[Pic: pinterest.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Sadie
Plant secara tegas menolak humanisme, baginya humanisme adalah
otoritarian(isme) maskulin, dan Pencerahan Eropa dianggapnya sebagai proyek
laki-laki. Terkait hal ini, seluruh tokoh filsafat rasionalisme dan empirisme
yang lahir di masa Pencerahan memanglah laki-laki. Di kubu rasionalisme ada nama-nama
seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, Gottfried W. Leibniz, dan Blaise
Pascal, sementara di kubu empirisme ada nama-nama seperti Thomas Hobbes, John
Locke, George Berkeley, serta David Hume.
Bias
maskulinitas di masa Pencerahan juga bisa ditilik lewat pendefinisian awal
istilah “individu”. Individu didefinisikan sebagai manusia yang mampu memikul
tanggung jawab sektor publik, dan itu adalah laki-laki. Dengan kata lain,
istilah individu sekadar mengacu pada sosok laki-laki, bukan perempuan.
Implikasi dari Pencerahan Eropa dan humanisme yang bias laki-laki adalah
perempuan yang terkungkung dalam peradaban modern laki-laki, mengingat
modernitas lahir dari rahim Pencerahan Eropa.
Merespons
hal di atas, Plant menganggap jika komputer dan teknologi informasi, terutama
internet, sebagai sarana yang bisa membebaskan perempuan. Pertama-tama, ia
membangun argumen jika sosok perempuan lah yang paling berjasa di awal
perkembangan kedua teknologi ini, bahkan ia mengatakan jika komputer dan
teknologi informasi mencerminkan sifat perempuan. Plant menjelaskan bahwa
tulisan tangan adalah representasi maskulin, sedangkan tulisan ketik adalah
representasi feminin karena mengandalkan “sentuhan rasa”—barangkali ini
menjelaskan mengapa dahulu seluruh sekretaris atau juru ketik adalah perempuan.
Kedua,
Plant menyatakan jika sebagian besar yang bekerja di bidang teknologi ini—komputer
dan informasi—awalnya adalah perempuan; sebagai operator telegram, operator
telpon, dan operator komputer misalnya. Ketiga, internet jauh berbeda dari
sistem patriarki di mana tak ada kontrol secara menyeluruh, tak ada ada pusat,
atau struktur komando sebagaimana ditemui dalam sistem patriarki. Dalam kondisi
seperti ini, kekuasaan gender pun dapat ditantang dan ditentang karena
memungkinkan hadirnya “pikiran tanpa tubuh”. Kondisi “pikiran tanpa tubuh” ini
pulalah yang memungkinkan perempuan membebaskan diri dari tubuh biologis,
bahkan bebas mengonstruksi tubuh berikut identitasnya.
Lebih
jauh, era internet yang “diagungkan” Plant sebetulnya adalah era yang memang
telah melampaui modernitas, hal ini sebagaimana diutarakan Anthony Giddens
tentang definisi posmodenitas sebagai era di mana produksi informasi jauh lebih
masif ketimbang produksi manufaktur (benda).
Di
sisi lain, beberapa pemikiran Plant pun turut menemui persinggungan dengan
beberapa pemikiran Julia Kristeva. Baik Plant maupun Kristeva sepakat jika
nilai-nilai keperempuanan seperti kasih sayang, cinta, dan kelembutan bukanlah
hal yang tabu dan tidak perlu—bahkan tidak bisa—dipertentangkan dengan
maskulinitas. Di samping itu, kebebasan perempuan di dunia internet ala Plant sedikit-banyak dapat pula
merepresentasi kebebasan perempuan untuk bergerak di antara kekacauan dan
keteraturan, atau di antara masa pra-Oedipal dengan masa Oedipal sebagaimana
dinyatakan Kristeva.
*****
0 Comments:
Post a Comment