Fina Yulfa Laila
Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana
Pengkajian Nussbaum akan karya sastra
yang memperlihatkan kondisi malang kelompok tertindas mengantarkan Nussbaum
pada pemikiran yang disebutnya sebagai “imajinasi naratif”. Imajinasi naratif
yang ditawarkan Nussbaum mengajak masyarakat global untuk memberi pemahaman
terkait pentingnya mempelajari sastra, membaca secara kritis, dan mengolah rasa
simpati kepada individu atau kelompok yang berbeda.
Pemahaman kritis yang dikonsepsikan
Nussbaum adalah cara berpikir kritis yang mendorong seorang individu untuk
berempati dan mengalami sekaligus mengajukan pertanyaan secara kritis tentang
pengalaman yang diamati. Nussbaum mengutip pernyataan Booth yang menjelaskan
bahwa penilaian kritis yang ideal harus dilakukan dengan percakapan atau
diskusi bersama orang lain yang persepsinya berbeda dan menantang persepsi yang
kita miliki. Perlu diingat, dalam melakukan penalaran secara kritis harus
diiringi dengan pembacaan secara simpatik.
Rasisme dengan alasan kejahatan yang telah diperbuat juga bukan menjadi alasan pemikir kritis untuk menghiraukan latar belakangnya dalam melakukan kejahatan. Hal ini sebagaimana Nussbaum mengutarakan argumen Marcus Aurelius sebagai Kaisar Romawi dan seorang filsuf. Marcus berargumen bahwa imajinasi simpatik berkontribusi untuk meredakan kemarahan retributif.
Maksud Marcus adalah menawarkan imajinasi simpatik yang
demikian karena ketika kita membayangkan mengapa seseorang datang untuk
bertindak dengan cara tertentu yang umumnya dapat memicu respons kemarahan,
kita cenderung tidak melakukan hal yang sama, tetapi terlalu mudah menilai
orang tersebut sebagai seorang yang murni jahat dan asing.
Karya sastra memainkan peran penting di
sini dalam menekan emosi kemarahan yang timbul dari kejahatan yang diterima.
Nussbaum juga menjelaskan bahwa pemahaman karya sastra secara kritis membantu
individu dalam kehidupan sehari-harinya. Seseorang yang biasa menerapkan
imajinasi naratif akan lebih mudah dalam mengambil sikap ketika menghadapi
kemarahan dari keluarga. Emosi yang biasanya timbul secara spontan akan lebih
mudah untuk dikendalikan karena pada saat itu kita terbiasa untuk memikirkan
terlebih dahulu akar dari masalah dan tindakan yang terbaik dalam
menghadapinya.
Sistem pendidikan menjadi media yang disebut Nussbaum cukup efektif sebagai media internalisasi imajinasi naratif pada masyarakat global. Rousseau, seorang filsuf besar menjadi salah satu tokoh yang mengilhami pemikiran yang dikonsepkan oleh Nussbaum. Rousseau berpendapat bahwa sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang memperkenalkan seseorang dengan semua kondisi sosial termasuk keadaan orang miskin, sakit, kondisi seorang budak, dan kesulitan yang dialami masyarakat kelas bawah.
Sejauh hasil pembacaan penulis pada Cultivating Humanity
karya Nussbaum, karya sastra yang menjadi rujukan Nussbaum adalah novel dan
drama karena keduanya memiliki “alur” sehingga menekan adanya kemungkinan
multitafsir baik dari penonton ataupun dari pembaca.
*****
0 Comments:
Post a Comment