[Pic: furiaflix.net] |
Wahyu Budi Nugroho
Tak
Segalanya soal Uang?
Orang-orang yang sudah
frustasi; banyak menanggung hutang, harus menanggung bea sakit orangtua tanpa siapa pun bisa membantu, dan seabrek
masalah hidup lainnya; menjadi wajar bersedia berpartisipasi dalam Squid Game dengan hadiah kurang-lebih 550 Milyar Rupiah, meskipun nyawa menjadi
taruhannya.
Mereka adalah orang-orang
yang takkan kehilangan apa pun—nothing to
lose. Kehidupan telah menempatkan mereka pada kerak struktur sosial;
terhina, tergadai, dan tertindas. Tak heran, manusia-manusia seperti ini
kerapkali berpikir fatalis: kematian adalah pembebasan.
Hadiah 550 Milyar Rupiah
sesungguhnya hanyalah bonus. Jika mereka tiada, segala penderitaan hidup akan terakhiri;
tetapi jika menang, mereka akan menjadi milyuner, pun bakal “bahagia” hingga
akhir hayat, bahkan sampai ke anak-cucu.
Oleh karenanya, saya secara
tegas menolak berbagai analisis tentang Squid
Game yang cenderung mereduksi segalanya dalam persoalan uang semata: bahwa motivasi
utama manusia-manusia dalam serial itu bertindak dikarenakan-nya.
Orang-orang yang
berpartisipasi dalam Squid Game
sebelumnya memang telah memilih jalan kematian akibat keputusasaannya, hanya
saja mereka mencari “cara mati yang terhormat”. Mereka adalah orang-orang yang
telah kenyang dengan absurditas kehidupan, namun sebisa mungkin atau setidaknya,
menghendaki cara mati yang tak absurd untuk meninggalkan nama.
Jika mereka memilih bunuh
diri, mereka bakal dikenang buruk, itu juga memunculkan stigma bagi orang-orang
terdekat mereka untuk waktu lama. Dengan kata lain, penderitaan tak hanya
berhenti di satu orang.
Cara mati yang lebih
terhormat adalah dengan ikut berperang, menjadi awak kapal pencarian dunia
baru, mengorbankan nyawa untuk orang lain, atau bisa juga: berpartisipasi dalam
Squide Game. Kematian-kematian ini lebih
bisa diterima, bahkan untuk kematian di deretan awal, pelakunya justru bakal
diganjar penghargaan oleh masyarakat.
Dengan demikian, rumusan layaknya
“uang mampu menguantitafifkan atau mengukur segala sesuatu”, termasuk harga
diri, kehormatan, bahkan nyawa; tak selalu berlaku. Hanya orang-orang yang sebelumnya
sudah memilih kematian-lah yang bisa memertaruhkan nyawanya.
Tak
Perlu Heran, Squid Game Nyata Pernah
Ada di Indonesia
Masih ingat dengan salah
satu program televisi swasta yang membuat kontes menyanyi, kemudian pemenangnya
bakal dilunasi seluruh hutangnya? Ini adalah Squid Game nyata di tanah air, hanya saja dengan format yang
berbeda, dan yang dibunuh bukan “kehidupan biologis” pesertanya, tetapi “karakternya”.
Bayangkan, seseorang dengan
besaran hutang tertentu—kebanyakan belasan hingga puluhan juta—secara sukarela
harus mengakui besaran hutang yang ditanggungnya di sebuah stasiun televisi,
disiarkan secara nasional, dan ditonton puluhan bahkan ratusan juta orang. Singkat
kata, seseorang terpaksa harus menanggung malu sedemikian hebatnya agar
hutang-hutangnya terlunasi.
Faktual, tak hanya dirinya
semata yang sedang dipermalukan—atau menanggung malu—tetapi juga keluarganya,
kerabat-kerabat dekatnya, juga kawan-kawan dekatnya; kemana mereka selama ini? Mengapa
Si Kontestan sampai harus menempuh jalan ini untuk melunasi hutangnya?
Hal yang tak kalah parah
adalah tertutupnya akses ekonomi Si Kontestan setelahnya. Pasca dirinya tersiar
secara nasional, tentu orang-orang akan berpikir dua kali memberikan pinjaman kepadanya:
“Kali ini ia bisa melunasi karena
memenangi kontes menyanyi, tetapi bagaimana untuk ke depannya?”.
Dalam kacamata analisis
normatif, boleh jadi ada dua hal yang disorot. Pertama, acara-acara semacam itu tidaklah etis, bahkan tidak
manusiawi. Kedua, acara-acara semacam
itu seakan membenarkan tesis, orang mau melakukan apa pun demi uang—homo economicus—termasuk menggadaikan
harga diri, rasa malu, juga mengorbankan modal sosialnya.
Tetapi lagi-lagi, analisis
normatif seringkali lupa (baca: gagal) menempatkan diri dalam posisi aktor atau
si pelaku. Jika memang seseorang sudah tak memiliki cara lain untuk melunasi
hutangnya, hendak bagaimana lagi? Apakah si pembuat analisis normatif bersedia
melunasi hutang-hutangnya? Ataukah ia hanya menjadikan para korban sebagai objek
analisisnya, yang dengan demikian bebas untuk dinilai dan dihakimi?
Lebih jauh, apakah negara
bisa melunasi hutang-hutangnya? Lembaga-lembaga sosial tempat ia bernaung bisa
melunasi hutang-hutangnya? Tidak. Sekali lagi, kata-kata Chairil Anwar
terbukti: “Nasib adalah kesunyian
masing-masing”.
Negara
yang Salah, bukan Masyarakat?
Kita bisa dengan mudah
menyalahkan negara karena membuat warganya tak memperoleh kehidupan yang layak,
terjerat hutang, terlebih untuk biaya pendidikan dan kesehatan, karena
seharusnya, dalam negara yang berkonsep welfare
state terutama, seyogiyanya menanggung seluruh investasi sektor publik—pendidikan,
kesehatan, jaminan hari tua, dan lain-lain. Tetapi, bagaimana jika negara juga
terjerat hutang?
Memang, negara bisa dikritik
atau disalahkan ketika warganya tak memperoleh kehidupan yang layak, dalam
arti, tak terpenuhinya berbagai jaminan sosial dasarnya. Bahkan secara lebih
spesifik, kita bisa menuding pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,
pemerintah kota, juga berbagai perangkat pemerintahan yang ada di bawahnya
untuk bertanggung jawab.
Tetapi, negara tak bisa
dikritik atau disalahkan untuk warganya yang sengsara terjerat hutang akibat
perilaku hidup konsumtif, foya-foya, dan membudalkan libido ekonominya. Apakah
dikarenakan salah satu aplikasi belanja daring menawarkan kemudahan belanja
lewat hutang, kemudian para penggunanya tak mampu melunasi, aplikasi belanja
daring itu bisa disalahkan?
Sebaliknya, negara pun juga
bisa disalahkan ketika korupsi masih merajalela sehingga menghambat pembangunan
sosial warganya. Lalu, siapakah yang patut disalahkan? Jangan-jangan, kita memang
tak pernah membutuhkan solusi, tetapi pihak untuk disalahkan. Absurd.
*****
0 Comments:
Post a Comment