Pic: noria-research.com |
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Pra-Materi Kuliah Umum Prodi Sosiologi,
FISIP, Universitas Sumatera Utara, 14 Juli 2022.
Dalam perjalanannya, disiplin sosiologi menghadapi berbagai tantangan dan krisis. Tantangan pertama sempat hadir dari disiplin psikologi yang menelurkan cabang kajian psikologi sosial sehingga menjadikan batasan antara kedua disiplin menjadi begitu samar, termasuk bagaimana berbagai pemikiran psikologi pada akhirnya menginfiltrasi perkembangan teori-teori sosiologi, salah satunya tampak lewat hadirnya pemikiran interaksionisme simbolik dalam sosiologi; sementara, konstruksi disiplin sosiologi yang sejak awal digagas Emile Durkheim sesungguhnya berupaya “membersihkan” sosiologi dari pengaruh psikologi dan filsafat.
Tantangan berikutnya hadir di era late modernity ‘modernitas akhir’, di mana beragam pemikiran mengenai agensi mulai tumbuh subur sehingga memaksa sosiologi meredefinisi kembali pengertian “masalah sosial”, perihal yang semestinya ditetapkan berdasarkan konsensus, kesepakatan bersama; bukan secara sepihak oleh mereka yang dijuluki “pakar” atau para teknokrat. Di sisi lain, era modernitas akhir turut membuat sosiologi sarat memikirkan kembali gerakan sosial melalui pertimbangan-pertimbangan ideologi serta kepentingan para aktor yang terlibat di dalamnya. Berbagai pertimbangan ini pada akhirnya melahirkan embrio gerakan sosial baru sebagai ekspresi telah sedemikian terfragmentasinya ideologi dan kepentingan berbagai aktor dalam masyarakat.
Sebelumnya, di era 1960-an, masa di mana teori-teori sosiologi sedang kuat-kuatnya bercokol lewat serangkaian premis rasionalitas, ahistorisitas, dan universalitas; disiplin sosiologi memperoleh tantangan dari arus filsafat posmodern yang mewartakan partikuralitas, historisitas, serta memberikan ruang bagi irasionalitas. Banyak pihak menganggap, disiplin sosiologi serta berbagai disiplin lain yang lahir dari rahim Pencerahan Eropa telah menemui ajalnya di era ini, dan memang, pada akhirnya, untuk menghindari kekritisan dan kematian, disiplin sosiologi terpaksa harus mengadopsi beragam pemikiran posmodern kemudian—untuk membuatnya kembali bernapas.
Di saat yang bersamaan—era 1960-an—cultural studies yang digagas Richard Hoggart tampil sebagai sebuah “antidisiplin” yang turut memberikan tantangan bagi sosiologi. Cultural studies menolak keras pengotakkan dalam berbagai disiplin ilmu, dengan asumsi, pengotakkan tersebut hanya akan memunculkan sudut pandang yang sempit, picik, dan dangkal. Sejak saat itu, dimulailah proyek besar Hoggart dan kawan-kawan yang “tanpa ampun” mengelaborasi seluruh teori dan metode dari beragam disiplin ilmu—termasuk sains—ke dalam cultural studies. Hal ini tentu saja membuat batasan sosiologi dengan berbagai disiplin sosial-humaniora lainnya menjadi semakin tak jelas, serta seakan mengekspos terlalu kering kerontangnya perspektif sosiologi dalam memandang gejala sosial jika dibandingkan dengan cultural studies yang begitu kaya dan “semarak”.
Lebih jauh, tantangan terakhir dan terkini terhadap sosologi kiranya hadir melalui poshumanisme. Poshumanisme hadir untuk menolak “humanisme”, antroposentrisme, serta premis-premis homo mensura yang memosisikan manusia sebagai pusat segala sesuatu. Ia—poshumanisme—hendak menjadi diktum kematian sekaligus batu nisan bagi warisan ide-ide Pencerahan Eropa yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya “ada” di dunia, causa prima ‘penyebab utama’ dari setiap gejala, termasuk gejala sosial. Poshumanisme hendak mengakhiri kenarsisan dan keegoisan manusia yang nyatanya sekadar melahirkan kekacauan dan “kehancuran” dunia.
Dalam hal ini, poshumanisme mengajak berrefleksi dan menghayati kembali “ada-ada lain” selain manusia, setelah sebelumnya manusia bisa berbangga diri menaklukkan alam lewat pola pikir rasional, industrialisasi, dan teknologi; namun pada akhirnya terjebak pada ketergantungan akut terhadap teknologi, yang bahkan pada berbagai segi justru teknologi lah yang kini melampaui manusia. Dari sini, poshumanisme melontarkan sebuah pertanyaan retoris: “...lantas, apakah manusia masih bisa ditempatkan sebagai pusat segala sesuatu, sebab dari segala gejala?”.
Di sisi lain, poshumanisme turut mengekspos batasan-batasan manusia dalam menalukkan alam, di mana ketika batasan itu dilampaui, manusia justru akan membahayakan dan menghancurkan dirinya. Itulah mengapa beberapa pihak turut mengatakan jika enviromentalisme dan animalisme turut serta dalam gerbong poshumanisme dikarenakan premis dasar mereka yang menolak nilai-nilai antroposentrisme.
Tegas
dan jelasnya, poshumanisme menitikberatkan pada entitas-entitas nonmanusia yang
selama ini diremehkan dan “tak dianggap”, padahal berbagai entitas tersebut memiliki
dampak besar bagi kehidupan manusia, juga gejala sosial. Terhadap perkembangan
pemikiran ini, tentu sosiologi sarat merespons mengingat disiplin ini berfokus
pada studi relasi antarmanusia, bukan relasi antara manusia dengan entitas
nonmanusia. Dalam dekade ini, respons sosiologi terhadap perkembangan
poshumanisme sangatlah urgen, karena ini akan menentukan apakah ke depan
sosiologi akan mengalami kemandulan dalam merespons gejala sosial, ataukah
revitalisasi.
*****
0 Comments:
Post a Comment