I.G.A Ayu Brenda Yanti
Pegiat Sanglah Institute
Marx once said, “Religion is the opium of society”. No, gossip is.
Komunikasi dalam kehidupan manusia adalah sebuah kebutuhan primer, bahkan sebelum ditemukannya bahasa dan tulisan, manusia purba telah berkomunikasi dengan bahasa tubuh maupun lukisan-lukisan di dinding goa. Kebutuhan manusia akan komunikasi ini tidak semata-mata mengenai pemenuhan akan pembaharuan informasi semata, namun juga merupakan pemenuhan kebutuhan akan “koneksi” dengan manusia lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk-bentuk komunikasi manusia kian beragam, mulai dari lisan hingga tulisan, langsung maupun tidak langsung. Kontennya pun sangat tidak terbatas, dari tentang kabar satu sama lain, peristiwa terkini yang dialami atau disaksikan, informasi dan pengetahuan, hingga isu-isu yang terjadi di sekitar pelaku komunikasi.
Banyak orang setuju bahwasanya membicarakan isu-isu di sekitar mereka—seperti tetangga yang membeli mobil baru, rekan kerja yang ternyata punya hubungan tersembunyi dengan atasan, atau keponakan yang sering pulang malam—lebih menyenangkan dibandingkan membicarakan korupsi dana bansos atau benih lobster. Hal ini dikarenakan hal-hal receh tersebut terasa lebih dekat atau lebih relate dengan kehidupan sehari-hari mereka. Bentuk komunikasi ini sering disebut dengan gosip.
Eric K. Foster dalam penelitiannya yang berjudul Research on Gossip: Taxonomy, Methods, and Future Directions memberikan definisi tentang gosip secara psikologis, yaitu membicarakan pihak ketiga tanpa kehadirannya (tentunya dengan terlebih dahulu ada dua pihak). Gosip sendiri merupakan salah satu bentuk pertukaran informasi (baik positif maupun negatif) terhadap pihak ketiga yang tidak hadir dalam kegiatan pertukaran informasi tersebut.
Gosip sendiri kerap dikaitkan dengan perilaku masyarakat kelas dua yang kurang edukasi, padahal nyatanya gosip juga berkembang subur di perkantoran elite kota metropolitan. Gosip selalu diasosiasikan sebagai sebuah komunikasi negatif karena berisi pembicaraan mengenai aib orang lain. Lebih lagi dalam ayat-ayat di beberapa agama atau keyakinan mengatakan bahwa gosip merupakan perilaku yang diharamkan. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa gosip sebenarnya memiliki peran penting dalam masyarakat, yakni sebagai salah satu bentuk pengendalian sosial.
Dalam kajian sosiologi, gosip merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial paling tradisional. Ia berfungsi sebagai instrumen pengontrol perilaku seseorang terkait dengan isu mengenai dirinya yang dibicarakan oleh orang lain. Kita perlu melihat sisi evaluatif dari gosip di mana informasi yang dipertukarkan oleh dua orang (atau lebih) tanpa melibatkan subjek gosip tersebut bertujuan untuk mengoreksi tingkah laku subjek yang tidak sesuai dengan nilai dalam kelompoknya.
Maka dari itu, ketika gosip tersebut sampai pada telinga si subjek baik melalui jalur langsung maupun tidak langsung (langsung artinya si pelaku gosip memberitahu mengenai gosip yang beredar tentang diri si subjek, tidak langsung artinya subjek mendengar gosip tersebut tanpa terlibat dalam pembicaraan), ia akan melakukan self-evaluation mengenai apa yang salah dengan dirinya. Selanjutnya, dalam rangka memperbaik reputasi, subjek gosip akan mengklarifikasi isi gosip tersebut baik dengan cara lisan ataupun dalam bentuk perubahan perilaku.
Selain menjadi bahan evaluasi diri dan pengendalian sosial, gosip seakan menjadi candu bagi banyak orang dikarenakan gosip memberikan perasaan berkuasa atau power atas subjek gosip yang biasanya memiliki kekuasaan lebih tinggi dari mereka. Contohnya, ketika sekumpulan pekerja bergosip mengenai tingkah laku buruk manajer mereka, mereka akhirnya memiliki kekuasaan lebih dibandingkan manajer mereka. Power tersebut mereka dapatkan dari informasi yang mereka ketahui tentang manajer tersebut tanpa manajer tersebut mengetahuinya, dan ketika manajer tersebut merasa buruk akan adanya gosip di lingkungan karyawannya, power tersebut akan semakin berkembang.
Kemampuan untuk menyinggung subjek berkuasa yang biasanya sulit disentuh adalah sebuah kepuasan tersendiri bagi pelaku gosip. Kapan lagi rakyat biasa bisa menyinggung kehidupan anggota DPR? Jawabannya adalah saat mereka bisa membicarakan mengenai buruknya kinerja para DPR saat diskusi malam atau menonton berita kala makan siang. Maka dari itu, gosip juga kerap kali melibatkan orang-orang yang berasal dari dua kelas yang berbeda atau mereka-mereka yang bertingkah laku tidak sesuai dengan nilai,norma, atau bahkan aturan kelompok di lingkungannya tinggal.
Akan lebih baik halnya jika gosip yang dilontarkan memang dengan tujuan mengevaluasi dan informasi yang disebarkan berdasarkan kenyataan. Pun para subjek gosip dapat melihat dari sudut pandang baru selain sebagai korban atau raja yang tak bisa diusik, karena pada dasarnya gosip adalah aspirasi yang tertunda, yang terhalang tembok tak kasat mata dalam sebuah relasi.
Refrensi;
Meinarno, E. A. dkk. 2011. Apakah Gosip Bisa Menjadi
Kontrol Sosial. Jurnal Psikologi Pitutur.
Vol. 1, No. 2, 78-80.
Foster, E.K. (2004). Research on Gosip: Taxonomy, Methods,
and Future Directions. Review of General
Psychology. Vol. 8, No. 2, 78-99.
Why
People Love to Gossip oleh London Real. Diakses dari: https://www.youtube.com/watch?v=V1GZ98pwllk&t=197s
0 Comments:
Post a Comment