Tajamnya pena perempuan Bali tempo dulu ternyata telah membawa perubahan bagi keberlangsungan hidup kaumnya di masa sekarang.
Bukti-bukti tertulis yang terhimpun dan dinarasikan dengan apik oleh I Nyoman Darma Putra dalam buku Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini, menyatakan bahwa perempuan Bali telah menyuarakan ketidakadilan gender sejak tahun 1920-an dan 1930-an.
Melalui tulisan berikut, mari kita bersama-sama menilik perjuangan perempuan Bali lewat pena di masa lampau.
Perempuan Bali Nyatanya Tidak Diam!
Sejak zaman kolonial, perempuan Bali ternyata telah aktif memperjuangkan hak-hak mereka melalui gerakan menulis.
Lewat artikel yang diterbitkan di Surya Kanta, Adnyana, Djatajoe, Bhakti, dan Damai, perempuan Bali mulai mengkritik ketidakadilan gender yang menimpa kaumnya.
Tidak hanya mengkritik, mereka saat itu juga melakukan aksi nyata dengan terjun ke masyarakat melalui program pemberantasan buta huruf, mengabadikan dirinya menjadi guru, hingga membentuk organisasi sosial seperti Poetri Bali Sadar.
Media Massa saat itu memang menjadi salah satu arena penting bagi perempuan Bali untuk mengangkat masalah-masalah yang mereka hadapi serta menyoroti keprihatinan yang dihadapi kaum perempuan.
Selain pemberantasan buta huruf, yang juga menjadi perhatian perempuan Bali saat itu adalah untuk menyadarkan orang tua tentang pentingnya pendidikan–agar para orang tua turut menyekolahkan anak-anak perempuan mereka.
Selain itu, perempuan Bali juga mulai tergerak untuk menolak poligami. Kedudukan perempuan Bali dalam rumah tangga memang sangat direpotkan dengan kewajiban adat dan mereka juga ikut membanting tulang untuk keluarga.
Para ibu rumah tangga yang tidak tahan memikul beban sendirian itulah yang ternyata mengusulkan pada suami merekauntuk mencari istri baru agar dapat berbagi beban bersama.
Para suami yang dicarikan madu oleh istrinya sendiri lantas merasa bangga karena dirinya memiliki banyak perempuan.
Mereka pun jadi bisa memenuhi keinginannya untuk bermain sabung ayam, minum tuak, dan berpakaian bagus yang telah disiapkan oleh para istrinya.
Di masa itu, akibat masih rendahnya pendidikan, para perempuan Bali sendiri malah merasa puas dengan keadaan di atas.
Melalui tulisan-tulisan yang ditorehkan dari tangan para perempuan Bali terdidik, salah satunya I Goesti Ajoe Rapeg–yang juga tergabung menjadi anggota Poetri Bali Sadar kemudian menyatakan dukungannya terhadap peraturan pernikahan yang disiapkan oleh pemerintah Belanda.
Ketentuan dari pasal-pasal yang mempersulit suami menikah lebih dari sekali dan memperumit proses perceraian yang ternyata cukup mengentaskan poligami dan kawin-cerai pada masa itu.
Citra Diri, Wacana Perempuan Modern, dan Feminisme
Repro dari Bali A Paradise Created by Adrian Veckers dan The Development of Painting in Bali by Suteja Neka (1989) |
Setelah memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem yang tidak adil, perempuan Bali semakin menunjukkan taring mereka melalui kritik atas citra telanjang dada.
Bali pada tahun 1920-an memang dikenal sebagai the island of bare breast yang membuat para perempuanya identik dengan bertelanjang dada.
Udara panas dan kemiskinan merupakan dua faktor utama yang membuat masyarakat Bali tempo dulu terbiasa hidup bertelanjang dada.
Tapi yang malah dieksploitasi untuk promosi wisata adalah eksotisme tubuh perempuannya.
Kecenderungan meluasnya eksploitasi terhadap figur perempuan itulah yang kemudian diprotes oleh aktivis perempuan Bali.
Ni Loeh Sami pada 25 Desember 1936 melancarkan protesnya terhadap permasalahan tersebut melalui tulisannya yang berjudul “Pintu dan Jendela masih tertutup” dimuat dalam koran Djatajoe.
Selain menolak komersialisasi tubuh perempuan, ia juga mengingatkan bahwa perempuan Bali masih berada dalam keterbelakangan.
Selain itu, Ni Made Tjatri lewat tulisannya “Poetri Bali” (Djatajoe, 27 Februari 1938) menyerukan agar kaum perempuan jangan mau jadi bahan tertawaan dan direndahkan untuk dijual lewat surat-surat kabar.
Mereka juga mengajak para aktivis dan kaum terpelajar untuk melihat wacana ini dengan serius.
Upaya para aktivis perempuan Bali tersebut kemudian mendapatkan perhatian dan dukungan dari kaum laki-laki terpelajar yang kemudian melahirkan usul penting untuk mendesak pemerintah guna meningkatkan martabat perempuan saat itu.
Isu-isu gender kemudian semakin aktif dibicarakan pada tahun 1950-an. Saat itu Indonesia sudah merdeka dan modernitas mulai tumbuh pada kaum perempuan.
Dalam majalah Bhakti dan Damai yang terbit antara tahun 1952-1954, perempuan yang menulis memiliki rubik tersendiri yang disebut “Ruang Wanita”.
Melalui rubik tersebut, perempuan penulis Bali banyak menumpahkan isu-isu gender tahun 1950-an seperti pergaulan bebas pada remaja perempuan, wanita modern yang terlalu maju, mode pakaian, hingga wacana pelacuran.
Di sini, wacana pelacuran banyak temuat melalui cerita pendek di mana wanita selalu saja dipojokkan.
Meski citra mereka sangat negatif, lewat tokoh-tokoh pelacur, kritik terhadap arogansi laki-laki juga banyak dilontarkan.
Selain mulai menulis fiksi, banyak perempuan penulis Bali terinspirasi dengan pemikiran tokoh-tokoh dunia.
Seperti halnya Dewi Poernamasasih dalam artikel “Majulah, Putri Bali” (Djatajoe, 25 Juli 1938) yang terinspirasi oleh Joze Rizal dari Filipina.
Kemudian di tahun 1950-an, para perempuan Bali mulai mengenal pergerakan kaum perempuan internasional dan nasional.
Seperti halnya Jasmin Oka dan Tan Toan Bun yang memasukkan tokoh perempuan Asia hingga Jerman ke dalam tulisan-tulisan mereka.
Mereka terinspirasi dari tokoh perempuan seperti Vijaya Laksmi Pendit (India), Begum Liaguat Ali Khan (Pakistan), A. Marzuki (Indonesia), dan Clara Zetkin (Jerman).
Ketidakpuasan atas feminisme juga kemudian diperbincangkan di mana perempuan pada masa itu tidak lagi menentang laki-laki, tetapi sudah saatnya perempuan dan laki-laki berjuang bersama untuk mendatangkan masyarakat yang sama-sama sejahtera dan merdeka.
Gerakan Perempuan yang Lebih Besar: Perspektif Masa Kini
Jika sebelumnya tulisan-tulisan perempuan Bali lebih banyak tentang wacana modernitas, masih di tahun 1950-an, mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Ratih Amarawati dan Jasmin Oka banyak memperbincangkan tentang kesempatan yang terbuka lebar untuk kaum perempuan terjun ke dunia politik.
Hal itu juga didukung dengan diresmikannya undang-undang pemilihan umum tahun 1953.
Mereka kemudian menyimpulkan bahwa kaum perempuan harus merebut kemerdekaan dalam tiga bidang, yakni politik, sosial, dan ekonomi.
Perempuan baru merdeka jika mereka mendapatkan kebebasan dan kemampuan untuk turut serta dalam pemerintahan dan perwakilan rakyat.
Lewat lembaga itu, maka perempuan diharapkan dapat memperjuangkan tekanan-tekanan yang dialami sesama perempuan–yang hanya bisa dirasakan oleh perempuan sendiri.
Melalui undang-undang pemilu 2003 yang menetapkan kuota 30% kursi legislatif untuk kaum perempuan, menjadi pembuktian bahwa hal tersebut adalah hasil perjuangan kesetaraan gender.
Lalu, bagaimana perspektif perempuan Bali masa kini?
Perempuan Bali memang diberatkan dalam bidang pelaksanaan adat. Di satu pihak, mereka dituntut untuk mengejar karier dan bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Sedangkan di sisi lain, perempuan Bali juga harus mengurus berbagai urusan adat yang jumlah dan frekuensinya tinggi sekali.
Perempuan Bali memang dituntut untuk bisa memainkan peran ganda seperti itu.
Namun dalam arsip-arsip yang termuat dalam buku ini, perempuan Bali tahun 1930-an dan 1950-an malah tidak menjumpai pembahasan terkait masalah adat.
Hal itu kemungkinan karena belum kuatnya konflik pemanfaatan waktu antara karier profesi dan urusan adat.
Kedudukan perempuan Bali juga lemah sekali di bidang adat bagi waris dan dianggap sebagai bentuk diskriminasi.
Meski masih menjadi wacana yang tidak pernah dipersoalkan secara terbuka, namun saat ini sudah banyak fenomena perlawanan terhadap adat yang diskriminatif ini.
Para orang tua yang sudah berpikiran modern mulai berani memberikan warisan kepada anak perempuan mereka meski tidak lebih besar daripada yang diberikan pada anak laki-laki.
Namun, jika menilik tulisan-tulisan perempuan Bali tempo dulu, maka akan lebih baik untuk perempuan menafsirkannya dengan mengutamakan pendidikan dibandingkan berlarut-larut pada persoalan warisan.
Prestasi dan profesi mungkin dapat memberikan banyak penghargaan dan finansial untuk menghadapi hidup.
Maka, sudah sepatutnya sebagai perempuan (Bali), kita haruslah merenungkan perjuangan-perjuangan dari pendahulu kita.
Tulisan-tulisan yang disampaikan oleh perempuan Bali satu abad lalu agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.
Bahwa perbaikan nasib perempuan memang hanya dapat diperjuangkan sebaik-baiknya oleh kaum perempuan itu sendiri.
Maka perempuan, berjuanglah. Menulislah!
Baca tentang wacana perempuan dalam Sastra poskolonial di sini.
*Sumber gambar sepenuhnya dari Buku "Wanita Bali Tempo Doloe: Pespektif Masa Kini" penulis I Nyoman Darma Putra.
0 Comments:
Post a Comment