A. A. Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute
Rumi,
penyair sekaligus mistikus besar muslim menjadi salah satu pengantar fundamental
bagaimana cinta diungkapkan sebagai gagasan yang indah melalui bait-bait puisinya.
Di sini, cinta ditujukan untuk menerima dan memberi. Menerima di saat memberi,
memberi di saat menerima; ini bukanlah sesuatu yang sederhana sekalipun ia amat
sederhana. Freud menegaskan bahwa cinta ibarat ekspresi atau sublimasi atas insting
seksual yang erat kaitannya dengan kelangsungan ras manusia. Boleh jadi memang
demikian, sebagaimana ditambahkan Freud dalam materialisme fisiologisnya; di mana
insting seksual ini muncul akibat ketegangan yang dihasilkan secara kimiawi dan
perlu penyaluran melalui hasrat seksual (Fromm, 2018: 53).
Walaupun
ini sangat kontradiktif bagi penulis, boleh jadi; cinta kemudian menuntun
seseorang untuk lebih lanjut menoleransi sebuah hasrat. Hasrat yang dimaksud
tidak melulu adalah hasrat seksual
walau boleh jadi itu adalah salah satunya, melainkan terdapat pula hasrat
memiliki [obsesi], hasrat mencintai secara utuh yang kemudian disusul perasaan
posesif, atau hasrat yang disusul dengan orientasi repetitif, eksploitatif, instrumental
ataupun hanya melihat cinta sebagai sebuah komoditas [produk] dalam pertimbangan
untung-rugi. Ini kemudian menghadapkan cinta kepada hasrat sebagaimana definisi
Andreas Capellanus [abad ke-12] yang mengakui “cinta sebagai sebuah penderitaan
yang dibawa sejak lahir, berasal dari penglihatan yang berlebihan terhadap kecantikan
atau ketampanan lawan jenis yang menyebabkan mereka mengharapkan pelukan serta
hasrat satu sama lain”.
Definisi
lainnya menyoal cinta dapat pula ditelusuri dari asal kata, yang dalam bahasa Inggris
adalah love, “cinta” dalam bahasa Indonesia, dan lubhayati dalam
bahasa Sanskerta yang berarti “ia (yang) menginginkan”. Adapun Webster (dalam
Roche, 2009: 283) mendefinisikan “cinta sebagai sebuah perasaan melekat yang
sifatnya kuat dan pribadi yang ditimbulkan oleh rasa pengertian atau ikatan kekerabatan;
berikut kasih sayang yang berkoar-koar”. Aktualnya, ambivalensi tentang cinta pada
era ini dimonopoli oleh cerita, institusi, bahkan media, termasuk suguhan film ataupun
drama. Kita disuguhi idealisasi, romansa berkaitan dengan cinta yang boleh jadi
hanya bertahan pada level fantasi individu atau mimpi. Memang cinta tidak selalu
dapat merujuk atau dirujuk sebagai tolak ukur pasti seseorang sampai pada level
pernikahan, atau boleh jadi cinta menjadi dalih untuk menghindari hubungan keterikatan
seperti pernikahan.
Karl
Menninger (2009: 31) sebagai pionir hebat psikiatri preventif Amerika
menyerukan bahwa cinta dapat ditujukan untuk memahami diri kita sendiri secara
lebih baik, mengarahkan pada emosi yang membahagiakan, menyemarakkan kehidupan
seks [kebutuhan jasmani], memotivasi kerja dan permainan, serta solusi untuk menyelesaikan
persoalan pribadi, pun sosial. Menurut penulis, cinta dalam tesis Menninger adalah
emosi yang dinamis sebagai implus yang produktif. Cinta sebagai pembangkit
emosi diarahkan dalam praksis kehidupan sehari-hari yang menggairahkan dan
membahagiakan hidup, bila saja dijalani oleh orang-orang yang memulai perasaan
cinta dengan realistis dan matang.
Cinta
sebagai obyek ataupun respons merupakan sebuah penawaran yang tetap perlu
pertimbangan saat menjalani kehidupan atau ketika kita sedang menjalani cinta
itu sendiri; walau boleh jadi dalam hidup kita tidak perlu memahami apakah kita
punya cinta, apa itu cinta, dimana kita bisa menerima cinta, kepada siapa cinta
ini diberikan, seberapa banyak cinta yang dimiliki, berapa banyak cinta yang harus
diberikan, ataupun bagaimana memaknai cinta?
Pernikahan?
Floyd
Dell dalam Anatomi Cinta (2009: 83)
menyatakan bila masyarakat modern benar-benar memiliki kebebasan penuh, mereka
menginginkan hubungan percintaan ideal yang didasarkan pada keputusan seorang
laki-laki maupun perempuan yang menikah adalah karena cinta. Walau lagi, pemahaman
cinta dari ataupun terhadap sesuatu atau seseorang sangat banyak dipengaruhi
dari lingkungan bertumbuhnya [keluarga, pertemanan, pekerjaan], konsumsi
berita, cerita, film, drama dan lainnya, ini tetap mengartikan besarnya
sumbangsih riwayat pengalaman yang membentuk konsep ideal mengenai cinta sangat
beragam; bahkan mungkin terdapat perbedaan konsep cinta yang ideal antarmereka
yang akan, atau telah resmi menjadi pasangan.
Menikah
karena cinta sebagaimana konsep ideal cinta yang telah dibahas di atas,
walaupun tampak utopis, keadaan ini merupakan keinginan bahkan harapan atau
boleh jadi kebutuhan individu. Perlu disayangkan karena keinginan tersebut
dibatasi oleh konsep institusi keluarga yang beraneka ragam, atau boleh jadi
dibatasi oleh sistem tradisi, norma budaya, norma agama, riwayat pendidikan, materalisme,
dan fantasi. Misal, prasyarat harus menikah dengan seseorang dalam satu
klannya, satu relasi keluarga-satu kasta, satu suku, satu wilayah, satu
provinsi, satu kewarganegaraan, atau boleh jadi harus satu keyakinan.
Memang,
ketika menyoal cinta kerap kali perlu menyinggung soal pernikahan sebagai
tingkatan yang diharapkan atas keberhasilan dapat langgeng dan resmi bersama
orang yang dicintai. Pernikahan, terkhusus merujuk pada institusi keluarga; ini
merupakan sistem yang mendamaikan, merelasikan dua keluarga atau lebih. Pernikahan
sebagai sistem yang disepakati sebagai upaya mengikat seseorang secara hukum
untuk bertanggung jawab atas hubungan yang dibangun.
Apakah
kemudian ketika cinta bertumbuh dan dijalani oleh mereka yang tidak satu klan
di era modern ini dianggap sebagai kesalahan fatal? Sebab cinta mereka tidak
akan langgeng bahkan ditolak pada level pernikahan. Jika seperti itu, perlu disayangkan
karena kesepakatan antarkeluarga yang berbalut pernikahan boleh jadi tidak
menginginkan seseorang asing dengan riwayat kehidupan tak jelas menjamah salah
satu dari anggota keluarganya. Ini mengartikan pula bahwa pertimbangan riwayat
kehidupan sangat diperhitungkan ketika menegosiasikan bahwa, “Aku mencintai
putrimu, bolehkah aku menikahinya?”, atau sebaliknya diutarakan oleh seorang
perempuan kepada keluarga laki-laki, “Aku mencintai putramu dan telah menjalani
cinta untuk beberapa waktu dengannya, dan merasa mantap untuk menikahinya,
bolehkah?”.
Salah
satu harapan orangtua tentu melihat anak-anaknya berbahagia kelak dengan pasangan
yang dipilihnya, tentunya kebahagiaan tersebut diharapkan berlangsung sampai akhir
hayat, dapat mengimbangi anak-anaknya dalam kebutuhan jasmani pun rohani, dalam
aktivitas emosi pun intelektualnya atau lebih daripada itu. Mereka yang tumbuh
tidak dalam “keluarga normal” atau cacat, mungkin menjadi pengecualian untuk
dipertimbangkan, seolah tidak ada harapan atau kemungkinan sebuah perubahan
yang baik dari diri sendiri bakal terjadi.
Sangat
patut disayangkan. Padahal sangat mungkin, berlandaskan cinta; seseorang
menjadi termotivasi dalam hidupnya kemudian berupaya keras untuk memperjuangkan
apa yang dicintai termasuk menata masa depannya, berkarir menjadi lebih baik
lagi bahkan tumbuh dalam spirit ketuhanan yang lebih bijak agar bisa mencintai orang
lain sampai akhir hayat. Sebagaimana kata Fromm ucap Fromm dalam Seni Mencintai (2008: 42), “Orang mencintai
apa yang diusahakannya, dan mengusahakan apa yang dicintainya”.
Pada kasus
yang lain, pernikahan menjadi pertukaran yang disepakati. Misal, ia sebagai
seorang perempuan harus mengikuti kemana pun aku dipindahtugaskan setelah menikah
denganku. Ia sebagai seorang laki-laki perlu tinggal selamanya di rumah
keluargaku, sebab aku tidak memiliki saudara ataupun saudari lainnya yang akan
mengurusi kedua orangtuaku kelak; atau tidak ada yang melanjutkan usahaku di rumah.
Ia sebagai seorang laki-laki pun sebagai seorang perempuan wajib hadir pada setiap
acara dan membantu setiap rutinitas keluarga asal mereka.
Praktik
di atas bukanlah cinta, melainkan kesepakatan dalam pernikahan; terlepas dari
apakah kemudian ini mencirikan perlunya hitam di atas putih yang menerangkan
tupoksi sebagai suami ataupun istri, ataupun tandatangan di atas materai untuk
mengikat berikut menyertakan sanksi bila salah satu poin yang diharapkan tidak
dipenuhi, atau membiarkannya sebagaimana adanya karena menganggap inilah bentuk
lain dari cinta. Kebersamaan dengannya sebagai wujud kepedulian, tanggung jawab,
rasa hormat, dan pengorbanan dari mereka yang mencintai dan dicintai.
Memaknai Cinta?
Cinta
adalah aktivitas aktif yang harapannya akan selalu berkembang menjadi lebih
baik, lebih matang, dan lebih membebaskan. Praktik cinta dalam menerima
sekaligus memberi dalam fungsi seksual diutarakan Fromm (2018: 36-37) sebagai upaya
laki-laki menyerahkan dirinya, organ seksualnya berikut spermanya kepada
perempuan; jika tidak demikian, praktik seksualnya akan impoten, ia sebagai
laki-laki akan sakit bahkan mungkin menderita. Pada perempuan dalam wujud yang
lebih kompleks, ia menyerahkan dirinya dan membuka gerbang femininnya; ini
wujud menerima sekaligus ia memberikan. Lebih lanjut, perempuan kembali menyerahkan
dirinya, membiarkan janin dalam rahimnya bertumbuh; di sini porsinya lebih
kompleks karena perempuan memberikan segalanya melalui media tubuhnya untuk segenap
aktivitas di dalam tubuhnya, salah satunya meliputi kehangatan tubuh serta asi-nya.
Kemampuan
mencintai bergantung pada perkembangan karakter seseorang dan tak jarang bila
berhadapan dengan unsur primitif ini, seseorang kembali menjadi pemula, bahkan
kikuk menghadapi cintanya. Cinta sejati merupakan ekspresi produktivitas dari perhatian,
rasa hormat, tanggung jawab, serta pengetahuan. Cinta diharapkan sebagai
sesuatu hal yang dapat mengafirmasi secara produktif. “Afirmasi atas hidupku,
kebahagiaanku, perkembanganku, kebebasanku, berakar dari kapasitasku mencintai yakni
dalam perhatian, rasa hormat, tanggung jawab, dan pengetahuan”, ungkap Fromm (2018:
86).
Pada kasus
lain, cinta yang kemudian berbalut komitmen antara dua orang yang sedang
berpacaran, boleh jadi menjadi penjajakan ideal sebelum keduanya masuk pada tahap
pernikahan; juga boleh jadi sebagai
intrumen yang melahap cinta sepotong demi sepotong seperti kue manis yang
disuguhkan saat perayaan. Bagi sebagian orang, status ini merupakan bukti bahwa
ia mampu dicintai dan mencintai. Status ini kemudian ditengarai sebagai bukti
kepemilikan atas diri seseorang, meliputi informasi [pengetahuan yang diperoleh
saat komunikasi terjalin baik dalam bentuk curahan hati ataupun bentuk ‘berbagi’ yang lainnya), waktu
berikut tubuhnya.
Tak jarang
cinta pada level ini kemudian memberi luka yang memerlukan waktu lebih untuk
diobati [move-on]. Pada prosesnya pun boleh jadi ditemui bentuk obsesi
yang lain; menuntut waktu kekasihnya, berharap ditemani sepanjang waktu
[menuntut kerelaan berbagi waktu, bersama walaupun tidak melakukan rutinitas
apa pun], membalas pesan yang dikirim, memberi kabar, menerima panggilan
telepon di saat rindu muncul, berharap ia selalu ada di saat diperlukan, meragukan
segala aktivitas pasangan, mencemburui aktivitasnya, bahkan aktivitas fisik yang
diharapkan saat bertemu pun tidak lagi sebatas berpelukan atau memberi kecupan,
disusul aktivitas fantasi dalam mimpi.
Boleh
jadi obsesi ini adalah wujud kerinduan seseorang akan sesuatu, terlepas dari
pengalaman masa kecil, trauma yang tumbuh di tengah ia menjalani masa
remajanya, ataupun sesuatu yang ia harapkan dari mendengarkan atau menonton
media (musik, film, drama). Obsesi di atas, menurut penulis adalah penawaran
yang merugikan keduanya; upaya untuk memperbaikinya adalah mematangkan cinta
yang dimiliki agar lebih membiarkan pasangan menjadi produktif dengan
rutinitasnya dan menyudahi diri sebagai sekat akibat penyitaan waktu yang
intens serta lebih banyak mencintai diri sendiri sehingga bisa memupuk kepercayaan
kepada diri—bahwa diri ini sanggup untuk mandiri sekalipun di antara cinta,
memiliki cinta yang tidak terkotak-kotak sekalipun dalam komitmen dengan
seseorang yang sekaligus akan ikhlas membiarkan dan menerima pasangan menjadi
dirinya sendiri. Jikapun sang waktu sebagai unsur bijaksana tidak dapat dimanfaatkan
dengan baik dalam mengelola pola pikir
diri menyoal cinta, maka berpisah, menyudahi cinta yang merugikan salah satu
atau keduanya dapat menjadi alternatif.
Berikutnya,
pada kasus yang lain; cinta boleh jadi tidak perlu komitmen, karena komitmen
mungkin merujuk orang yang dicintai sebagai bentuk kepemilikan, lalu menuntun
rasa khawatir dan cemas berlebih karena khawatir akan munculnya cinta yang lain
sebagai pihak ketiga. Tanpa komitmen, cinta yang diberikan tidak lagi
terkotak-kotak, tidak ada rasa khawatir akibat tidak adanya perasaan memiliki,
hal yang diupayakan menjadi lebih tulus dan ihklas. Di satu sisi, tanpa adanya komitmen
boleh jadi menggiring lebih cepat masuknya cinta yang lain, sebab tidak ada keterikatan
atas cinta yang diberikan dan aktivitas tulus memang pada umumnya tidak mengharapkan
balasan apa pun.
Kehilangan?
Boleh jadi perasaan ini kemudian lebih memberikan luka yang mendalam namun ini
bisa jadi solusi agar kita kembali pada cinta altruistik [untuk mencintai
tujuan, cinta kepada Tuhan dan cinta kepada agama]. Disampaikan oleh Allan dan
Barbara Pease dalam Why Men Want Sex and
Woman Need Love (2009: 61), terdapat tujuh jenis cinta, antara lain; romantic
love [ketertarikan fisik, perasaan seksual, romansa dan aktivitas hormon], pragmatic
love [untuk mencintai negara, pekerjaan, menyukai aktivitas belanja bahkan
menyukai sepotong pizza], altruistic love [mencintai tujuan, tuhan dan
agama], obsessive love [kecemburuan, obsesi atau kekuatan emosi yang
tidak stabil], brotherly love [kasih kepada teman juga tetangga atau
lingkungan sekitar], common love [cinta untuk sesama], serta familial
love [perasaan cinta kepada anak, orangtua, saudara yang dalam lingkup
keluarga].
Perasaan kehilangan pada cinta yang matang dan tidak tersekat pada status boleh jadi lebih merujuk pada perasaan bahagia karena orang yang dicintai akhirnya menemukan bahkan bersanding dengan orang yang dicintainya serta memihak bahkan berterima kasih kepada sang waktu karena ia bijaksana menunjukkan serta membuka kemungkinan untuk cinta yang baru di kemudian hari. Sudah saatnya kita menjalani apa pun termasuk cinta dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri, pun kepada orang atau sesuatu yang dicintai.
Sudikah?
0 Comments:
Post a Comment