Dwi Alfian Bahri
Pengajar
bahasa Indonesia
Gelombang demonstrasi dari berbagai kota
besar Indonesia menggugat omnibus law
disinyalir pemerintah atas latar belakang hoaks (disinformasi). Di sisi lain
secara bersamaan, banyak kalangan dari berbagai elemen masyarakat bersihkukuh,
bahwa omnibus law adalah bentuk penghianatan
terhadap rakyat. Perang wacana tidak bisa dihindari lagi. Itu semua yang sedang
dipertontonkan bangsa ini sejak awal Oktober.
Sebuah keniscayaan bahwa suatu hal selalu
menghasilkan pro-kontra. Namun, dalam fenomena ini, agaknya batas antara pro
dan kontra itu sendiri sudah hilang. Batas yang seharusnya dijembatani oleh
kedewasaan demokrasi berubah menjadi wilayah kosong yang siap dibuat “medan
perang”.
Tak tangung-tangung, saling tuding tanpa
bukti dan memutar-mutar wacana kebenaran menjadi tontonan yang terus
diproduksi. Hasilnya, kebingungan rakyat semakin menjadi-jadi karena batas yang
seharusnya menjadi titik temu telah tertumpuk, kabur, hancur, dan hilang.
Pemerintah bilang A, rakyat merasanya B;
rakyat bilang A, pemerintah merasanya B. Tidak ada titik temu yang selaras.
Baik rakyat atau pemerintah, keduanya sama-sama bersihkukuh pada pijakan
masing-masing. Padahal, keduanya tanpa disadari sedang menutup mata sambil
berorasi: “Semua demi kesejahteraan bersama!”. Ini tidak lain ialah keadaan yang penuh kepalsuan (dusta).
Baik pemerintah, DPR, ataupun rakyat,
semuanya menggunakan penanda yang salah (false
signifier) untuk menjelaskan sebuah konsep yang, dengan demikian juga
salah. Tanda A digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya B. Begitupun
sebaliknya. Tanda B digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya C,
D, E, dan seterusnya.
Tanda dalam hal ini digunakan sebagai alat
dusta. Itu semua dapat dilihat pada aktivitas saling serang dan elak selama omnibus law ini mencuat. Wacana dusta
diproduksi dan disebar dengan keanekaragamannya yang banal. Kinerja media
informasi semakin menambah riuh semuanya.
Keadaan ini membawa kita pada pergerakan
tanpa ujung. Kendati banyak pilihan dalam hamparan wacana, kita sejatinya tidak
bisa memilihnya. Hampir tiap detik, berita baru muncul, menggantikan,
meruntuhkan, menghilangkan, menggilas, menindih, menumpuk, dan mempropraganda
berita lama. Entah sudah berapa berita yang tercecer tidak jelas seperti itu. Yang
tersisa atas semua itu adalah kebingungan tanpa jeda.
Efek
Kultus Kecepatan.
Bila kita tengok lebih dalam, paradigma
perkembangan teknologi (informasi) yang begitu cepat inilah yang mewadahi
fenomena omnibus law. Dalam era 4.0, kecepatan menjadi parameter tunggal.
Semua aktivitas manusia tersentralisasi atas parameter tersebut. Akibatnya kita
terbawa pada kondisi “piknolepsi”, yaitu kondisi keseringan, penumpukan, dan
tinggihnya frekuensi kemunculan citra, yang menggiring pada kemabukan.
Paul
Virilio (1932-2018),
menyebutnya dengan “dromologi” (berasal dari bahasa Yunani, dromos artinya
kecepatan, dan logos artinya
semesta pengetahuan). Kita sekarang hidup dalam dunia seperti itu. Singkatnya,
semua aspek kehidupan dewasa ini berparadigma kecepatan.
Pembaca bisa menyimak, pemerintah dalam hal
ini presiden, sering menggunakan istilah percepat
pembangunan, percepat investasi, percepat perizinan, percepat kesejahteraan, percepat keadilan, percepat lapangan
pekerjaan, dan lain-lain. Kosa kata “percepat” selalu menjadi garis besar
pemikiran pemerintah. Termasuk dasar pikiran omnibus law ini yang digadang-gadang bakal mempercepat segalanya (sampai-sampai draft UU itu pun memiliki
banyak versi halaman).
Lebih konkret dari itu, dapat dilihat pada
program pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan. Program itu tidak akan
pernah bisa ditawar, direvisi, apalagi ditolak oleh rakyat. Padahal, kita
sama-sama tahu bahwa program tersebut belum pernah menjadi diskusi publik yang
luas dan hangat yang melibatkan seluruh elemen warga.
Kalau kita menggunakan kacamata Virilio, kecepatan
telah menjadi kata sakral yang dipakai oleh rezim. Padahal kita sama-sama tahu,
bahwa kecepatan selalu beriringan dengan “risiko kecelakaan”. Risiko kecepatan
inilah yang jarang dipikirkan manusia—dalam
hal ini rezim. Gampangnya, ketika anda memaksa abang ojol untuk lebih
cepat, risiko kecelakaan juga akan kian besar. Sekalipun abang ojolnya cukup
lihai, risiko kecelakaan dalam kecepatan selalu hadir. Ini efek nyata atas
dromologi itu.
Jadi, kata-kata “semakin cepat semakin baik”,
menurut Virilio, benar-benar salah. Semakin cepat berlari, semakin banyak
risiko yang akan kita hadapi. Permasalahan hari ini, tata bahasa pemerintahan
selalu menggaungkan itu. Seakan-akan ada yang mengejar-ngejar di dalam
kehidupan berbangsa ini. Sehingga, menjadikan kita ingin selalu melakukan
segala sesuatu secara cepat, secara instan, dan tidak sabar menunggu. Fenomena omnibus law menjelaskan semua itu.
Draft final belum ada, jumlah halaman
berubah-ubah, banyak pasal yang compang-camping, isu lingkungan gagal dibahas,
kesejahteraan buruh masih banyak pertanyaan, lalu atas dasar mempercepat investasi,
ekonomi, pembangunan, dan penanggulangan pengangguran, semua itu digilas begitu
saja.
Kultus kecepatan menjadikan pikiran, barangsiapa
mencoba menghambat, akan tertinggal dan tergilas. Ukuran atau indikator dari
keberhasilan program yang berdasarkan kecepatan biasanya bersifat kuantitatif.
Contohnya pertumbuhan ekonomi, laju investasi, capaian pembangunan
infrastruktur, dan lain-lain. Itu yang sedang dijalankan oleh pemerintah hari
ini.
Jadi, ukuran keberhasilan bukan lagi keadilan
dan kemerataan. Hasilnya, kecepatan telah merampas hak warga dalam
berdemokrasi. Sehingga, yang terjadi adalah “DROMO-KRASI”, dromos dan kratia,
artinya pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan tertinggi terletak pada
kecepatan.
*****
Dwi
Alfian Bahri, Guru Bahasa Indonesia di SMP Kawung 1
Surabaya. Lahir di Kota Pahlawan 29 April 1993. Tinggal di kawasan Surabaya
Utara. Pada waktu luang, menjalani pameran dan workshop modern kaligrafi (lettering), serta aktif dalam kegiatan
literasi dan seni-sastra di Surabaya. Telah menerbitkan antologi cerpen Bau Badan yang Dilarang (2018). Bila berminat menjalin komunikasi, bisa di Instagram
suaraalfian47.
0 Comments:
Post a Comment