Pramono
Pido
Pegiat
Ilmu Sosial-humaniora
Kita dapat melihat perkembangan dunia
keilmuan yang begitu pesat mengakibatkan spesialisasi yang makin rumit dan
spesifik, dinamika ini belakangan turut mengubah cara kita memandang posisi
ilmu sosial di antara begitu banyak rumpun keillmuan yang berkembang, berubah,
dan mengambil tempat baru di tengah-tengah masyarakat maupun komunitas akademik.
Pada bagian awal saya ingin menggunakan
permisalan yang pernah dipakai oleh Freeman Dyson dalam artikel Birds and Frogs untuk menggambarkan
kiprah seorang Matematikawan, Freeman menggunakan seekor katak dan elang, yang
saya pikir juga relevan untuk menilai kiprah ilmu sosial dan petualangannya mengarungi
telatah keilmuan yang makin kompleks dan luas, elang yang terbang tinggi
melihat keseluruhan fenomena dari horizon langit, menyatukan konsep berpikir
dari masalah-masalah yang terlihat di bawah bentangan daratan, sementara katak
yang hidup di bawah terbatas melihat bunga-bunga, memerinci detail dari objek-objek
yang partikular dan menyesalesaikan masalah yang timbul sewaktu-waktu, atau bisa
saja ilmu sosial menjadi kombinasi keduanya, elang memberikan visi yang luas,
katak menyumbang ketelitian detail.
Pada tahun 2016 dunia sempat dihebohkan
skandal panas yang melibatkan Cambridge
Analytica, Facebook, dan calon
presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam perhelatan pemilu. Hasil analisis
yang memantau surplus dari kecenderungan perilaku pengguna facebook yang
berjumlah lima ribuan dipakai oleh perusahaan analis data yang berbasis di
Inggris itu untuk merancang skema konten-konten kampanye yang diedarkan melalui
media sosial untuk kemenangan Trump; sebuah kenyataan perkawinan antara analisis
makrososial dengan ketepatan algoritma yang ditopang oleh matematika dan
statistika, serta rumpun keilmuan eksakta lainnya
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah,
apakah meledaknya revolusi teknologi dan sains—dalam hal ini
ilmu-ilmu eksakta—pada abad 20, berhasil mengubah kondisi
masyarakat dunia dalam jejaring di atas. Lantas, dimanakah posisi ilmu sosial, apakah
sebagai elang atau katak?
Teknologi digital yang ditopang sepaket
perangkat algoritma dan kecanggihan bahasa formal matematis sesungguhnya berasal
dari karya kalkulus Isaac Newton. Riwayat penemuan Newton pun tak kalah unik
dan melankolis. Selama tiga belas tahun Newton merahasikan temuan-temuannya dan
hanya membagikannya kepada sahabat baik yang sudah dianggapnya seperti saudara,
salah satunya adalah Edmund Halley.
Halley adalah orang pertama yang berhasil
mengalkulasi orbit komet menggunakan matematika modern, dan ia adalah sosok
yang mati-matian mendorong karya Newton agar bisa diterbitkan di The Society. Namun karena penerbit itu
bangkrut, Halley menginisiasi penerbitan karya Newton menggunakan dana
pribadinya. Setelahnya, karya Newton pun tak hanya menjadi begitu berpengaruh,
tetapi juga turut memiliki sumbangsih dalam mempercepat Revolusi Industri.
Dalam masyarakat terdigitalisasi saat ini, yang
juga sempat dihantam berbagai kekacauan, salah satunya pandemi Covid-19, Heru
Nugroho, Guru Besar Sosiologi UGM menawarkan tiga peluang rekognisi yang
dikenal dalam ilmu sosial, salah satunya adalah rekognisi mutual, yakni
menghormati nilai dan partikularitas, dan elemen paling mendasar dari rekognisi
itu adalah solidaritas. Pada konteks yang lebih luas, rekognisi ini dapat
menjadi pilar penting ilmu sosial untuk menjadi lokus awal dari bangunan besar
rekognisi mutual di era masyarakat digital
Hal di atas kiranya dapat memosisikan ilmu
sosial sebagai elang sekaligus katak dalam pengertian Freeman Dyson, dan ikut
memberi corak baru pada keadaan yang serba teratomistis saat ini. Pun, dapat
memberikan pemaknaan baru bagi ilmu sosial yang sebelumnya berperan layaknya Edmund
Halley sehingga tak lagi hanya dilihat sebagai “pembantu” Newton, namun ikut serta
memberi warna baru bagi ranah kehidupan yang lebih luas.
*****
0 Comments:
Post a Comment