[pinterest.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Robert
Pepperell dalam The Posthuman Condition
(1995) menyajikan berbagai fakta bahwa saat ini teknologi telah menyamai bahkan
melampaui manusia. Ia memisalkannya lewat hal sepele dari “kreativitas yang
diotomatiskan”, yakni bagaimana aplikasi teknologi telah menjadi lebih dominan dalam
proses kreatif manusia dibandingkan proses kreatif murni manusia itu sendiri;
hingga hal yang begitu vital seperti fenomena “prostetik”, yakni penanaman
teknologi canggih dalam tubuh manusia untuk menjaga kelangsungan hidup; alat
pacu jantung atau jantung buatan contohnya.
Bersamaan
dengan itu, beragam instrumen teknologi pun seakan tak bisa dipisahkan dari
keseharian manusia. Dalam kondisi yang demikian fenomenologi seolah telah
usang, karena manusia tak lagi mengandalkan inderawinya semata dalam merespons,
menghadapi, dan memahami dunia, melainkan telah sedemikian rupa bergantung pada
instrumen, bahkan ini dapat dimisalkan secara mudah lewat seseorang yang
menggunakan kacamata.
Fenomenologi
sebagai salah satu tradisi hermeunetik klasik, berfokus pada pengalaman
eksistensial tubuh, semisal bagaimana Jean Paul Sartre dalam novel Le Nausee yang sangat fenomenologis mengatakan
jika kulit pohon yang dilihatnya seperti kulit monster, atau kursi trem yang
didudukinya seperti perut lembu yang telah membangkai.
Sementara,
posfenomenologi, sebagaimana diutarakan Don Ihde, berfokus pada penalaran
relasi manusia dengan teknologi dalam konteks bagaimana cara manusia mengada
dan menghadapi dunia. Dengan demikian dalam hal ini, manusia selalu diperantarai instrumen teknologi dalam memahami dunia. Menurut Ihde, hal tersebut melahirkan empat bentuk relasi,
yaitu relasi kemenubuhan, relasi hermeunetis, relasi alteritas, serta relasi
latar belakang.
Relasi
kemenubuhan berkaitan erat dengan berbagai instrumen teknologi yang
menjadi kepanjangan organ manusia.
Semisal bagaiamana kacamata, teleskop, mikroskop menjadi kepanjangan mata;
stetoskop, headphone menjadi
kepanjangan telinga; mic, pengeras
suara menjadi kepanjangan mulut, atau sekop, remote TV menjadi kepanjangan
tangan.
Relasi
hermeunetis berkenaan dengan upaya manusia memahami dunia melalui instrumen
teknologi yang kemudian tertafsirkan menjadi simbol, angka, atau teks. Semisal penggunaan
termometer atau timbangan badan yang membuat kita mengetahui suhu atau berat
badan lewat angka-angka yang ditunjukkan instrumen itu; penggunaan alat tes
kehamilan yang hasilnya dapat dilihat lewat simbol garis; atau tes-tes
kesehatan yang membuat kita memahami kondisi tubuh lewat teks positif ataukah
negatif.
Relasi
alteritas berkaitan dengan perkembangan teknologi yang membuat jarak atau
pembeda dibandingkan inovasi teknologi sebelumnya. Semisal penemuan mobil
membuat jarak dengan teknologi transportasi zaman dahulu berupa grobak; atau
penemuan komputer yang menjadi pembeda dibandingkan mesin ketik di era
terdahulu.
Adapun
relasi latar belakang berkenaan dengan teknologi yang seringkali tak disadari
membentuk kehidupan dunia sosial kita. Sebagai misal gawai pintar yang mengubah
perilaku manusia, teknologi ekonomi-informasi yang menyebabkan kita sarat
meredefinisi pengertian pasar dan aktivitas jual-beli, atau bisa juga terknologi
televirtual conference yang
menyebabkan mungkinnya aktivitas belajar-mengajar jarak jauh.
Ihde
sekali lagi menegaskan betapa teknologi telah menyamai bahkan melampaui manusia
melalui misal bagaimana intrumen teknologi mampu mengubah persepsi manusia secara
global. Teleskop Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei mengubah persepsi
masyarakat bahwa bumi tidaklah datar melainkan bulat, serta bagaimana bumi sesungguhnya
mengelilingi matahari (heliosentris), bukan sebaliknya—contoh terbaru adalah
mulai beroperasinya teleskop James Webb milik NASA yang menghasilkan citra-citra
luar angkasa menakjubkan dibandingkan teleskop-teleskop sebelumnya.
Hasil
pencitraan teknologi di atas diistilahkan Ihde sebagai “realisme instrumental”,
dan ketika realisme instrumental ini mengglobal, ia menjadi “plurikulturalitas”,
yakni budaya yang dihasilkan dari citra instrumen teknologi. Sebagai misal, teleskop
maupun teknologi yang memungkinkan kita mengetahui permukaan Mars dan dominan merahnya
warna planet ini menyebabkan Hollywood membuat film The Red Planet (2000). Hal serupa juga berlaku untuk tokoh Plankton
dalam film kartun SpongeBob SquarePants,
hasil pencitraan teknologi mikroskop lah yang memungkinkan wujud plankton
diketahui dan kemudian menjadi salah satu figur dalam budaya pop.
*****
0 Comments:
Post a Comment