Kritik Sastra atas Cerpen ‘Kita Tak Pernah Sampai’
Kumpulan Cerita ‘Perempuan Tanpa Nama’
I
Gede Sarjana Putra
Wartawan
Fajar Bali
Pernah saya membayangkan, sehabis panen raya, petani Bali
di suatu subak berlibur ke suatu tempat dalam dua atau tiga hari, menikmati
liburan, menikmati diri bersama keluarga, refreshing.
Melupakan sejenak pematang sawah, melupakan traktor, bibit, harga pupuk, melupakan
kapan harus menanam dan tetek bengek urusan sawah atau tegalan. Pokoknya refreshing dan sekembalinya dari liburan
kembali bercocok tanam dengan hati senang, karena badan dan hati sudah fresh, segar. Lalu kembali ke tanah yang
member mereka kehidupan tanpa rasa khawatir, harga pupuk, harga, produksi
pertanian bakal laku tanpa takut busuk di tangkai.
Lalu disusul petani lainnya, di wilayah tertentu menikmati
liburan ke suatu tempat, paling tidak liburan di wilayah Indonesia, yang kaya
pemandangan alam dan keramah-tamahannya sehingga roda perekonomian berputar
skala lokal, domestik Indonesia. Pariwisata untuk petani dan hasil petani untuk
pariwisata. Bahwa mereka, petani nelayan juga menikmati duduk santai dan
mendapat pelayanan seperti tamu asing di tempat wisata.
Jauh sebelumnya di TVRI, sepuluh tahunan yang lalu, entah
siapa nama ahli pertaniannya, mengingatkan tentang keinginan saya. Yang masih
jelas dalam ingatan, ‘Setidaknya dengan 40 are lahan pertanian, bila dikelola
dengan baik, maka ‘paling tidak’, sekali dalam dua tahun, petani bisa menikmati
liburan’ di wilayah Indonesia, bahkan Singapura. Namun sayang, ungkapan ahli
pertanian itu tidak kunjung terjadi, setidaknya dengan harapan liburan sama
senangnya seperti bule-bule ke Pantai Kuta, sambil menikmati makan enak,
dilayani barang sehari, berjalan di trotoar tanpa rasa takut, lalu berbelanja
di pusat oleh-oleh buat keluarga tidak kunjung terjadi. Bukankah petani juga
manusia, butuh liburan.
Membaca Kumpulan Cerita Kadek Sonia Piscayanti, Perempuan
Tanpa Nama, pada judul ‘Kita tak
Pernah Sampai’ saya melihat persoalan serupa. Bahwa liburan adalah hal yang
mustahil bagi kaum buruh, petani atau kalangan bawah pada zaman itu. Liburan
bagi anak-anak saat itu hanya dari desa itu ke kota. Menyinggahi supermarket
dan toko-toko terkenal lainnya. Maka timbul pertanyaan saya, berapa kalikah
orang Bali dalam hidupnya berlibur, liburan? Pertanyaan ini terbenam di benak
saya sejak dulu. Pertanyaan ini masih terdengar sampai penghujung Tahun
1990-an. Dan di sebuah kantor pariwisata, PHRI Denpasar saya mendapat jawabannya.
‘Paling tidak orang Bali berlibur dua
kali dalam hidupnya. Liburan pertama saat dirinya tamasya sekolah dasar dan
selanjutnya saat mengantar putra-putrinya berlibur’. Tentu pernyataan ini
sudah tidak berlaku lagi saat ini, dan sudah jamak orang Bali berlibur
diselingi tirta yatra atau memang
berlibur untuk refreshing sebutlah mulai Tahun 2000-an. Berapa warga Bali yang
menikmati liburan yang sesungguhnya?
Bali sudah dikenal sejak Tahun 1595 tepatnya 27 Januari
1959, yang menjadikan Kuta menjadi tujuan wisata sebelum Bali dikenal dunia
Barat (Jacob Kackerlack, Bali Tempo Doeloe, 7). Namun dalam naskah tersebut,
tidak digambarkan seperti apa suasana Pantai Kuta, kecuali Pulau Bali yang
disebut Belanda kecil, makmur, banyak celeng, unggas, telur, limau dan buah
lainnya.
Dalam Cerpen, penulis cerita dapat menggambarkan bagaimana
sebagian dari masyarakat Bali kalangan bawah, buruh, memaknai berlibur sebagai
hal yang menakutkan. Barangkali bila merunut cerita tersebut, peristiwa ini
terjadi di Tahun 1982-an. Digambarkan dengan jelas, bagaimana suasana angkutan
umum saat itu, yang seolah tidak manusiawi, sehingga tidak memungkinkan
berlibur dengan angkutan umum.
… Kami, dia dan mereka seolah-olah
membawa semua, yang bisa dibawa, dus, keranjang, karung dan koper rombeng yang bertumpuk
di bagasi hingga penuh dan terpaksa sebagian ditumpuk di bawah kaki penumpang.
Sebagian diikat di atas izusu sebagian dijejalkan sekenanya diantara penumpang
yang telah berdesakan tanpa jeda seincipun. Semua bawaan itu, seolah menampung
segala masa lalu, masa sedih, masa suram dari para penumpang tak bernama.
Seolah semua masa lalu telah terbungkus, menuju tempat baru yang menjanjikan
masa-masa yang segar dan cemerlang.
Membaca alinea tersebut, tergambar jelas bagaimana suasana
angkutan umum di Bali saat itu, yang mungkin tidak pernah dirasakan generasi
mileneal saat ini. Di era Tahun 1980-an sampat Tahun 1990-an, suasana angkutan
umum di Bali semuanya seperti itu, sesak, pengap dan supir adalah penguasa. Tergambar
dengan jelas, bahwa kelas bawah, tidak bisa menikmati angkutan mewah dengan travel atau rent car.
Selanjutnya, bagaimana penulis menggambarkan liburan bagi
siswa saat kenaikan kelas. Bagi kalangan bawah juga, liburan atau berwisata
maka akan dipaksakan bahwa berkunjung ke Kota Denpasar adalah berwisata yang
cukup mewah.
…..setiap akhir kenaikan kelas dan libur
panjang, aku dipaksa ikut ke balik bukit (Bali Selatan,
Denpasar). Berlibur disana, yang
sebenarnya bukanlah sebuah liburan, namun sebuah paksaan yang selalu diawali
dengan mengemas pakaian. Inilah liburan yang menyenangkan bagi bapak. Tidak
bagi kami. Meskipun sesunguhnya liburan
ini dibuat untuk kami. Gila. Aku tak suka.,
Bagaimana orang Bali memberi penilaian terhadap
berwisata/berlibur. Bagi sebagian masyarakat, berwisata adalah suatu hal yang
mahal dan menghambur-hamburkan uang. Atau memang tradisi berlibur tidak
dimiliki orang Bali, sampai pada Tahun 2000-an. Disisi lain, berlibur bagi
orang Bali (kala itu) adalah kemewahan. Sehingga bagi masyarakat kalangan
bawah, berwisata adalah suatu kemewahan, bukan kebutuhan. Seperti pada kalimat
dalam cerita,
Air terjun Gitgit sangat terkenal, aku
tak bermimpi kesana, katanya mahal. Melintasi kawasan wisata Gitgit,
mobil-mobil pariwisata parkir di depan. Juga mobil mewah lainnya. Musim libur,
dimana-mana penuh, juga izusu ini, meskipun liburan kami para penumpang ini,
bukan liburan seperti mereka. Kami bukan berlibur, tapi memindahkan duka dari
satu tempat ke tempat yang lain. Duka?
Dalam kalimat lain selanjutnya, bagaimana penulis menggambarkan
wilayah Bukit Wanagiri, Buleleng yang dipenuhi monyet. Hanya penulis tidak
menggambarkan bagaimana suasana bukit tersebut terlihat danau, pohon cemara dan
keindahan lainnya. Walau demikian, digambarkan bagaimana keadaan orang berwisata saat itu termasuk
perilaku terhadap monyet-monyet disana.
Puncak
bukit memesona bagi wisatawan, tidak bagiku. Monyet-monyet kelaparan, selalu
menjadi ironi bagiku. Mereka menjadi tontonan, saat mereka terancam kematian.
Penulis menyampaikan kritik yang jelas dan tegas terhadap
kondisi Danau Beratan. Bahwa sejak Tahun 1980-an, atau sebelumnya kondisi di
sepanjang Beratan sudah tercemar, baik oleh pedagang dan sampah di sisi kiri
dan kanan jalan.
Terseok-seok, akhirnya kami tiba di
depan danau. Danau yang dulu sangat sakral. Kini berbeda, danau itu telah
dikurung oleh pedagang bakso dan strawberry. Danau telah tercemar, danau telah
berubah menjadi kolam renang yang besar. Danau telah kalah, danau telah habis.
Lalu, benarkah anak desa, anak kampung yang datang ke kota
sebagai liburan, hiburan. Penulis menegaskan bahwa Kota Denpasar saat ini
(Badung), bahwa Kota Denpasar adalah kota yang tidak ramah. ‘Jadi bagiku, bagi kami, liburan ini bukan
liburan, tapi lebih pada menemani bapak menghadapi keangkuhan kota ini.’ Sebelum
mengakhiri cerita dengan liburan yang tidak lebih dari siksaan, penulis
menggambarkan bagaimana liburan dimaknai masih sederhana, sebagaimana anak-anak
desa yang liburan (melali, Bali) ke kota besar.
Kenapa kita selalu menempuh perjalanan
yang sama, terus dilakukan lagi, tanyaku pada bapak. Bapak menjawab, sebuah
perjalanan, meski tujuannya sama, perjalanannya pasti berbeda. Sekarang kamu
mengeluh, suatu saat kamu akan tahu tak ada perjalanan yang sia-sia. Kota ini
ditempuh dengan perjuangan dan akan menghasilkan sesuatu, minimal sebuah
cerita.
Cerita ditutup bahwa generasi milenial sudah menikmati
kemudahan dalam berbagai hal, juga tidak menghayati sebuah perjalanan dalam
menikmati liburan. Ada yang mungkin terlupakan oleh penulis, yang mana saat
liburan di masa anak-anaknya tentu mengenal yang namanya Pesta Kesenian Bali
(PKB). Hampir setiap tamasya anak sekolah dasar asal Buleleng, tamasyanya ke
Taman Budaya, Denpasar, lalu mungkin dilanjutkan ke Taman Ayun, Mengwi dan ke
Sangeh. PKB juga bertepatan dengan liburan siswa sekolah. Bahkan dalam 20 kali
ke Denpasar, tanpa satu kalimatpun berbicara PKB ataupun Pantai Sanur. Bilapun
tidak berkunjung ke PKB, paling tidak ada dalam narasi, keinginan menonton
salah satu pertunjukan di Art Center.
Lalu dalam benak saya, kembali kepada tulisan di awal,
bisakah pariwisata (kita) ramah terhadap pemilik pariwisatanya. Selain ramah,
apakah memungkinkan mendorong lebih banyak lagi agar kalangan petani dan
pekerja kelas bawah menikmati yang namanya berwisata? Hal ini menjadi pemikiran
saya berulang. Sedangkan ketika saya bertanya kepada guide yang menurunkan
wisatawan dari bus, menyebutkan wisatawan yang menikmati Kertagosa, Klungkung
adalah tukang kebun dari negeri Sakura. Yang berlibur adalah rombongan petani
dari salah satu Negara di Eropa.
Paradigma yang masih dihadapi dalam memajukan pariwisata
selalu berkutat pada kuantitas. Selalu disuguhkan jumlah kunjungan wisatawan,
dan jumlah penerbangan yang turun di Bandara Ngurah Rai. Pariwisata yang selalu
berhubungan dengan dunia luar, sangat mudah terkena guncangan. Satu wisatawan
Jepang mengalami diare di Bali maka kunjungan wisata ke Bali anjlok, dan
seterusnya. Mari Elka Pangestu, sewaktu menjabat Menteri Pariwisata disaat
talkshow di Kantor PHRI, meminta kepada Gubernur Bali, Made Mangku Pastika kala
itu agar pariwisata Bali diarahkan ke kualitas. Bahwa dengan mengundang satu
Julia Robert akan setara dengan 200 wisatawan gembel, miskin dan seringkali
membuat rusuh.
Di Tahun 2019, Kasatpol PP Gianyar menyebutkan setiap
bulannya, setidaknya Satpol PP menangkap bule yang depresi di wilayah Gianyar.
Depresi ini bahasa yang diperhalus, yang sesungguhnya adalah wisatawan miskin,
gember dan kehabisan uang. Dan di destinasi wisata lain juga mengahdapi
persoalan serupa, akibat mengedepankan kuantitas. Lalu, kapankah pernyataan
Mari Elka Pangestu yang 10 tahun lalu terwujud?
Sebagai jalan tengah, bisakan pariwisata juga untuk kita
masyarakat Bali. Yang selalu mendapatkan tugas menjaga menggawangi adat, budaya
dan alam Bali, tanpa pernah menikmati apa yang mereka perbuat untuk budayanya. Apa
yang saya bayangkan, jauh dari kenyataan. Saat ini, bagi petani dan kalangan
buruh, jangankan sisa dana untuk liburan, gaji sebulan atau hasil panen yang
akan diterima sudah ada menunggu. Hutang. Lalu berkutat pada persoalan yang
sama, harga bibit mahal, membajak dan menunggu air irigasi yang hulunya sudah
mulai mengering dan hasil panen yang tidak menentu.
Lalu dengan cara apa, mengajak petani kita, kaum buruh dan
nelayan untuk menikmati liburan. Tentu salah satunya dengan memberi mereka
jaminan, bahwa harga bibit yang nanti mereka beli masih murah, dan hasil panen
mereka dijamin ada harganya. Sehingga apa yang dikatakan ahli pertanian,
puluhan tahun silam itu terbukti bahwa dengan 40 are, bila dikelola dengan
baik, setidaknya dua tahun sekali sempat berwisata, wisata yang sesungguhnya.
Dan ketika turun dari bus, dengan bangga juga guide berkata, bahwa yang
berwisata adalah petani dari subak A, nelayan dari pantai anu.
‘Kita Tak Pernah Sampai’, dan memang tidak pernah sampai. Sebelum
akhir tahun nanti, kita tetap disuguhi angka-angka jumlah kunjungan wisatawan. Dan
lupa bertanya, apakah liburannya menyenangkan, apakah sudah sampai, seperti
pada cerita tersebut. Bukankan dengan berlibur itu, mereka petani bisa saling
berbagi informasi dan saling berpacu untuk membuat semuanya lebih baik. Bila
sesama petani memajukan wilayahnya, menata wilayahnya, maka mau tidak mau
wisatawan asingpun datang, tentunya dengan pilihan kualitas. apakah dengan cara
ini, kita bisa sampai? Walau tidak, setidaknya pernah mencoba.
*****
0 Comments:
Post a Comment