Mundurnya Peran Agama dalam Krisis Ekologi



“MANUSIA bisa hidup tanpa emas, tapi tak bisa hidup tanpa air”, demikian bunyi protes aktivis lingkungan di Banyuwangi atas eksploitasi hutan Gunung Tumpang Pitu oleh PT. BSI milik pengusaha Sandiaga Uno. Gunung yang diturunkan statusnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi oleh bupati Banyuwangi Azwar Anas pada tahun 2013 tersebut, kini terancam kerusakan total bahkan musnah oleh aktivitas pertambangan emas di sana.

Apa yang terjadi pada Gunung Tumpang Pitu merupakan salah satu gambaran kecil saja dari besarnya kerusakan lingkungan di Indonesia oleh korporasi, baik di sektor perkebunan maupun tambang. Sehingga mudah ditebak, wilayah dimana ada sumber daya mineral bisa dipastikan sudah diduduki korporasi. Eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan tambang tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan, tapi juga sangat merugikan negara dan sebagian besar rakyat yang hanya mendapatkan dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Di Samarinda, Kalimantan Timur, contohnya, tambang batubara tidak hanya merusak lingkungan tapi juga membunuh puluhan anak-anak kecil yang tenggelam di bekas galian tambang yang dibiarkan menganga.

Jika ditinjau dari sejarah tahapan kapitalisme, meluasnya perusakan lingkungan dan meningkatnya konsentrasi kepemilikan penguasaan sumber daya pada korporasi-korporasi besar, merupakan bagian dari proses globalisasi dengan liberalisasi ekonomi sebagai ciri utamanya. Mengenai hal ini, apa yang dikatakan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, pada akhirnya terbukti benar bahwa “kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya menghalau borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, berusaha di mana-mana, mengadakan hubungan di mana-mana”.

Kedaulatan negara, sebagaimana seringkali dibicarakan, di hadapan institusi ekonomi global seperti WTO, World bank dan IMF menjadi semu dan tak berarti apa-apa. Karena ketiga lembaga dunia tersebut, di balik jargon kebebasan yang dipromosikannya, sebenarnya hendak mengatakan bebas untuk menjarah di seluruh belahan dunia. Mengenai hal ini, Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, lagi-lagi mengatakan, “di dalam hubungan-hubungan borjuis sekarang ini yang dimaksud dengan kemerdekaan ialah perdagangan bebas, pembelian dan penjualan bebas”. Dengan ini, demokrasi yang mula-mula dipahami sebagai: “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, kini telah bergeser menjadi: “dari korporasi, oleh korporasi, untuk korporasi”. Tepat disinilah, peran seorang pemimpin negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, sebenarnya tak lebih hanya sebagai salesman yang menjajakan potensi SDA yang melimpah sebagai bahan mentah industri dan tenaga kerja murah pada korporasi. Noorena Hertz dalam bukunya, The Silence Take-over: Global Capitalism and The Death of Democracy,[1] menunjukkan bahwa saat ini semua pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas negara telah terkooptasi oleh korporasi. Jadi, bisa dikatakan, pada hakikatnya negara telah sirna ditelan korporasi.

Ironis sekali, negeri yang seringkali dengan bangga disebut sebagai “Tanah Air” ini, ternyata sekitar 175 juta hektar teritorialnya (tanah dan laut) dalam bentuk HPH hutan, HGU perkebunan, dan KK pertambangan dan migas. Kalau ditotal, sekitar 175 juta hektar atau sekitar 93 persen luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh korporasi. Sebanyak 85 persen kekayaan migas, 75 persen kekayaan batubara, dan 50 persen lebih kekayaan perkebunan dan hutan tak ada satu jengkal pun yang dikuasai republik ini. Sementara air tawarnya dikuasai sekitar 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), yang 65 persen dipasok oleh perusahaan semacam Aqua Danone dan Ades Coca Cola. Dengan kondisi ini tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang, Indonesia akan mengalami krisis air. Bukan tidak mungkin, kelak air akan jauh lebih berharga ketimbang emas.

Sejak dibukanya kontrak karya pada tahun 1967, negeri ini telah menjadi surga bagi korporasi tambang dengan makin lebarnya jalan yang diberikan pemerintah melalui kebijakan pintu terbukanya. Seolah-olah mereka disambut dengan spanduk besar: “Welcome to heaven…”.

Berdasar laporan yang pernah dilansir Salamudin Daeng dari Institute for Global Justice (IGJ), di masa Raffles (1811) pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun; di masa Hindia Belanda (1870) hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun; dan anehnya di masa Susilo Bambang Yudhoyono (UU 25/2007), pemilik modal justru diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Sementara perusakan dan perampokan hutan di Indonesia diperkirakan telah mencapai 2 juta hingga 2,4 juta hektar pertahun, yang artinya pada tiap 1 menit hutan Indonesia hilang seluas 6x lapangan sepak bola dan dalam 1 tahun seluas 3x wilayah DKI Jakarta. Dan dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 64 juta hektar hutan atau 40 persen dari luas hutan sebelumnya. Artinya 3,8 juta hektar hutan rusak dalam setiap tahun, yang mengakibatkan turut musnahnya habitat alaminya.

Terhadap situasi seperti ini, sebagai kaum beragama, kita perlu bertanya: dimana sebenarnya peran agama dalam perjuangan penyelamatan ruang hidup oleh ancaman greedy kapitalisme global? Kita yakin bahwa semua agama pada dirinya merupakan jalan pembebasan, karena faktanya secara historis tak ada satupun agama yang lahir dari dalam istana. Semua agama lahir di tengah-tengah rakyat dan menjadi suara kaum tertindas melawan tirani dan ketidakadilan.[2] Namun, kenapa sekarang, di hadapan perusakan besar-besaran alam, agama justru surut ke belakang? Kenapa agama hilang dari panggung sejarah perjuangan?

***

Sebelum menganalisis lebih lanjut aspek-aspek yang memungkinkan surutnya peran agama dalam berbagai perjuangan penyelamatan alam dari eksploitasi besar-besaran korporasi, kiranya penting kita lihat terlebih dahulu sekilas, pandangan Islam terhadap alam dan peran manusia di bumi.

Secara teologis, Islam menempatkan manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi yang sekaligus menerima amanat untuk menjaga dan mengelola bumi, sebagaimana dengan terang ditunjukkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah, 2:30, dan QS. al-Ahzab, 33:72. Sayangnya, manusia, khususnya umat Islam, seringkali berbuat sebaliknya. Allah sendiri mengatakan bahwa manusialah yang sesungguhnya membuat kerusakan di bumi, sebagaimana dalam QS. Ar-Ruum:41, “Zhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahr bima kasabat aidinnas…” (Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia), yang oleh Ibnu Abbas dimaknai sebagai perbuatan merusak di lautan yang mengakibatkan rusaknya habitat ikan-ikan di laut.[3]Sementara dalam QS. Al-A’raaf:56, “Wala tufsidu fi al-ard ba’da islahiha” (Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya). Oleh Al-Qurthubi, ayat ini ditafsirkan sebagai  larangan Allah pada umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas bumi, baik sedikit maupun banyak.[4]

Maka semua kerusakan di bumi merupakan ulah manusia-manusia yang serakah dan tidak menyukuri nikmat Allah dengan merawat bumi sebaik-baiknya. Al-Qur’an menunjukkan beberapa penyebab kerusakan lingkungan (fasad al-bi’ah) diantaranya: Merusak (Al-A’raf, 7: 56 dan 74), (Al-Baqarah, 2: 60); Curang (Hud, 11: 85), (Al-Syura, 42: 181-183); Mengurangi/mengubah. (Al-Nisa’, 4: 118-119); Dorongan hawa nafsu (Muhammad, 47: 22) (Al-An’am, 6:123) (Al-Isra’,17: 16); Tidak seimbang dan berlebihan (Al-Isra’, 17: 25-26) (Al-An’am, 6:141) (al-A’raf; 7:31) (Al-Rahman, 55: 7-9) (al-Furqan, 25:67).

Betapa tingginya penghormatan Islam terhadap kehidupan dan kelestarian sampai ada hadis yang berbunyi begini: ‘Siapa yang membunuh seekor burung dengan sia-sia (tanpa maksud tertentu), burung tersebut akan mengadukan kepada Allah di hari kiamat, seraya berkata: “Wahai Tuhan, si fulan telah membunuhku dengan sia-sia dan aku dibunuh tidak dengan tujuan yang bermanfaat.”[5] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Jika tiba hari kiamat dan seseorang dari engkau sedang membawa bibit kurma, hendaklah ia (segera) menanamnya.”[6]

Mengenai tata kelola SDA, seorang ulama besar, al-alim allamah Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa sumber mineral haruslah dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat dan tidak boleh dimonopoli oleh orang perorang atau dikuasai pihak swasta.[7]Senada dengan apa yang dikatakan oleh Al-Zuhaily, di kalangan madzab Hambali dan Maliki memandang semua ciptaan Allah, berupa tambang, bebatuan, air, rerumputan (pada masa itu air dan padang rumput sangatlah vital untuk pakan ternak) haruslah dimiliki oleh negara.[8] Sedemikian, dalam Islam, jangankan merusak, memakai apa yang dari alam secara berlebihan saja dilarang. Bahkan para Ulama sepakat melarang menggunakan air secara berlebihan walaupun persediaan air dalam kondisi melimpah.[9] Sedemikian, dari sini kita bisa melihat bahwa dalam Islam, alat produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam tradisi pesantren juga terdapat kaedah-kedah yang secara jelas menolak perusakan. Diantaranya: 

  1. Kaidah: لا ضرار ولا ضرار(Tidak boleh melakukan kemudharatan terhadap diri sendiri dan orang lain)

  2. Kaidah: الضرر يزال بقدر الإمكان(Kemudharatan harus dihilangkan semampunya)

  3. Kaidah: الضرر لا يزال بضرر مثله(Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang sama)

  4. Kaidah: يتحمل الضرر الأدنى لدفع الضرر الأعلى(Boleh melakukan mudharat yang lebih ringan untuk mengatasi mudharat yang lebih besar)

  5. Kaedah: يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام(Melakukan mudharat yang khusus demi mencegah mudharat umum)

  6. Kaidah: إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما(Apabila terjadi pertentangan dua hal yang membahayakan, maka boleh melakukan yang lebih ringan bahayanya)

  7. Kaidah: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح(Menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan)

 

Bagaimana dengan sikap organisasi-organisasi Islam? Di atas kertas, sebenarnya tidak sedikit putusan hukum dari organisasi Islam yang mengecam perusakan lingkungan. Di NU misalnya. Dalam putusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-29 tanggal 4 1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung, Tasikmalaya, menetapkan mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat). Demikian juga dalam putusan Bathsul Masail NU pada muktamar 33 di Jombang, telah menetapkan bahwa neoliberalisme hukumnya haram. Namun, sayangnya, putusan-putusan hukum semacam itu belum terbukti efektif karena sifatnya sekadar himbauan moral dan tidak mengikat. Sehingga, perusakan tetap berlanjut dan bahkan tidak sedikit agamawan sendiri terlibat di dalamnya.

***

Sungguh negeri ini seperti telah dikutuk dengan berbagai kontradiksi, anomali dan ironi. Di tengah bisingnya suara promosi dan gegap gempitanya propaganda menjadikan Islam Nusantara sebagai model Islam dunia yang hendak menyelamatkan seluruh jagat raya, anehnya para kiai justru lupa untuk menyelamatkan perusakan Alam oleh korporasi perkebunan dan tambang yang tak hanya mengakibatkan krisis ekologi akut, tapi juga menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan di mana-mana.

Mereka yang gemar mengatakan Islam “menyelamatkan”, justru tutup mata tutup telinga terhadap berbagai kerusakan lingkungan maupun sosial, seperti ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh persekongkolan jahat kapitalisme global dan pejabat publik. Malah, sepertinya, sekarang telah merebak agamawan munafik karena sikap pragmatis dan oportunisnya dalam berpolitik. Diam-diam mereka menjadi bagian dari perusakan lingkungan ini untuk memperkaya diri sendiri. Padahal, sebagaimana kita tahu, ekspolitasi SDA secara besar-besaran di tangan kuasa segelintir borjuasi berakibat fatal bagi keberlanjutan hidup bersama. Tidak hanya manusia tapi juga seluruh jagat raya. Maka dengan ini Allah menghimbau kita:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanamannya dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan” (QS. Al-Baqarah 204-205).

Sebagai kaum beragama, tentu kita patut marah dan kecewa dengan kondisi ini. Karena nyaris tak ada satupun statemen resmi dari kelompok agama untuk mengutuk bencana ekologis yang terjadi di hampir tiap jengkal wilayah negeri ini. Bahkan sulit kita temukan seorang agamawan yang berada di barisan depan para pejuang lingkungan melawan berbagai penghancuran dan penguasaan atas SDA di tangan sedikit pemodal.

Dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa kebisuan agamawan, khususnya kiai, terhadap berbagai kerusakan dan penghancuran yang terus berjalan, bukanlah dilatari oleh semangat teologis melainkan sikap politik pragmatis dan oportunisnya yang bersembunyi di balik prinsip “moderasi”. Tentu juga dibimbing oleh iman enjoyment dan kalkulasi untung rugi kapitalistik. Bahkan banyak yang sembrono menerima dana-dana yang tidak jelas sumbernya atau dana korporasi perusak lingkungan dan terang-terangan mengatakan dana-dana bantuan siluman tersebut sebagai rizki “min khaitsu la yahtasib”, yang berarti rizki yang tak disangka-sangka datangnya yang diberikan oleh Allah bagi orang yang bertakawa.

Selain sikap pragmatis dan oportunis dalam berpolitik, kepercayaannya pada teori trickle down effect yang berasumsi bahwa eksploitasi Alam oleh korporasi di suatu wilayah akan memberi berkah kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya, juga turut mematikan spirit pembebasan Islam. Kondisi semacam inilah yang membikin pihak korporasi dan pejabat publik—yang hakikatnya pelayan korporasi—dengan mudah membungkam tokoh-tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama atau para kiai. Biasanya melalui dana-dana CSR (corporate social responsibility) yang dikucurkan oleh pihak korporasi ke berbagai tokoh, agar mereka berkenan mendukung eksploitasi Alam dengan dalih pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sampai ada yang dengan enteng dan tanpa malu berseloroh: “Belum beroperasi saja korporasi sudah membawa berkah, bagaiamana kalau sudah beroperasi?”.

Entah sepakat atau tidak. Ketika Marx menganalisis kolonialisme Inggris di India dalam artikelnya ‘Future Result of British and in Europe’ yang pertama kali terbit di New York Daily Tribune, No. 3840, 8 Agustus 1853, sebenarnya telah mengingatkan kita bahwa semua pembangunan kapitalisme di Dunia Ketiga tak lain hanya untuk menumpuk kapital borjuasi, bukan untuk menyejahterakan rakyat.[10] Melalui industri modern berbasis kereta api yang dibangun Inggris di India, memang tak bisa dipungkiri telah menjadi pelopor industri modern di India. Dengan dibangunnya rel kereta api telah memicu cabang-cabang industri lainnya dan secara tidak langsung melenyapkan pembagian kerja yang bersifat turun temurun yang merupakan fondasi dari sistem kasta di India yang selama berabad-abad telah menjadi penghambat kemajuan dan memacetkan jalannya peradaban.

Namun, bagi Marx, pembangunan rel-rel kereta api oleh kaum millocracy Inggris di India bukanlah bertujuan untuk menyejahterakan rakyat India, melainkan semata-mata agar mereka bisa mengangkut kapas dan bahan-bahan mentah lainnya dengan biaya serendah mungkin demi kepentingan industri-industri manufaktur mereka. Demikian juga sebenarnya yang terjadi dengan eksploitasi Sumber daya alam di Indonesia. Semua eksploitasi Alam di Indonesia terbukti tidak memberi manfaat pada rakyat Indonesia. Bahkan, gencarnya pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan di sepanjang pesisir selatan Jawa, bisa dibaca sebagai jalan untuk memuluskan jalannya eksploitasi ini.

 

————-

[1] Lih. Noorena Hertz, The Silence Take-over: Global Capitalism and The Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.

[2] Roy Murtadho, Haji Misbach Sebagai Mukadimah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi di MAP Fisipol UGM dengan tema “Agama dan Teologi Pembebasan” pada 7 Juni 2016.

[3] Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, juz IV, hlm. 40.

[4] Ibid., Juz VII, hlm. 226.

[5]Lih. Sahih Ibn Hibban, Juz 13 hlm. 214, No. 5894.

[6] Lih. Musnad Abd bin Hamid, Juz 1 hlm. 366.

[7] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillathu, Jilid V hlm. 586.

[8] Ibid., hlm. 522.

[9] Lih. Tuhfah al-Ahfazhi, Jilid I, hlm. 30.

[10] Marx dengan jeli dan cerdas membongkar imperialisme Inggris di India yang sekilas tampak manusiawi, yang sebenarnya hanya untuk menumpuk kapital para petualang borjuasi Inggris. Lebih lanjut lihat. David Renton (ed), Marx on Globalisation, London: Lawrence & Wishart, 2001, hlm. 90.



0 Comments:

Post a Comment