[Pic: fropky.com] |
Fidiana Rakmawati M.
Pegiat Sanglah Institute
Mary Douglas mendiskusikan tubuh untuk pertama kalinya dalam buku yang berjudul Purity and Danger (1996), menurutnya tubuh menyediakan tema mendasar bagi semua simbolisme. Douglas juga menjelaskan dalam tesisnya bahwa tubuh adalah model yang dapat bertahan di dalam sistem apa pun yang mengikatnya. Ikatan-ikatan yang dimaksudkan dapat merepresentasikan ikatan yang mengancam atau berbahaya bagi manusia.
Tubuh merupakan suatu simbol alamiah, sama seperti segala sesuatu yang menyimbolkan tubuh, maka benar adanya jika tubuh juga menyimbolkan segala sesuatu. Dalam Natural Symbols (1970) Douglas mengemukakan teori mengenai dua tubuh. Dua tubuh yang dimaksud adalah diri dan masyarakat, terkadang keduanya begitu dekat dan hampir menyatu namun terkadang jauh terpisah. Dapat dijelaskan bahwa dalam tubuh sosial terdapat suatu cara yang dipaksakan agar tubuh fisik dapat diterima. Pengalaman fisik tentang tubuh selalu dimodifikasi oleh berbagai kategori sosial yang dilalui dan dikenalnya—menopang suatu pandangan khusus tentang masyarakat.
Setiap simbol alamiah yang berasal dari tubuh memuat pemaknaan sosial, dan setiap budaya membuat seleksinya sendiri dari wilayah simbolisme tubuh. Lebih lanjut, Yasraf Amir Piliang juga menjelaskan bahwa tubuh seseorang atau individu diubah karena ada “logika sosial”, di mana tubuh ingin ditampilkan secara sosial. Tubuh dibentuk, dirampingkan, dirawat, ditato, dirias dan lain sebagainya sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan oleh seseorang atau individu yang memiliki tubuh tersebut di lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, eksistensi tubuh seseorang atau individu ditentukan oleh citra, tanda, dan makna objek-objek yang menyertai tubuh tersebut dalam kesehariannya.
Piliang juga menjelaskan bahwa di dalam sistem kapitalisme, tubuh dipertukarkan sebagai “nilai tukar”. Tubuh dikonversi sebagai citra dan tanda-tanda untuk memberi makna pada komoditas. Sebagai strategi menciptakan daya tarik komoditas, tubuh dengan mudah “tergelincir” dalam kekuatan dekonstruksi moral. Komodifikasi tubuh tanpa batas menciptakan dunia yang bebas tanpa rahasia, di mana segala batasan-batasan moral dan etika tentang tubuh dilanggar, untuk menciptakan “daya pesona” komoditas, contohnya agar suatu produk pelangsing tubuh laku terjual maka iklan yang ditampilkan di khalayak umum adalah iklan yang berisikan model cantik dan langsing agar orang-orang tertarik untuk membeli produk tersebut, karena pikiran para pembeli produk dikonstruksi bahwa perempuan yang ingin terlihat cantik dan langsing harus mengonsumsi produk tersebut.
Jelasnya, Susan Bordo mengatakan bahwa tubuh yang langsing adalah tubuh yang tergenderkan karena tubuh yang langsing merupakan tubuh milik perempuan, bukan milik laki-laki. Kelangsingan ini merupakan suatu kondisi ideal terkini bagi daya tarik perempuan sehingga perempuan secara kultural lebih menjaga tubuhnya ketimbang laki-laki. Paradoksnya, budaya iklan menawarkan suatu citra tentang tubuh yang dikehendaki (tubuh yang cantik dan langsing) dengan secara tidak langsung menganjurkan agar para perempuan mengonsumsi produk yang ditayangkan dalam iklan produk pelangsing tubuh.
*****
0 Comments:
Post a Comment