[Flowers by Vincent van Gogh] |
Sopian Tamrin
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial
Universitas Negeri Makassar
Pegiat Literasi di Edu.Corner
Belakangan ini, mengoleksi bunga menjadi fenomena sosial yang meluas di tanah air, berbagai media pun turut meliputnya. Kolektor bunga tak didominasi oleh lapisan sosial tertentu, melainkan berasal dari berbagai level sosial, dari bawah hingga atas. Coba perhatikan pekarangan di rumah-rumah yang tetiba penuh bunga, pun bisa jadi Anda salah satunya.
Mari kita memulai tanggapan kurang penting ini dengan mengajukan pertanyaan, mengapa saat ini masyarakat berlomba-lomba menanam atau mengoleksi bunga? Apakah ini ada kaitannya dengan Work From Home (WFH) di mana intensitas aktivitas masyarakat lebih banyak di rumah? Atau ada sebab lain?
Bukankah kecemasan kita saat ini, termasuk pemerintah, adalah soal pemenuhan kebutuhan pokok di masa pandemi. Akan tetapi, data dari beberapa media online justru menunjukkan bahwa penjualan tanaman hias naik tajam. Dilansir dari Tribun Bali, penjualan tanaman hias naik sampai 80%. Begitu juga, wawancara Palembang Pos terhadap ibu Tika Nilawati, salah seorang pedagang bunga menyatakan bahwa penghasilannya meningkat hingga 200%.
Dalam kadar normal, fenomena ini sangat mengherankan karena dalam situasi sulit di mana wacana pemenuhan kebutuhan dasar semakin sulit, masyarakat justru berburu bunga-bunga hingga harga jutaan. Ini menjadi satu catatan bahwa di saat masyarakat dianggap rentan karena dampak pandemi, di saat yang sama justru geliat berburu tanaman hias semakin membuncah.
Masuk Kampus dan Melampaui Patriarki
Dalam media sosial, viral seorang oknum dosen di salah satu kampus negeri Makassar hanya menerima bimbingan skripsi mahasiswanya jika si mahasiswa membawa bunga yang telah ditentukan. Tentu rasa penasaran saya semakin tak karuan. Saya berupaya mencari informasi lebih jauh dan hal-hal unik terkait fenomena ini. Saya begitu meragukan bahwa bunga yang lagi marak murni soal keindahan atau kecintaan pada tanaman. Karena kecurigaan itu, saya tak melihat karakteristik, kualitas, dan bagaimana tanaman itu dirawat, tetapi mencermati bagaimana perilaku masyarakat yang mengoleksi bunga.
Di antara kita mungkin saja mengidentikkan bahwa aktivitas mengoleksi bunga adalah hobi perempuan. Dalam kultur patriarki, jika aktivitas semacam ini dilakukan oleh laki-laki maka bisa saja dianggap sebagai hal yang tabu. Namun, hasil berbagai observasi saya baik secara langsung maupun di media sosial membuktikan bahwa perilaku ini memang tak sekadar digandrungi oleh perempuan. Beberapa waktu lalu viral seorang lelaki berusia 23 tahun yang rela menukar mobilnya senilai ratusan juta rupiah dengan sebuah bunga jenis caladium atau keladi. Beberapa teman saya yang laki-laki juga sedang semangat-semangatnya mengoleksi bunga. Saya sering melihat koleksinya beberapa kali di strory media sosialnya.
Melihat upaya-upaya yang dilakukan para pemburu bunga ini saya berasumsi bahwa tentu ada makna penting bagi masyarakat saat ini. Saking pentingnya bunga-bunga hari ini, beberapa masyarakat rela berburu bunga hingga ke hutan, hingga marak munculnya kasus pencurian bunga. Ada apa dengan bunga, kok bisa begitu gilanya masyarakat karenanya saat ini. Bunga hari ini seperti varietas tanaman baru yang tak pernah ada di planet ini sebelumnya.
Secara sosiologi, Jika makna tindakan seseorang yang berburu dan mengoleksi bunga itu berkaitan dengan relasinya atau menegaskan identitasnya dalam kelompok atau masyarakat, maka itu dikategorikan sebagai tindakan sosial. Sehingga apa yang kita lihat terkait maraknya masyarakat menanam bunga sama sekali bukan fenomena membesarnya rasa cinta terhadap lingkungan atau keindahan: itu fenomena sosial.
Hemat penulis, sangat lemah alasannya melihat fenomena ini sebagai satu apresiasi terhadap keindahan. Misalnya, bagaimana mungkin kita bersepakat bahwa bunga jenis Aglonema, Philodendron, Monstera, atau Calathea adalah lebih cantik dari bunga yang lain. Andaikata ini perihal keindahan tentu jenisnya tidak diseragamkan. Kok bisa masyarakat menyukai satu jenis bunga dibandingkan jenis yang lain.
Bunga dan Konsumsi Tanda
Darimana standar keindahan tersebut berasal? Hemat penulis standarisasi muncul dari mekanisme pasar dengan orientasi profit. Nah, dari sini kita bisa sedikit melihat bahwa bunga sudah menjadi komoditas. Oleh karena itu, fenomena ini tidak cukup hanya dilihat soal tanaman, tetapi ini terkait implikasi yang lain agar si pemiliknya merasakan kebermaknaan secara sosial. Jika meminjam istilah Jean Baudrillard, ini bisa kita sebut sebagai nilai tanda, di mana kita mengonsumsi sesuatu tidak lagi terkait nilai guna melainkan nilai tanda. Sedangkan nilai tanda itu terkait dengan kepuasaan atas kepemilikan yang memberikan prestise tertentu.
Itulah sebabnya memiliki bunga janda bolong mirip dengan saat kita memiliki satu tas atau sepatu merk tertentu. Sehingga nama bunga itu tidak lagi terkait dengan karakteristik dan keindahannya melainkan kebanggaan memilikinya. Menariknya, tanda yang masif tersebut tidak diproduksi oleh kapitalis(me) sebagaimana sasaran kritik teori kritis; melainkan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri, bahkan jaringan dan siklus ekonominya bermain pada semua level sosial.
Memiliki bunga tidak sebatas memproleh keindahan dari jenis bunga, melainkan menandakan satu pretise tertentu. Variasi bunga kemudian menjadi satu kehebohan tersendiri. Memiliki jenis tertentu menjadi satu kebanggaan. Sedangkan kebanggaan tidak terkait dengan keindahan si bunga, melainkan kepuasan atas kepemilikan yang dibandingkan dengan yang tidak memiliki. Oleh karena itu, merawat bunga tidak sebatas keindahan sebagaimana biasanya, melainkan tindakan yang berorientasi sosial. Seperti yang dikemukakan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, bahwa aktivitas konsumsi berkaitan dengan benda-benda material dan aktivitas simbolis. Objek konsumsi mendatangi kita sekaligus sebagai benda material dan bentuk simbolis. Lambat-laun, perilaku mengoleksi bunga pun akan menjadi gaya hidup, bahkan satu bentuk budaya konsumsi baru.
Melihat ciri-ciri fenomenanya, semarak bunga-bunga tidak akan berlangsung seterusnya. Ini hanya fenomena musiman, sebagaimana pengakuan beberapa ibu-ibu, bahwa mereka sekadar mengikuti tren. Jadi ingat cerita mama angkat saya di satu desa Luwu Timur bahwa beberapa bunganya sudah dibuang namun diambil kembali. Hmm … ini semacam kisah bahwa habis batu-batu terbitlah bunga-bunga. Sungguh wabah itu bernama bunga-bunga.
Dari tulisan singkat ini, penulis ingin menyampaikan bahwa semoga ke depan para pemburu bunga yang sedang semangat-semangatnya tetap konsisten di kemudian hari. Meskipun tren terhadap bunga layu, atau janda bolong tiada lagi harganya: jangan sampai semangatnya ikut layu, kasian bunga di halaman ikut layu.
Wassalam.
0 Comments:
Post a Comment