Dwi Alfian Bahri
Pengajar Swasta
Saat ini, kita memasuki era
informasi digital (cyberspace). Suatu
era saat bahasa menjadi penggerak utamanya. Sifat bahasa yang licin dan arbiter
membuat ruang baru itu sesak dan penuh dengan berbagai macam tanda. Saking
berlimpahnya tanda pada ruang itu, manusia tidak mampu merenungkan batas antara
tanda-tanda tersebut. Akibatnya, kita seperti manusia berperut buncit dengan
daftar riwayat hidup konsumtif dan banal.
Cyberspace merupakan
tempat berkembangbiaknya bahasa. Hampir setiap waktu, tanda baru berproduksi,
bergulir, berkembang, bertransformasi, berpindah, bertukar, dan berganti,
menuju suatu keadaan yang berkabur. Barudrillard menyebutnya ekstasi
komunikasi.
Manusia yang tinggal di era
informasi (seperti sekarang) tidak mampu mengontrol keadaan tersebut. Bukan karena
kemampuan manusianya, melainkan sifat dari cyberspace
itu sendiri yang mengharuskan apa pun yang ada di dalamnya secara langsung
ataupun tidak, akan memroduksi tanda. Semua itu terjadi begitu cepat (dromos). Tidak ada jeda apalagi
pemberhentian di dalam sana. Sebuah ruang saat Anda dipaksa untuk berjalan
terus.
Kecepatan
menjadi parameter tunggal. Semua aktivitas manusia tersentralisasi atas
parameter tersebut. Kecepatan yang melingkupi hal tersebut tidak pernah bisa
terbayangkan sebelumnya. Akibat nyata dari kecepatan yang luar biasa itu ialah
kondisi “piknolepsi”, yaitu kondisi keseringan, penumpukan, dan tingginya
frekuensi kemunculan citra, yang menggiring pada kemabukan. Itu sebabnya kita
sekarang tidak lebih dari manusia dengan tumpukan lemak tanda di perut (buncit)
Dalam buku Hipersemiotika (Yasraf Amil Piliang),
dijelaskan setidaknya ada enam kelompok tanda yang sedang kita konsumsi setiap
waktu dalam cyberspace.
Pertama, tanda sebenarnya
(proper sign). Tanda sebenarnya adalah tanda yang mempunyai hubungan
relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Tanda [A]
menggambarkan sebuah realitas [A], meskipun dalam hal ini, tanda tidak dapat
disamakan dengan realitas yang dilukiskannya. Ia adalah tanda yang
mengungkapkan konsep atau makna yang sebenarnya.
Kedua, tanda palsu (pseudo
sign). Tanda palsu adalah tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan,
berpretensi, gadungan, yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas, lewat reduksi penanda
maupun petanda. Penanda seakan-akan ia adalah asli (sebenarnya), padahal palsu
(bukan sebenarnya). Tanda palsu melukiskan realitas [A] dengan mengatakannya [A’]
atau melukiskan realitas [A’] dengan mengatakan sebagai [½ A’].
Ketiga, tanda dusta (false
sign). Tanda dusta adalah tanda yang menggunakan penanda yang salah (false signifier) untuk menjelaskan
sebuah konsep yang, dengan demikian juga salah. Tanda [A] digunakan untuk
menjelaskan realitas yang sesungguhnya adalah [B]. Terdapat hubungan asimetris
antara tanda dan realitas. Tanda digunakan sebagai alat dusta.
Keempat, tanda daur ulang
(recycled signs). Tanda daur ulang adalah tanda yang telah digunakan untuk
menjelaskan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan
tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini (yang
sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali). Misalnya, daur ulang
gambar-gambar yang diambil pada peristiwa Marsinah untuk merepresentasikan
(seolah-olah seperti itulah) peristiwa pemerkosaan perempuan pada peristiwa 13
Mei di Jakarta.
Kelima, tanda artifisial
(artificial signs). Tanda artiffisial adalah tanda yang direkayasa lewat
teknologi citraan mutakhir (teknologi digital, grafis komputer, simulasi), yang
tidak mempunyai referensi pada realitas. Ia disebut juga tanda-tanda yang tidak
alamiah atau buatan. Tanda artificial sama sekali tidak merepresentasikan
realitas di luar dirinya (tanda virtual). Ia ada dalam dan untuk dirinya
sendiri.
Keenam, tanda ekstrim (superlative
sign). Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam sebuah model
pertandaan yang ekstrim, khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan
makna yang jauh lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam realitasnya
sendiri, semacam intensifikasi realitas peningkatan efek, ektrimitas makna.
Tanda [A’’’] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih
dari [A]. Ada efek pelipatgandaan makna yang terkesan hiperbolis dan
superlatif.
Kondisi berbaur dan tumpang
tindihnya berbagai bentuk tanda tersebut di atas, di dalam satu ruang yang sama
(cyberspace), sehingga di dalamnya
antara yang semu/asli, palsu/tiruan, masa lalu/masa kini, alamiah/buatan,
bercampur aduk dan tumpang tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan, Baudrillard
menyebut hal tersebut dengan hiper-sign (tanda
hiper).
Semua yang ada dalam cyberspace dihadirkan lewat hiper-sign tersebut. Kita mengonsumsi
semua hal itu tanpa pernah henti. “Pengguna
internet sekarang menghabiskan lebih dari enam jam online setiap harinya, dan
sepertiga dari waktu tersebut ditujukan untuk media sosial,” ujar Chase
Buckle, manajer tren GlobalWebindex, kepada BBC.
Sebuah hal yang tidak bisa dipungkiri
pada dewasa ini, kita lebih sering menghabiskan interaksi lewat internet ketimbang
interaksi fisik. Akibatnya, kita masuk dalam interaksi dengan tanda-tanda
setiap waktunya. Selain itu, kehadiran tanda-tanda tersebut tidak pernah bisa
dicegah ataupun dipilah. Tidak ada waktu perenungan atau pemberhentian sejenak.
Kita dipaksa mengonsumsi (dicekoki) tanda-tanda
tersebutatas dasar “kebutuhan”.
Kita bisa lihat fakta di
sekeliling. Kita (netizen) selalu bertengkar dan beradu argumen pemahaman
terhadap tanda. Ada kegagalan dalam memahami ruang. Di ruang tersebut, pijakan,
pembatas, ataupun kekuatan yang utuh sudah tidak ada lagi. Yang ada di ruang tersebut tidak lain adalah pengonsumsian
tanda-tanda yang dangkal, rapuh, lapuk, dan membius. Semuanya berlangsung
secara “pesta pora” dan “membabi buta”.
Seperti yang dikatakan
Slouka (2000: 69), mereka akhirnya “…menjadi banci secara moral (ethical zero): begitu bersemangat
melucuti kebenaran dan makna, tetapi kurang berminat membangunnya kembali.” Setelah berpesta, mereka tak mau mencuci
piring.
Akibat dari semua interaksi
semacam itu, kita akan dibuat “kenyang tanda” dengan sendirinya. Kekenyangan
tersebutlah yang membuat kita menjadi manusia angkuh, tak peduli, anarkis, ekstrimis,
gila eksistensi, sekaligus banci sosial.
Hadirnya cyberspace membuat hidup menjadi krisis
perhatian. Sebab, tidak ada waktu jeda, pemberhentian, perenungan, apalagi waktu
tinggal. Semua yang ada terus bergerak dalam pembaharuan, pengulangan, dan
ampas yang rapuh. Kita bisa menengok beranda
internet (Google, Whatsapp, Facebook,
Twitter, Instagram, YouTube, dan platform lainnya). Di sana, semua hal
hadir berdesakan, menumpuk, merayu, menipu, dan meminta perhatian kita. Sayangnya,
keberlimpahan tersebut justru membuat kita tidak bisa fokus (mabuk). Hingga pada
akhirnya, masyarakat informasi hanyalah seonggol lemak tanda yang menunggu
vonis kematian akibat kolesterol yang tinggi.
*****
Dwi Alfian Bahri, Guru
Swasta sekaligus pedagang terang bulan. Lahir di Kota Pahlawan 29 April 1993. Crafter
di Algallery Surabaya. Telah menerbitkan antologi cerpen Bau Badan yang Dilarang (2018). Instagram @suaraalfian47.
0 Comments:
Post a Comment