[Pic: alchetron.com] |
Muhammad Syarif Hidayatullah
Penulis, Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute
Seorang filsuf asal Austria bernama Alexius Meinong mencoba merumuskan hal-hal yang ada disebut sebagai eksistensi, “mungkin ada” atau “setengah ada” dikelompokkan sebagai subsistensi, dan hal-hal yang bahkan sebenarnya tidak ada, ia istilahkan sebagai absistensi.
Meinong membagi keberadaan dan ketiadaan yang sebenarnya bisa saja ada, dan membuka ruang ontologis bagi pemikiran yang lebih berkeadilan dan luas dibanding filsuf pada umumnya.
Sejalan dengan teori objek Meinong di atas, seharusnya apa yang kita sebut "teori" sebagai entitas yang berawal dari ranah konseptual mestinya mengakomodasi apa yang disebut dengan "ada". Sebab, hal-hal yang ada di dunia realitas adalah sejak awal karena hasil dari kerja realitas akal yang abstrak, yang kemudian melahirkan teori.
Meinong sebelum kedatangannya dengan klasifikasi yang ia buat mengenai filsafat ada dan ketiadaan. Jauh sejak abad-abad lampau, telah ada istilah yang sama dari para pemikir muslim yaitu dengan istilah mumkin wujud (eksistensi dan subsistensi). Eksistensi merupakan apa-apa yang ada di dunia nyata sehari-hari seperti misalnya kursi, meja, pensil, dan sebagainya secara konkret. Subsistensi adalah ranah yang setengah ada, atau hal abstrak yang ada hanya di pikiran namun tak ada bentuk konkritnya, contoh rumus-rumus atau angka-angka matematika yang hanya ada di ruang konseptual kita tapi tidak ada di dunia nyata. Sepuluh jari tangan kita, tidak memiliki hubungan langsung dengan angka sepuluh yang kita ciptakan di dalam pikiran.
Mustahil wujud (absistensi) yaitu apa-apa saja yang mustahil ada, misal pensil yang kedua sisinya tidak memiliki pangkal ujungnya, atau segitiga berbentuk bulat, atau piramid berbentuk bola, dan lain-lain.
Namun ada satu eksistensi yang berbeda dari jenis teori objek yang disebut Meinong yaitu “niscaya wujud”. Niscaya wujud diandaikan adalah entitas yang menjadi sebab bagi segala akibat di alam ini.
Dalam klasifikasi Meinong tadi, niscaya wujud tidak bisa diletakkan di level eksistensi, subsistensi, dan atau apalagi absistensi. Itu karena niscaya wujud meliputi ketiga klasifikasi yang dibuat Meinong. Seperti jika kita andaikan pada segelas teh manis; air sebagai eksistensi, teh sebagai subsistensi, dan gula diwakili sebagai absistensi.
Jika tanpa air, teh dan gula tidak bisa larut, jika tanpa teh maka air dan gula tidak bisa menjadi berwarna sebagaimana teh manis yang kita kenal, kemudian jika tanpa gula maka tiada pernah ada rasa manis. Niscaya wujud tercampur hingga tiada bisa dibedakan lagi dan tiada tempat ia tak hadir di dalamnya.
Konsep Meinong ini sudah dipikirkan jauh lebih awal oleh para filsuf muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Isyraq Suhrawardi, Mulla Sadra, dan pemikir muslim lainnya.
Apakah ada yang disebut ketiadaan dan ada itu sendiri? Apa
bukti bahwa ada sesuatu di luar eksistensi? Jawabannya ialah, visi. Visi
artinya gambaran masa depan atau bahkan hal-hal abstrak yang tidak (belum
saatnya) ada bentuknya secara konkrit. Visi merupakan contoh nyata bahwa mumkin wujud itu ada meski dia di awal masih setengah ada atau hanya ada
di dalam pikiran (akan ada).
*****
0 Comments:
Post a Comment