Bagus Ardiyansyah
Pegiat Sanglah Institute
Dalam
buku Masculinities and Culture (2002), Beynon
memetakan sejarah maskulinitas
sebagai berikut.
Maskulin sebelum tahun 1980-an
Sosok maskulin pada dekade ini dinamakan dengan konsep maskulin hegemonik, ortodoks, atau istilahnya dewasa ini sebagai maskulin toksik. Dalam dekade maskulin ini, nilai-nilai esensial yang melekat adalah kekuatan, kekuasaan, kendali, kemandirian, kepuasaan diri, dan kerja. Oleh karena itu, sosok atau citra laki-lakinya adalah figur kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilaku yang otoritarianisme serta bau keringat besi atau kayu. Nilai esensial citra ini kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, di mana laki-laki bekerja di pabrik atau publik. Oleh sebab itulah, dalam dekade maskulin ini sesuatu “yang lain”, yang berbeda dari ketetapan nilai-nilai esensial dianggap atau dipandang rendah, seperti hubungan interpersonal, kehidupan domestik, kelembutan, dan kasih sayang. Di sisi lain, karakteristik maskulin dekade ini juga terepresentasikan dari selera berpakaian, bentuk tubuh dan aktivitas, cara bergaul, dan aksesoris tubuh yang dipakai, juga dalam wujudnya di media (Chapman dan Rutherford, 2014).
Fantasi maskulinitas ini semakin menjamur, yang terwujud dalam media—film—seperti dalam Rambo, Terminator, Bruce Willis, Bruce Lee, dan lain sebagainya. Mereka, dalam film tersebut mengampanyekan citra maskulin destruktif sebagai solusi permasalahan laki-laki. Kekerasan digunakan sebagai penggambaran kekuatan fisik disertai dengan bentuk tubuh kekar-berotot yang mengajarkan bahwa maskulinitas dalam diri adalah perihal kendali dan kuasa atas orang lain (Chapman dan Rutherford, 2014).
Hal terkait digunakan
sebagai instrumen sumber kekuatan dan kebanggaan. Arketipe dari maskulinitas pada
dekade ini dipandang sebagai stabilitas sosial, sehingga di luar daripada ini
dianggap penghianat, kehilangan martabat serta pengecut, yakni laki-laki yang
terfeminisasi. Maka dari itu, kekerasan sangat wajar dalam dekade ini sebagai
upaya untuk menghancurkan apa yang disebut Roland Barthes sebagai “skandal liyan” (2018).
Idealisasi maskulinitas dalam dekade ini juga diistilahkan sebagai laki-laki
retributif (pembalas) yang menegaskan atau menginjeksikan otoritas mandiri yang
tangguh dengan mengekspresikan kejantanan lewat kekuatan fisik (Chapman dan
Rutherford, 2014). Tanpa sadar, hal ini menjadi maskulinitas global—kiranya
sampai dewasa ini—yang memiliki jargon bahwa “kita (laki-laki) mampu menghadapi
apa pun”.
Maskulin tahun 1980-an
Pada pemetaan dekade ini, wacana maskulin mulai bergeser, yang bukan lagi terkait berbau woodspice, otoriter, kekuatan serta kekerasan, melainkan merupakan sosok laki-laki new man. Beynon, melontarkan dua konsep terkait new man ini, yakni new man as nurture dan new man as narcissist. New man as nurturer digaungkan sebagai gelombang awal reaksi laki-laki terhadap feminis, bahwa laki-laki pun memiliki dan menjalani sifat alamiahnya—melibatkan emosional—yakni sebagai mahluk yang mempunyai rasa kasih sayang dan perhatian. Hal ini terkait dengan laki-laki sebagai seorang suami dan bapak yang memiliki kelembutan, bukan saja otoriter, misal dalam hal mengurus anak dan keinginan laki-laki untuk terjun dalam arena atau dunia domestik.
Dari sinilah, kiranya sebagai pemantik lahirnya maskulinitas-fatherhood. Pergerakan terkait maskulinitas (fatherhood) dekade ini, tampak dalam gagasan yang dicetuskan oleh Kavyn Jones, seorang direktur Mothercare, yang menempatkan laki-laki dalam katalog sebagai wajah baru dari laki-laki; yang tengah menggendong dan mendorong kereta bayi di tempat umum, menunggu proses persalinan, sebagai upaya untuk merepresentasikan fatherhood sebagai kebanggaan dan bukannya “aib” yang mencoreng laki-laki. Dengan kata lain, fatherhood memberi ruang bagi laki-laki untuk merehabilitasi citra yang tengah meluntur atau terkekang oleh maskulinitas tradisional (Chapman dan Rutherford, 2014).
Pada konsep yang kedua, new man as narcisstict, berkaitan dengan komersialisasi terhadap maskulinitas serta konsumerisme, yakni mereka yang tertarik pada fashion dan musik pop. Majalah laki-laki pertama diterbitkan oleh penerbit The Face pada tahun 1986 berjudul Arena (Chapman dan Rutherford, 2014). Ambisinya adalah untuk merebut atau dominasi atas pasar fashion. Selanjutnya, diikuti dengan banyaknya produk-produk komersial untuk laki-laki yang bermunculan, bahkan laki-laki menjelma sebagai objek seksual bisnis yang besar.
Dengan demikian,
fashion telah menjadi simbol status di antara para laki-laki. Hal ini memperlihatkan
upaya mengeksploitasi narsisme yang muncul di kalangan laki-laki. Fluktuasi ini
merefleksikan maskulinitas yang telah melepaskan diri dari cengkraman
maskulinitas tradisional/hegemonik yang sangat mewarnai proses pembentukan
identitas laki-laki. Salah sekiannya dengan menganggap laki-laki pekerja
industri sebagai sosok yang sudah ketinggalan zaman dalam pengoprasian modal.
Lebih jauh, laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yang
terkait pada fashion, sehingga mereka menjadi sumber aspirasi serta lebih
narsistis karena dipengaruhi oleh pasar konsumen dan dibelinya gaya serta
penampilan pada dekade maskulinitas ini.
Maskulin tahun 1990-an
Pemetaan dalam dekade ini mendapati arketipe maskulinitas yang terwakili dengan laki-laki yang sifatnya tidak peduli pada hal-hal sepele, karena lebih menekankan pada sifat kelaki-lakian atau teritori tubuh yang lebih macho (machoisme), kekerasan, dan hooliganisme. Kehidupan konsumerismenya dilekatkan dengan membangun citra macho pada football (sepakbola), minum-minum, dan berhubungan intim dengan para perempuan sehingga hubungan laki-laki dan perempuan hanya sebatas kesenangan semata (Beynon, 2002).
Dengan demikian, leissure
time lebih diutamakan dalam kehidupan, yakni bersenang-senang dan hidup
yang bebas sesuai kehendak. Bisa dikatakan, citra dari ideologi maskulinitas
dekade ini, yakni laki-laki dengan teman-temannya menonton sepakbola, minum
bir, serta melakukan sesuatu yang merendahkan perempuan (Beynon, 2002). Apa
yang tercerminkan di sini, semakin membuat jarak laki-laki atau maskulinitas
dengan hal yang berbau domestik yang memerlukan loyalitas dan dedikasi. Dengan
kata lain, bukan pada ranah “menolong” tetapi merupakan “kewajiban”.
Maskulin tahun 2000-an
Pluralitas maskulin makin terlihat pada dekade ini yang cenderung mengarah pada metroseksual. Pada tahun 1994, pertama kalinya istilah metroseksual muncul lewat tulisan kolumnis fashion Inggris, Mark Simpsons, dalam bukunya Men Performing Masculinity yang menyimpulkan bahwa laki-laki metroseksual merupakan laki-laki muda yang menaruh perhatian lebih pada dirinya, terutama ihwal fashion serta perawatan tubuh mereka, ada di kota metropolis, dan berpenghasilan di atas rata-rata. Selanjutnya, istilah ini semakin terkenal, terlebih pada tahun 2002 dengan ikonnya Brad Pitt dan David Beckham (Phylopop, 2012). Oleh karena itulah, laki-laki metroseksual selalu dikaitkan kemunculannya dari kalangan menengah atas, mereka sangat stylist, dan berkumpul dengan komunitas-komunitas yang terpandang di masyarakat. Laki-laki metroseksual merupakan laki-laki dengan gaya hidup yang perfeksionis dan teratur. Selain itu, mereka juga disebut sebagai laki-laki yang berbudaya karena mempunyai atau berpengetahuan luas.
Di satu sisi, laki-laki metroseksual memiliki kemiripan dengan tipe maskulin yang ada di tahun 1980-an, bahkan mungkin sama, dalam mengekspresikan maskulinitas mereka dengan disodor-sodorkan, dirangsang lewat komoditas dan jejeran barang-barang; mulai dari celana jeans dengan model bersetrip dan berbahan denim, gaya rambut yang berdiri, rambut spiked dengan minyak, sampai berambut gondrong dengan anting-anting besar (Mort, dalam Chapman dan Rutherford, 2014). Ditambah lagi, mereka didorong untuk melihat diri mereka sendiri, yang artinya sangat peduli sampai pada bagian remeh sekalipun dalam konteks penampilan. Hal ini merepresentasikan bahwa obsesi mereka pada tubuh sebagai simbol keinginan seksual dan kesuksesan (Beynon, 2002).
Lebih jauh, citra ini
semakin merepresentasikan ikon-ikon maskulinitas tradisional. Selanjutnya, tentu
mereka memperoleh kesenangan dari esensi-esensi yang sebelumnya dicap tabu atau
feminim, yang datang dari representasi komposit maskulinitas yang datang berduyun-duyun
dari rumah mode, pasar, dan jalanan sehingga tipe maskulin tahun 2000-an yang
berkembang cenderung ke arah metroseksual. Misalnya, di Indonesia pasca Orde Reformasi muncul
majalah-majalah gaya hidup laki-laki di tanah
air, seperti majalah Esquire Indonesia, FHM Indonesia,
Cosmopolitan Men Indonesia, Best Life Indonesia, Men’s Health Indonesia,
Fitness for Men’s, Men’s Fitness Indonesia, dan sebagainya, yang secara
tidak langsung sebagai penuntun untuk membangun citra laki-laki yang mensentralkan
pada kebutuhan fashion dan perawatan tubuh (Daulay, 2016).
*
Apabila menilik rekam
jejak maskulinitas di
atas, kita bisa mengutip pernyataan Smith (dalam Halberstam, 1998), bahwa
maskulinitas harus selalu berpikir
plural, yang berarti maskulinitas tidak secara eksklusif sebagai properti milik
biologis laki-laki. Artinya, hal ini menunjuk
pada defenisi bahwa maskulinitas bukanlah entitas tetap tertanam dalam tubuh
atau ciri kepribadian. Maskulinitas adalah konfigurasi dari
praktik-praktik yang dilakukan dalam
aksi sosial. Oleh karena itu, dapat berbeda sesuai dengan hubungan gender dalam
pengaturan sosial tertentu. Dengan kata lain, laki-laki sah-sah saja, misal, memposisikan
dirinya berperan maskulin-fatherhood dengan turun langsung ke domestik,
penuh emosi, kelembutan, cinta serta kasih sayang pada keluarganya. Bahkan, maskulinitas
pun ada dalam diri perempuan.
*****
0 Comments:
Post a Comment