Tyo Mokoagow
Apa itu
keindahan? Pertanyaan tersebut telah berusia 2500 tahun lamanya diperdebatkan
oleh para filsuf estetika dan sejarawan seni. Ketidaksepakatan soal karakter
tunggal keindahan tak dapat dielakkan.
Semir Zeki,
neurolog Turki mengutip Clive Bell, yang menurutnya berhasil merangkum soal itu
dalam buku "Art" (1914): "Apakah satu persamaan umum antara
Santa Sofia di Istanbul, jendela di Katedral Chartres Perancis, pahatan
Meksiko, mangkuk Cina, karpet Persia, lukisan dinding Giotta di Padua, dan
karya agung Poussin, Pierro Della Franciska, dan Cezanne?" Mereka yang
punya mata sehat, tentu akan menjawab keindahan sebagai benang merah di antara
semua objek itu.
Filsuf
Amerika-Irlandia, Edmund Burke, mengartikan keindahan sebagai kualitas dalam
tubuh yang bertindak secara mekanis berdasarkan pikiran manusia lewat
intervensi inderawi. Namun keindahan dalam filsafat estetika, tidak berkorelasi
dengan keindahan visual atau keindahan teatrikal atau keindahan piotis atau
keindahan sastrawi atau keindahan musikal; keindahan adalah konsep yang teramat
abstrak.
Lebih
lanjut, Burke mengidentikkan seni dan keindahan. Tapi dua hal itu lantas
dipisahkan oleh Marcel Duchamp lewat instalasi seninya yakni urinoir, kakus
yang diberi tanda tangan olehnya. Seni avant garde Duchamp ialah upaya
menceraikan seni dan keindahan. Satu-satunya yang membedakan benda yang
terkesan jorok tersebut hanyalah tanda tangan Duchamp sendiri. Semir Zeki turut
memisahkan kedua hal tersebut, ia lalu berfokus pada topik soal keindahan.
Zeki amat
mengagumi Clive Bell, ia mendengar nasihatnya dengan baik. "Kalau kamu mau
tahu apa itu keindahan, jangan bertanya kepada sejarawan karena mereka tahu
terlalu banyak, kamu mesti pergi kepada orang primitif dan anak-anak dan
orang-orang yang tak berpendidikan, sebab mereka juga bisa menikmati
keindahan.".
Syahdan,
Zeki dan para koleganya membuat eksperimen yang melibatkan pelbagai macam
subjek di dalamnya. Partisipan eksperimen itu berasal banyak latar belakang:
gender, etnis, agama, profesi, dan usia yang bervarian. Tak satupun dari mereka
berlatar belakang seniman atau musisi. Tujuan eksperimen tersebut sederhana,
menyelidiki pengalaman tiap individu ketika mempersepsi keindahan.
Mereka
dibawa ke laboratorium, lalu masing-masing diperlihatkan lukisan serta secuplik
musik yang terus berganti setelah enam belas detik berselang. Setelahnya,
masing-masing partisipan diminta tanggapan tentang musik dan lukisan yang
mereka nikmati. Ketika memberi tanggapan, Zeki memindai kepala mereka untuk
mengetahui bagaimana aktivitas otak para partisipan.
Sebagian
besar partisipan menilai Adagietto dari Simfoni ke-5 Mahler sebagai musik yang
indah. Sebagian besar partisipan menilai konser biola Ligeti jelek. Lewat
pindaian MRI, diketahui bahwa semakin intens pengalaman keindahan partisipan,
semakin tinggi pula aktivitas perubahan aliran darah di area medieval
orbito-frontal cortex (mOFC) mereka. Sedangkan kejelekan visual dan musikal
menstimulus area amygdala dan motor cortex, seolah otak hendak memobilisasi
sistem psikomotorik untuk melindungi diri melawan kejelekan.
Fakta lain
menarik adalah keindahan juga berkorelasi dengan hasrat dan cinta. Bagian otak
yang sama yang merespon keindahan (mOFC) turut aktif ketika kita melihat orang
yang sangat kita cintai. Tidak heran orang pada lazimnya suka menjadikan
pasangan romantis sebagai wallpaper gawai, sebagaimana kurator seni suka
menempel lukisan yang ia gemari di sudut rumah favoritnya.
Penelitian
Semir Zeki menjawab arti keindahan yang tak terpecahkan oleh para filsuf dan
sejarawan seni, bahwa keindahan merupakan output dari area otak mOFC kita.
Temuan Zeki menambah satu pendekatan baru terhadap wacana estetika yakni
neuro-estetika. Namun temuan itu tak lepas dari penolakan. Mazhab yang menolak
keras neuro-estetika adalah golongan romantis yang menganggap keindahan sebagai
ekspresi jiwa murni manusia. Mereka tidak terima kalau keindahan direduksi
menjadi fenomena materi semata, seolah itu mengikis sifat luhung dan agung
keindahan.
*****
0 Comments:
Post a Comment