[Pic: hbr.org] |
Wahyu
Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Direktur
Sanglah Institute
Disampaikan
dalam Webinar Nasional: “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme” pada tanggal 31
Oktober 2020. Diselenggarakan oleh MARAPI, aihi, Prodi HI UNUD, dan KOMAHI
UNUD.
Republik ini telah melalui sejarah
panjang ketegangan antara sipil dengan militer, dimulai dari Orde Lama hingga
Orde Baru. Peristiwa Reformasi 1998 memberikan kita momen untuk mulai mengikis
ketegangan ini, dan di era pemerintahan Gus Dur, terdapat berbagai capaian
signifikan untuk meredakan ketegangan ini—pencabutan Dwi Fungsi ABRI, larangan
tentara menjabat dalam birokrasi sipil, serta TNI yang sekadar ditugaskan untuk
pertahanan serangan dari luar negeri.
Pelibatan TNI dalam pemberantasan
terorisme tanpa batasan yang jelas di dalam negeri, dikhawatirkan akan
mengurangi fungsi pertahanan TNI, dan membuatnya kembali ke ranah sipil.
Di tahun 1990-an, muncul buku yang
sangat terkenal dari Profesor Ilmu Politik Amerika Serikat Samuel P. Huntington, berjudul
The Clash of Civilizations atau Benturan antar-Peradaban. Buku ini
sebetulnya dimunculkan untuk menjawab buku Francis Fukuyama yang berjudul The End of History and The Last Man,
yang di dalamnya berisi klaim atas kemenangan ideologi demokrasi liberal di
atas ideologi-ideologi lainnya.
Melalui karya Huntington, seolah pendekatan
militer atau war model (model perang)
dalam mengatasi terorisme memperoleh legitimasinya. Namun kemudian, karya ini
menuai kritik di sana-sini, salah satu yang paling mengemuka adalah, benturan
antar-Peradaban yang terjadi sifatnya lokal dan spesifik, tidak terjadi secara
makro dan mewujud dalam skala sistem sosial yang luas. Dengan demikian,
pendekatan militer tidak sesuai digunakan untuk mengatasi terorisme.
Jika kita menilik ke belakang di tanah
air, di era Orde Lama dan Orde Baru, pendekatan militer memang lebih
diutamakan, tetapi ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, di era Orde Lama
dan Orde Baru isu HAM belum menjadi prioritas. Kedua, di era Orde Lama
terutama, aksi terorisme yang terjadi mewujud dalam gerakan pemberontakan yang
sifatnya masif yang hanya bisa diatasi oleh tentara karena kepolisian belum mampu
mengatasinya—misalnya pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi
Selatan.
Dalam masyarakat demokratis, atau sedang
dalam mengalami proses demokratisasi, yang juga sudah memiliki kepolisian yang
kuat; seyogiyanya pendekatan yang digunakan untuk melawan terorisme adalah criminal justice model. Artinya di
Indonesia saat ini, terorisme (perlu) ditempatkan sebagai persoalan penegakan
hukum yang ditangani kepolisian, bukan persoalan pemberontakan yang ditangani
TNI.
Bagaimanapun juga, terdapat doktrin
yang berbeda antara kepolisian dengan TNI, kepolisian dengan doktrin keamanan,
sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan. Perbedaaan doktrin ini tentu
menyebabkan perbedaan pula di ranah praksis atau tindakan. Polisi dengan
doktrin keamanan cenderung berorientasi untuk melumpuhkan, sedangkan TNI dengan
doktrin pertahanan cenderung berorientasi untuk “membunuh” dan “menghancurkan”.
Doktrin pertahanan inilah yang
dikhawatirkan banyak pihak dapat menimbulkan persoalan HAM, karena kemudian seolah
pelaku teror bukan untuk diadili dan dihukum, tetapi untuk ditembak mati di
tempat.
Terdapat beberapa catatan mengapa kita
tetap harus mengedepankan kepolisian dalam pemberantasan terorisme.
Pertama, setelah revisi UU Terorisme (2018)
polisi sudah bisa bertindak sebelum kejadian (teror)—sebelumnya baru bisa
bertindak setelah ada kejadian. Itulah mengapa, dalam beberapa tahun terakhir ini
banyak terjadi penangkapan anggota berbagai jaringan teroris di tanah air. Ini
artinya, kita sudah menerapkan offensive
counterterrorist operations, bukan lagi sekadar defensive security.
Kedua, setelah dibentuknya DENSUS 88 angka
teror di tanah air cenderung menurun.
Ketiga, terdapat penelitian menarik dari
Seth G. Jones dan Martin C. Libicki di tahun 2008. Mereka meneliti 648 kelompok
teroris dalam rentang waktu tahun 1968 hingga 2006. Hasil penelitian mereka
menyebutkan bahwa efektivitas penggunaan militer untuk menanggulangi terorisme
hanyalah 7%, sementara polisi 40%, sisanya lewat lembaga sosial-politik.
Menurut mereka, militer baru efektif dilibatkan ketika kelompok teroris
merupakan kelompok pemberontak dalam jumlah besar—sama seperti DI/TII di era
Soekarno dulu.
Keempat, dengan doktrin SISHANKAMRATA, berbagai
elemen masyarakat juga akan turut membantu dalam mengatasi persoalan terorisme.
NU misalkan, yang lewat BANSER membentuk Densus 99.
Dari sini, menjadi penting pula
memandang (persoalan) terorisme dalam bingkai sosial-kultural suatu masyarakat.
Munculnya organisasi teroris Taliban, al-Qaeda, atau ISIS adalah kasus-kasus unik
yang tidak terlepas dari kondisi sosial-kultural masyarakat Timur Tengah.
Sementara di Indonesia, praktik-praktik
keagamaan yang ada, sudah sejak dahulu terakulturasi dengan budaya lokal yang
santun, lembut, dan toleran sehingga umat beragama di tanah air lebih berorientasi
pada konsensus ketimbang dominasi atau perebutan kekuasaan.
Terkhusus umat Islam tanah air misalkan,
Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan
dunia, kiranya dapat merepresentasi masyarakat muslim tanah air; dan baik
keduanya sama sekali tidak memiliki ideologi teror atau ide untuk mendirikan khilafah (negara Islam). Maka, dalam
kondisi damai (seperti ini) di tanah air, seyogiyanya pendekatan hukum dalam
melawan terorisme lebih dikedepankan—paham teror tak ubahnya subkultur yang
hadir di tanah air sebagai ekses globalisasi.
Melalui serangkaian uraian singkat
ini, kiranya rekomendasi dari Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terhadap Rancangan Peraturan
Presiden mengenai pelibatan TNI dalam kontra-Terorisme menjadi sangat relevan.
Pertama, pelibatan TNI harus berdasarkan
keputusan politik negara, yaitu melalui keputusan presiden dan pertimbangan
DPR.
Kedua, pelibatan TNI dalam kontra-Terorisme
adalah pilihan terakhir, ketika kepolisian mengalami keterbatasan dalam
mengatasinya.
Faktual,
selama ini TNI (juga) sudah turut dilibatkan saat kepolisian mengalami
keterbatasan, semisal operasi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Poso,
dan Papua—Kopassus dilibatkan dalam operasi Brimob.
...atau
dapat pula, dikarenakan kepolisian memiliki keterbatasan dalam medan operasi seperti
hutan, laut, dan udara; maka TNI lebih banyak berperan di medan-medan semacam
itu—karena memang lebih memiliki kapasitas. Sementara, polisi lebih banyak
berperan di wilayah urban dan suburban yang padat penduduk.
Tetapi
perlu dicatat sekali lagi, menjadi tidak bijak bagi kita mengubah pendekatan
‘criminal justice model’ dengan ‘war model’ hanya dikarenakan keberhasilan satu
atau dua operasi militer dalam memberantas terorisme. Terlebih, menurut
penelitian Kane dan Londsdale di tahun 2012, sangat jarang bagi pelaku teroris
memiliki kemampuan sumberdaya dan organisatoris untuk menciptakan
serangan-serangan serupa di masa mendatang.
Ketiga, pelibatan TNI hanya bersifat
sementara dan dalam jangka waktu tertentu, karena tugas utama TNI adalah untuk
menghadapi perang.
Keempat, pelibatan TNI harus tunduk pada
norma hukum dan HAM.
Kelima, anggaran TNI untuk kontra-Terorisme
berasal dari APBN agar tidak membebani keuangan daerah.
Akhir kata, tidak ada keamanan tanpa HAM, dan tidak ada HAM tanpa ditegakkannya
keamanan.
*****
0 Comments:
Post a Comment