[Pic: culturetrip.com] |
I. G. A. Ayu Brenda Yanti
Pegiat Sanglah Institute
Ruang
publik merupakan salah satu elemen penting dalam diskursus mengenai demokrasi.
Terlepas dari pengertian “ruang” sebagai objek fisik yang statis, ruang publik
merupakan objek penuh dinamika yang erat relasinya dengan kebebasan. Ruang
publik merupakan salah satu prasyarat sebuah negara apabila ingin mewujudkan
sistem pemerintahan yang demokratis.
Ruang
publik memiliki keanekaragaman pemaknaan dan pengertian, hal ini karena istilah
ruang publik seringkali digunakan secara bebas. Dalam berbagai bidang ilmu
seperti arsitektur dan planologi, ruang publik dipahami dalam pengertian
teknis-arsitektural contohnya seperti taman, plaza, atau ruang terbuka. Dalam
konteks dunia digital, ruang publik merupakan cyberspace tempat
interaksi terjadi secara maya. Ruang publik pula dapat diartikan sebagai
perusaan penyiaran yang disponsori oleh pemerintah apabila menilik dari sudut
pandang aktivis media. Dalam kesadaran feminis, ruang publik adalah arena
sosial tempat dibuatnya aneka hukum, kontrak, dan persetujuan yang mengeklusi
kaum perempuan (Prasetyo, 2012: 170).
Kajian
mengenai ruang publik sendiri tak bisa lepas dari salah satu tokoh dalam
generasi mazhab Frankfurt yakni, Jürgen Habermas. Habermas memulai kajian
konsep mengenai public sphere ini pada tahun 1962 melalui esainya yang
berjudul The Structural Transformastion of The Public Sphere. Bagi
Habermas (1989) (dalam Barker, 2004: 384), ruang publik adalah suatu wilayah
yang timbul pada ruang spesifik dalam ‘masyarakat borjuis’. “Ruang” ini
memerantarai masyarakat sipil dengan negara, di mana publik mengorganisir
dirinya sendiri dan di mana ‘opini publik’ dibangun. Individu dapat
mengembangkan dirinya sendiri sekaligus terlibat dalam debat tentang arah dan
tujuan masyarakat dalam suatu ruang publik. Maka dari itu ruang publik
dikatakan menjadi salah satu prasyarat dari terwujudnya negara demokrasi yang
ideal.
Menilik
dari sejarah munculnya ruang publik hingga menjadi dasar sistem demokrasi,
ruang publik muncul sejak berkembangnya ‘kapitalisme uang’ dan
‘kapitalisme-niaga-awal’ (early finance and trade capitalism). Sejak
abad ke-13, muncul elemen-elemen dari sebuah tatanan sosial baru yang menyebar
dari negara kota-negara kota di Italia Utara hingga ke seluruh Eropa bagian
Barat dan Utara, melahirkan sentra penghasil barang-barang pokok seperti Brugers,
Lutterich, Brussels, Ghent, dan lainnya. Perdagangan jarak jauh ini
kemudian memunculkan pekan raya raksasa (great trade fair) di persimpangan-persimpangan
jalan.
Singkat
cerita, adanya perluasan jaringan perdagangan ini pula menuntut perluasan akses
informasi khususnya mengenai perniagaan oleh para pedagang tersebut, sehingga
lalu-lintas berita berkembang seiring dengan lalu lintas barang dengan pola
yang serupa. Surat menyurat yang awalnya dibawa para saudagar diorganisasikan
menjadi sistem korespondensi gilda dalam rangka mencapai tujuan mereka.
Pengorganisasian surat tersebut berkembang menjadi jasa-jasa pos, pasar saham,
dan pers yang mulai melembagakan komunikasi dan kontak yang reguler.
Para
saudagar ini puas dengan sistem tersebut dan tetap membatasi informasi yang
disebar hanya bagi kalangan mereka sendiri. Hanya berita-berita dari luar
negeri, mengenai peradilan dan peristiwa-peristiwa niaga yang tidak begitu
penting saja yang lolos saringan lembaga pengendali berita. Publik pembaca
semakin meluas saat pertengahan abad ke-17 dimana jurnal-jurnal telah dirilis
secara berkala, bukan hanya memuat informasi-informasi penting, namun juga
memuat instruksi pedagogia bahkan kritik dan kajian-kajian. Menuju abad ke-18,
tradisi diskusi informasi berkembang pesat di Inggris, Prancis, dan Jerman
melalui cafe, literary salon, atau pubs (Habermas, 2007: 21-40).
Ruang
publik borjuis bukanlah representasi dari status aristokrasi ataupun tindakan
elit politis yang terjadi dalam satu lingkup yang disebut ‘ruang publik
borjuis’ tadi, melainkan partisipasi warga menggunakan rasio mereka dalam
memperbincangkan persoalan-persoalan publik. Habermas menganggap bahwa ruang
publik terbentuk dari sebuah ‘perjuangan diskursif’ para aktor kepentingan
untuk menguji klaim-klaim kesahihan alasan-alasan yang dilontarkan. Ia
mengklaim kesahihan alasan-alasan yang dilontarkan. Ia menghitung “kekerasan
struktural” dan kemungkinan adanya “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis”
sebagai sesuatu yang beroperasi di dalam ruang publik. (Hardiman, 2010:
188-190).
*****
Refrensi;
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori &
Praktik. Nurhadi (terj.) Bantul: Kreasi Wacana
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik: Sebuah Kajian
tentang Masyarakat Borjuis. Yudi Santoso (terj.). Bantul: Kreasi Wacana
Hardiman, F. Budi.
2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
Prasetyo, Antonius Galih. 2012. Menuju Demokrasi Rasional:
Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang Publik. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik.16(2).
0 Comments:
Post a Comment