Konsep KEKUASAAN dari Plato, Aristoteles, John Locke, Karl Marx, Michel Foucault, dan Pierre Bourdieu
- On 16:11
Dony Ramadhan
Pegiat Liberal Literasi
Plato mengartikan kekuasaan dalam bahasa Yunani, peithein,
sebagai “persuasi” dan bia yang berarti “paksaan” atau
“kekerasan”. Jika ditelisik lebih jauh, persuasi merupakan cara
memengaruhi berikut meyakinkan orang lain
dengan tujuan untuk menguasai, dan
cara melanggengkan kekuasaan tidak jarang
menggunakan paksaan serta kekerasan. Bagi Plato,
kekuasaan berada di
tangan negara yang dapat menentukan kebijakan
untuk rakyatnya. Menurutnya, kekuasaan negara haruslah berdasarkan
pengetahuan, bukan berdasarkan
ekonomi, pangkat, atau kedudukan. Kekuasaan melalui pengetahuan dianggap Plato sebagai cara
yang bijaksana seperti
seorang ayah
yang mengatur anak-anaknya.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles mengartikan kekuasaan haruslah
bersumber dari hukum. Dalam bahasa Yunani, politeia,
menurut Aristoteles adalah
pemerintahan yang
memiliki konstitusi. Pemerintahan ini dianggap Aristoteles sebagai pemerintahan yang paling realistis dan praktis dengan hukum sebagai
sumber kekuasaannya. Aristoteles juga menegaskan bahwa kekuasaan haruslah
berdimensi etis terhadap warganya, yaitu menghargai dan menghormati
kebebasaan dan kesetaraan derajat warga negaranya. Sebetulnya, pemikiran Plato dan
Aristoteles tidak jauh berbeda, keduanya masih mengedepankan dimensi
etis, dan kekuasaan masih berpusat pada negara sebagai institusi kekuasaan.
John Locke dalam bukunya,
Two Treatises of
Civil
Government, menjelaskan bahwa the state of nature
atau "keadaan alamiah” manusia
pada dasarnya adalah bebas. Dalam keadaan
ini, manusia dalam
situasi harmonis dan memiliki
kebebasan
serta kesamaan hak untuk mengembangkan dirinya tanpa merenggut hak orang
lain. Namun, setelah
manusia mengenal hubungan-hubungan sosial dan memiliki hak kepemilikan (property right)
yaitu tempat tinggal dan uang, inilah yang memicu terjadinya perang (the state of war). Ketidaksamaan harta kekayaan menjadikan manusia mengenal majikan dan
budak sehingga timbul struktur hierarkis. Pada tahap ini,
individu akan berjuang untuk mempertahankan kepemilikannya. Oleh sebab
itu, dalam tahap
commonwealth negara hadir untuk melindungi
hak-hak warganya melalui
kontrak sosial. Hal yang patut
digarisbawahi adalah negara hadir bukan
untuk
menyamaratakan, tetapi untuk melindungi
hak
setiap individu, maka negara pun memiliki kekuasaan yang
terbatas.
Kekuasaan menurut John Locke berada pada ranah individu, dan negara adalah sistem yang diciptakan untuk melindungi hak setiap individu. Jean Paul Sartre, seorang
filsuf eksistensialis dalam
bukunya yang berjudul
Being and Nothingness beranggapan bahwa “Manusia tidak dapat kadang-kadang menjadi
budak dan kadang-kadang bebas; ia sepenuhnya dan selamanya bebas”. Dalam pemikiran kebebasan Sartre yang
berkelindan dengan pemikiran filsuf Epicurus,
dapat dinyatakan bahwa manusia
cenderung mencari kenikmatan sebesar-besarnya.
Menurut Max
Weber, dalam kehidupan masyarakat modern, birokrasi merupakan alat
kekuasaan yang dapat mengatur masyarakat secara formal. Sedangkan Karl Marx
menganggap kekuasaan berasal dari kepemilikan alat produksi yang dihasilkan sistem
kapitalisme. Marx
percaya bahwa kepemilikan alat
produksi
adalah penyebab terjadinya relasi kuasa antara kelas dominan atas kelas marjinal. Kelas dominan di sini diartikan
sebagai kaum borjuis
dan
elite negara, sedangkan kelas marjinal adalah kaum proletar.
Bagi Marx, kaum borjuis selalu memiliki kepentingan dan hanya menjadikan kaum proletar sebagai komoditas untuk melanggengkan kepentingannya lewat
penguasaan alat produksi.
Pemaknaan kekuasaan di atas masih dilihat Marx secara makro dan objektif. Dalam
filsafat humanisme, manusia
adalah
individu
yang
unik dan memiliki pesona masing-masing. Selain itu, manusia juga memiliki nilai absolut pribadi,
yaitu kesadaran untuk menentukan dirinya sehingga ia tahu apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, kebebasan adalah kondisi yang
melekat dalam diri manusia. Karena adanya kebebasan, manusia dapat
mengembangkan diri dengan segenap keunikannya. Jika kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya direnggut oleh
kekuasaan orang lain, maka
hal
itu dinamakan sebagai pembungkaman kebebasan eksistensial atau pembungkaman
terhadap martabat manusia.
Seorang filsuf posmodern yaitu Michael Foucault, beranggapan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Bagi
Foucault,
kebenaran
mutlak itu tidak ada. Hanya ada kebenaran yang dihasilkan dan diproduksi oleh kekuasaan
melalui pengetahuan. Foucault beranggapan
bahwa kekuasaan
dapat
menentukan yang salah dan yang benar, normal dan abnormal, dosa dan tidak dosa, serta yang gila
dan yang tidak gila.
Michel Foucault berasumsi bahwa setiap periode memiliki “rezim kebenarannya” sendiri. Dalam buku Foucault yang berjudul Histoire de la Sexualite 1: La Volonte de
Savoir, ia menjelaskan
bahwa seksualitas
sebelum awal abad ke-17 masih menjadi perkara publik, setiap orang melakukan (mengatakan) aktivitas seksualnya secara terbuka, dan berbicara dengan kata-kata bernada seksual
secara bebas. Namun, semua itu berubah
ketika Ratu Victoria berkuasa. Seksualitas mulai
dipingit dalam kamar-kamar rumah tangga yang sah, yaitu hubungan suami-istri, orang tidak boleh berbicara tentang seks di muka umum karena telah ditetapkan sebagai hal yang tabu.
Pierre Bourdieu seorang etnolog Perancis, menganggap bahwa sesungguhnya kekuasaan itu dekat dengan kita,
kekuasaan hadir dalam setiap ranah sosial (social field). Jika para pemikir sebelumnya memisahkan
antara
objektivisme
dan subjektivisme, Bourdieu justru memilih untuk berada pada
keduanya. Subjektivisme adalah pemikiran yang berada
di ranah mikro,
di mana voluntarisme dan individualisme
menjadi dasar pemikirannya. Sedangkan
objektivisme menekankan
pada ranah makro, yaitu secara struktural. Bourdieu memilih untuk menggunakan cara berpikir yang relasional, bahwa struktur objektif
dan
representasi subjektif, serta agen dan pelaku,
terjalin secara dialektis melalui bahasa
dan saling memengaruhi secara timbal-balik berikut
saling berpraktik.
Bahasa, menurut Bourdieu lahir dari
panggung sosio-historis
yang melatarbelakanginya, sehingga bahasa selalu bersifat
tidak netral
dan
mengandung kepentingan untuk melanggengkan
kekuasaan
tertentu. Agar seseorang atau sekelompok orang memperoleh
kekuasaan, mereka akan membujuk orang lain untuk mengikuti kepentingannya melalui bahasa. Oleh sebab itu, sang agen menciptakan
sistem simbol berupa bahasa, wacana, slogan, dan lainnya untuk
menanamkan
keyakinan-keyakinan agar berkuasa pada orang-orang
yang ditujunya. Bagi Bourdieu, bahasa dalam ruang sosial memiliki
keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan yang bertujuan
untuk meraih
kekuasaan atau
mempertahankan kekuasaan.
Teori Bourdieu bertumpu pada beberapa konsep penting, yaitu;
habitus,
ranah, modal, dan praktik. Habitus menurut Bourdieu adalah struktur mapan atau
“struktur-struktur yang dibentuk” dan
“struktur-struktur yang membentuk”. Secara sederhana, habitus adalah nilai-nilai sosial yang telah ada dalam masyarakat
dan
nilai-nilai sosial yang akan
membentuk individu. Habitus terbentuk dari pengalaman individu yang berinteraksi dengan individu lainnya, sehingga habitus
akan mengatur setiap tindakan
individu. Secara
singkat, ranah (field) menurut Bourdieu adalah tempat para agen, aktor, atau individu bersaing untuk mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan. Dalam ranah, seseorang akan bertarung
untuk memperebutkan kekuasaan
atau mempertahankan kekuasaan. Ranah berkaitan dengan modal. Modal
menurut Bourdieu adalah sumberdaya
yang dimiliki seorang agen yang dapat digunakan untuk bertarung dalam ranah dan memenangkan kekuasaan. Terdapat beberapa modal
menurut Bourdieu,
yaitu modal simbolik, modal sosial, modal ekonomi, dan modal kultural.
Berikut adalah rumusan konsep Bourdieu.
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik
Doxa, hetrodoxa, dan ortodoxa merupakan
bagian dari praktik. Doxa
merupakan wacana dominan atau struktur yang sudah mapan. Seperti
pengertian
ideologi, doxa adalah
tatanan sosial
dalam diri individu yang
terikat pada tradisi
serta
terdapat kekuasaan yang telah ternaturalisasi
sehingga tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Doxa, secara mudah diartikan sebagai cara individu berbicara, cara makan, berpakaian, hingga persoalan
kepercayaan. Heterodoxa merupakan
lawan
dari
doxa, yaitu wacana yang menentang doxa untuk mendapatkan
kekuasaan baru
atau doxa baru.
Sementara, ortodoxa merupakan wacana yang terus mempertahankan doxa,
biasanya mereka yang
berada dalam ortodoxa merupakan orang yang berkuasa
untuk mempertahankan
status quo.
*****
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment