pihak yang
termarginalkan.
Karya sastra yang juga membahas kepiluan
kaum miskin adalah novel Invisible Man
dari Ralph Ellison. Nussbaum mengambil novel ini sebagai salah satu rujukan
dalam memperlihatkan simpati yang dikesampingkan. Hal ini berdasarkan informasi
yang disampaikan oleh pembaca novel yang menjadi narasumber Nussbaum. Novel ini
memperlihatkan fakta rasisme menembus pikiran dan emosi.
Fenomena rasial dari karya sastra juga
dibahas oleh Walt Whitman. Nussbaum mengutip pernyataan Whitman yang memiliki
pandangan mengenai pentingnya seorang sastrawan dalam mempromosikan sikap
simpati pada masyarakat umum terutama mengenai keprihatian terhadap kaum
marjinal seperti perempuan dan ras minoritas, serta masyarakat miskin.
Karya sastra lain yang dirujuk Nussbaum
adalah novel James Kelman, How Late It Was How Late, sebuah karya
sastra yang mendapat penghargaan Booker
Prize for Fiction di tahun 1994. Novel ini menceritakan kehidupan kelas
pekerja di Glasgow, Skotlandia. Isi dari karya sastra ini begitu kental dengan
dialek kelas pekerja Skotlandia baik dalam komunikasi maupun cara berpikir
masing-masing tokoh. Karakter kelas pekerja yang sengaja ditonjolkan oleh
Kelman memiliki tujuan dalam menghidupkan kembali tema kelas pekerja yang
umumnya telah dikecualikan dari sastra-sastra Inggris.
Selama
beberapa generasi, setidaknya sejak terkenalnya karya sastra dari Dickens, terdapat
gerakan inklusi, di mana tokoh-tokoh kelas pekerja muncul dalam novel sastra,
tetapi suara mereka harus diasimilasi terlebih dahulu dengan wacana sastra
kelas menengah. Kondisi ini memperlihatkan adanya pihak yang memang sengaja
menutup-nutupi fakta marjinal yang dialami oleh kaum pekerja.
Karya
sastra dalam bentuk drama juga menjadi perhatian Nussbaum dalam memperlihatkan
unsur-unsur karya sastra yang dapat menekan rasisme. Philoctetes karya Sophocles yang
diproduksi pada tahun 409 SM menjadi salah satu karya yang dibahas Nussbaum.
Drama ini sebagai salah satu bentuk reaksi Sophocles dalam menanggapi krisis
demokrasi Athena. Kondisi ini berkaitan dengan keberadaan warga negara yang
telah menjadi orang buangan hingga lumpuh karena penyakit yang dideritanya.
Philoctetes menjadi pelakon yang
mewakili keadaan masyarakat yang termarjinalkan pada saat itu. Pemerintah yang menormalisisasi
hal ini ditanggapi berbeda oleh sebagian masyarakat. Mereka ini mampu
membayangkan kondisi Philoctetes yang belum pernah mereka saksikan; membayangkan
kesepiannya, rasa sakitnya, dan perjuangannya untuk bertahan hidup. Berdasarkan analisis penulis, genre
drama ini menjadi salah satu contoh karya sastra yang dianjurkan oleh Nussbaum
dalam mengolah rasa simpati melalui sastra dan memupuk daya pikir kritis.
Karya drama
lain yang dikutip Nussbaum adalah Festival Tragis tradisi Yunani Kuno. Tradisi
ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Barat terkenal dengan nalarnya
yang kritis. Festival Tragis merupakan tempat menonton sebuah karya yang
terkait erat dengan argumen dan musyawarah tentang nilai-nilai dasar
kewarganegaraan. Lebih jelasnya, Festival Tragis memperkenalkan hal-hal buruk
yang mungkin terjadi dalam kehidupan manusia, jauh sebelum hal-hal buruk
tersebut benar-benar terjadi. Penderitaan dan kerugian cukup jelas ditampilkan
kepada penonton. Ini menjadi salah satu strategi dalam memainkan sumber daya
puitis dan visual drama sebagai media yang menjembatani internalisasi
nilai-nilai moral kepada masyarakat Yunani Kuno.
Nussbaum
menjelaskan, salah satu bentuk strategi tersebut adalah mempertontonkan nasib
tragis pahlawan, sekaligus menggambarkan pahlawan sebagai tokoh yang relatif
baik dan kesusahan yang diperolehnya dari semangat perjuangan yang tidak ada
habisnya. Drama ditampilkan sedemikian rupa agar penderitaan benar-benar
menguasai imajinasi penonton. Strategi ini menjadi salah satu inspirasi
Nussbaum dalam menawarkan konsep imajinasi naratif pada sistem pendidikan
masyarakat global.
Pentingnya seni sebagai perangsang daya
kritis seseorang dalam memahami kondisi sosial telah diterapkan oleh rakyat
Amerika Serikat. Mereka mengakui alasan yang signifikan bahwa seni memupuk
kapasitas penilaian dan kepekaan masyarakat terutama saat mereka memilih wakil
negara. Nussbaum menuliskan bahwa seni yang dimaksud warga Amerika Serikat dalam
batas waktu tertentu mencangkup semua seni.
Di sisi lain, Nussbaum juga menerangkan
bahwa dalam kurikulum dunia, seni sastra menjadi media yang paling efektif
dalam menggambarkan keadaan khusus dan masalah individu atau kelompok yang
berbeda. Berdasarkan karya-karya yang dibahas Nussbaum, novel dan drama menjadi
karya sastra utama yang mampu menjembatani penekanan fenomena rasial pada
masyarakat dunia. Dikutip dari Aristoteles Bab 9 The Poetics, sastra menunjukkan kepada kita bukan terkait kondisi
yang telah terjadi, tetapi lebih kepada hal yang mungkin terjadi.
Hal ini yang menjadi salah satu dasar
Nussbaum dalam menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang kemungkinan adalah sumber
daya yang sangat berharga dalam kehidupan politik yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur normalisasi rasisme. Metode pemahaman kondisi sosial melalui karya
sastra juga dibahas oleh Lionel Trilling yang menyebut imajinasi pembaca sastra
dalam bentuk novel menyadarkan akan pentingnya kebahagiaan sambil menghormati
manusia.
*****
0 Comments:
Post a Comment