"Bukan kelangkaan, tapi keterbatasan"
-Sandiaga Uno-
Dalam kehidupan sehari-hari, baik secara “sadar” atau “tidak sadar”, kita menciptakan sebuah penyangkalan. Lebih parahnya, terkadang kita tidak menyadari telah menjadi korban dari sebuah penyangkalan. Pendekatan sosiologis dapat dikatakan sangat jarang digunakan untuk mempelajari konsep penyangkalan. Dalam kerangka psikologi, kajian mengenai penyangkalan terpusat pada dinamika intrapersonal yang menghalangi informasi memasuki kesadaran individu. Akan tetapi, sosiologi penyangkalan lebih menyoroti dinamika interpersonal yang mencegah informasi memasuki wacana publik (Zerubavel 2010)
Penyangkalan?
Penyangkalan dapat diartikan sebagai tindakan aktif yang mengabaikan suatu realitas (Zerubavel 2010). Menggunakan sosiologi kognitif, Zerubavel menilik dimensi sosial yang mendasari motif seseorang untuk menolak informasi yang relevan. Secara sederhana, Cohen (2001) mengartikan pernyataan penyangkalan sebagai pernyataan bahwa sesuatu tidak terjadi, tidak ada, tidak benar atau tidak diketahui (Cohen 2001). Melalui sudut pandang etnografi, Norgaard (2011) mendefinisikan penyangkalan sebagai mekanisme perlindungan diri atas perasaan takut, bersalah, dan ketidakberdayaan melalui netralisasi informasi yang dianggap mengganggu. Norgaard meletakkan konsep penyangkalan sebagai alat untuk menjauhkan diri dari sebuah tanggung jawab.
Secara umum, penyangkalan disajikan melalui informasi retorik yang tidak wajar, tidak sesuai fakta, mengganggu, bahkan mengancam. Informasi tersebut berasal dari fakta yang ditolak, disingkirkan, ditafsirkan ulang, dinetralkan, atau dirasionalkan untuk tujuan tertentu. Terdapat berbagai kesempatan di mana individu, organisasi, dan pemerintah secara sempurna mengklaim suatu peristiwa sama sekali tidak terjadi, terjadi tidak sesuai dugaan, atau telah terjadi tanpa sepengetahuan mereka. Dalam konteks tersebut, penyangkalan menunjukkan sesuatu yang benar atau salah dapat difabrikasi ulang.
Berkaitan dengan konsep penyangkalan Norgaard, penyangkalan dipahami sebagai mekanisme pertahanan diri untuk mengatasi rasa bersalah, kecemasan, dan perasaan gelisah. Individu atau kelompok memiliki akses ke realitas, tetapi memilih untuk mengabaikannya karena mereka merasa nyaman dan berhak untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa penyangkalan ditujukan untuk menghindari atau mencegah suatu kesimpulan memasuki wacana publik.
Dalam suatu struktur yang lebih luas, penyangkalan merupakan ciri dari negara-negara yang cenderung represif, rasis, dan kolonial (Cohen 2001). Kelompok-kelompok dominan secara masif dan terstruktur mengabaikan dan menutup ketidakadilan, penderitaan, dan kesewenang-wenangan yang terjadi di sekitar mereka. Dalam masyarakat yang lebih demokratis, penyangkalan terjadi bukan akibat dari paksaan, tetapi karena budaya “tutup mata” yang melekat dalam keseharian warga negaranya.
Dalam konteks komunal seperti, birokrasi pemerintah, partai politik, kelompok, agama, dan militer memiliki bentuk-bentuk penyangkalan yang berbeda-beda. Penyangkalan kolektif dihasilkan dari tata aturan profesional, tradisi kesetiaan dan kerahasiaan, hingga hubungan timbal balik timbal balik (Cohen 2001). Narasi yang dihasilkan dari penyangkalan dipertahankan untuk mencegah publik mengetahui kebenaran informasi yang dapat menimbulkan suatu dampak negatif bagi individu atau kelompok yang menciptakan praktik penyangkalan itu sendiri.
*****
Referensi;
Cohen, Stanley. 2001. States of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering. Cambridge: Polity Press.
Norgaard, Kari Marie. Living in Denial: Climate Change, Emotions, and Everyday Life. Cambridge, Mass: MIT Press, 2011.
Zerubavel, Eviatar. 2010. The Social Sound of Silence: Toward a Sociology of Denial. Pp. 32–44 in Shadows of War: A Social History of Silence in the Twentieth Century, edited by E. Ben-Ze’ev, J. Winter, and R. Ginio. Cambridge: Cambridge University Press.
0 Comments:
Post a Comment