Dalam KBBI, "korupsi" memiliki arti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin corruptus, bentuk lampau dari kata corrumpere, yang berarti “merusak atau menyogok”.
Korupsi ada sejalan dengan sejarah manusia. Dinasti pertama Mesir Kuno (3100-2700 SM) pun telah mencatat korupsi dalam peradilannya.
Di era Tiongkok Kuno, terdapat mitologi di mana setiap rumah tangga memiliki dewa dapur yang mengawasi perilaku anggotanya. Seminggu sebelum Tahun Baru Imlek, dewa dapur akan naik ke surga untuk memberikan laporan tahunannya kepada kaisar langit. Setiap keluarga pun diharuskan membakar gambar dewa dapur sebagai cara agar dewa dapur dapat naik ke surga untuk bertemu kaisar langit. Nasib setiap rumah tangga, baik kemuliaan atau kemalangan, ditentukan oleh laporan tersebut. Dalam upaya untuk memastikan laporan yang baik, banyak rumah tangga mengoleskan gula dan madu ke gambar dewa dapur sebelum membakar gambar tersebut.
Di era Yunani Kuno, Herodotus mencatat bahwa keluarga Alcmaeonidae menyuap pendeta Oracle di Delphi, salah satu pendeta yang memiliki kekuatan mistik terkuat di Yunani Kuno. Masih di era yang sama, orang-orang di seluruh Yunani Kuno dan sekitarnya datang untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka oleh Pythia, pendeta tinggi Apollo. Keluarga Alcmaeonidae yang kaya menawarkan untuk membangun kembali kuil Apollo dengan marmer parian, pasca kuil tersebut hancur akibat gempa bumi. Sebagai gantinya, Pythia meyakinkan bangsa Sparta untuk membantu keluarganya menaklukkan dan memerintah Athena. Sejak praktik tersebut berhasil, Aristoteles mencatat bahwa “dewa pun dapat disuap”.
Legenda Candi Prambanan pun tak luput dari cerita praktek kecurangan. Demi memenuhi syarat lamaran Rara Jonggrang dengan membangun seribu candi dalam satu malam, Bandung Bandawasa hampir menyelesaikan seribu candi melalui bantuan para jin. Namun, pada akhirnya digagalkan sendiri oleh Rara Jonggrang.
Secara sederhana, "homo koruptus" adalah versi homo sapiens yang rusak. Keduanya telah hidup berdampingan sejak 200.000 tahun yang lalu. Pada masa-masa awal, mereka hidup secara nomaden sebagai pemburu-pengumpul untuk mencari sumber makanan. Namun, banyak hal berubah secara radikal sekitar 11.000 SM. Homo sapiens mulai menetap di satu daerah dan bereksperimen dengan bertani, akan tetapi homo koruptus memilih untuk menikmati hidup dengan mencuri hasil ladang para homo sapiens.
Meskipun homo sapiens tidak memiliki kecepatan atau kekuatan, mereka mampu bertahan karena kemampuannya untuk menemukan dan menggunakan alat yang rumit. Pada awalnya, homo sapiens tinggal di tempat perlindungan alami seperti gua, tetapi segera belajar membangun gubuk, dan akhirnya berevolusi untuk membentuk pemukiman kompleks seperti desa, kota besar, dan negara-bangsa. Ketika negara-bangsa terbentuk, homo sapiens menemukan alat brilian lain yang disebut demokrasi, sistem politik di mana setiap orang seharusnya memiliki hak yang sama. Pun jika digunakan secara efektif, demokrasi adalah alat yang dapat digunakan untuk menyaring homo koruptus agar tidak menduduki dan menikmati kekuasaan.
Secara singkat, demokrasi merupakan sistem politik yang dirancang untuk memilih dan mengganti pemerintah melalui pemilihan yang bebas dan adil, partisipasi aktif warga negara dalam politik, perlindungan hak asasi manusia bagi semua warga negara, dan terakhir aturan hukum di mana hukum dan prosedur berlaku sama untuk semua orang. Dalam arti tertentu, demokrasi adalah orang yang mengatur dirinya sendiri (sayangnya, melalui pejabat terpilih).
Namun, selama lebih dari satu abad atau lebih, arsitektur sistem politik dan birokrasi telah direkayasa ulang untuk memungkinkan homo koruptus berkembang. Demokrasi atas nama kemanusiaan memberikan ruang bagi homo koruptus untuk kembali hidup, memilih kelompoknya, dan menciptakan sistem yang menguntungkan mereka.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan korupsi akan berakhir?, apakah hukuman mati perlu?. “Korupsi ada sejalan dengan sejarah manusia, dan korupsi tidak akan ada jika manusia pun sudah tidak ada”.
0 Comments:
Post a Comment