pic: @eenpeny |
Lisa Wororeni
Mahasiswa Sosiologi Universitas Terbuka
“Jadi pada dasarnya, kanker
merepresentasikan
keberadaan sel-sel tunawisma yang hidup
tersisih dari sel-sel
lain yang pada akhirnya
mengalami disfungsi.”
Gelombang
wabah layaknya seleksi alam di mana hidup dan mati menjadi pertempuran tiap
hari yang tidak pernah diketahui dimana, bagaimana, dan kapan musuh akan
menyerang. Sejauh ini kita telah berbulan-bulan berdiam dalam rumah, bertameng
diri setiap kali keluar jika urgen, mencuci tangan setiap ada kesempatan, atau
minimal ketika ingat, pun tidak menyentuh area wajah sembarangan. Dan jika pada
akhirnya tetap tertular, maka akan mencoba berbesar hati bahwa memang ada
hal-hal di luar sana yang tuas kendalinya tidak kita kuasai.
Ironis rasanya jika dalam situasi seperti ini kita masih mengikuti teori evolusi
Darwin dengan frasa survival of the
fittest-nya. Karena nyata-nyata warga seolah dilepas untuk mencari suaka
sendiri-sendiri. Dibiarkan melakukan penyesuaian diri sesuai kemampuan. Alasan
darurat kesehatan membuat pemberi otoritas melarang ini-itu tetapi tanpa menyediakan sesuatu yang benar-benar solutif
untuk menjaga keberlangsungan hidup. Sekalinya warga coba diberikan harapan
tentang adanya bantuan, selalu ada respon yang cenderung skeptis entah itu
karena dirasa pilih kasih, dikucurkan setengah hati, dibelit birokrasi, atau terpangkas
dalam aristokrasi. Betapa sangat disayangkan.
Pukulan
paling keras diterima oleh mereka yang secara ekonomi paling inelastis. Sulit menyesuaikan
diri dengan ketidakpastian pasar, rentan pemutusan hubungan kerja secara
sepihak, tidak ada lagi penumpang, tidak ada barang yang bisa dipikul dari
dalam kios ke kendaraan angkutan, atau sesederhana karena tidak ada lagi mobil
yang diparkir di lahan jaga.
Namun,
situasi seperti ini bukanlah yang pertama bagi umat manusia, apalagi bagi ibu
bumi tercinta. Geliat alam atau krisis lingkungan telah berlangsung
berkali-kali dan bumi serta makhluk di dalamnya telah mampu melewatinya
berkali-kali pula. Dengan mewujudkan suatu normalitas yang baru agar mampu
bertahan hidup tentu saja.
Wajah
bumi berubah. Manusia dipaksa ikut menyesuaikan diri jika ingin bertahan.
Melalui perubahan ini, kisah evolusi menjadi sesuatu yang pasti, berpola,
berulang, atau bahkan mungkin dibutuhkan. Namun, alih-alih evolusi ala Darwin,
kita sebenarnya punya alternatif dari Lamarck yang menyajikan teorinya bahkan
50 tahun sebelum Darwin menerbitkan The
Origin of Species.
Terlepas
dari banyaknya perdebatan tentang teori evolusi, ada yang patut diapresiasi
dari evolusi Lamarck dalam situasi seperti ini. Ia menyajikan mekanisme
adaptasi lingkungan yang lebih lembut dan tidak penuh persaingan berdarah-darah
serta … mengisyaratkan bahwa evolusi didasari interaksi kerjasama yang
“instruktif” di antara organisme dan lingkungannya, yang memungkinkan
bentuk-bentuk kehidupan bertahan dan berkembang dalam sebuah dunia yang dinamis.
Gagasannya adalah, organisme menerima dan meneruskan adaptasi yang dibutuhkan
untuk keberlangsungan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah.
Menariknya, hipotesis Lamarck tentang mekanisme evolusi sesuai pemahaman ahli
biologi sel modern tentang bagaimana sistem imun beradaptasi dengan
lingkungannya…”
Miliaran
tahun lalu, sel tunggal yang pada awalnya hidup sendiri-sendiri, suatu hari
menyadari bahwa jika berkoloni dan membentuk organisme multisel maka sistem
fisiologisnya (respirasi, pencernaan, ekskresi, motilitas, dan sebagainya) akan
mampu bekerja secara lebih cerdas. Bahkan dalam istilah Dr. Bruce Lipton dalam The Biology of Believe, sel tidak pernah
mencampakkan satu sama lain karena kerusakan yang satu berdampak pada
optimalnya struktur dan fungsi. Dalam kasus ekstrim di tubuh manusia yang
terdiri dari 50 triliun sel, disharmoni antar sel berakibat pada beberapa sel
yang merasa dikucilkan akan menarik diri dari kerja sama dengan komunitas
besarnya kemudian membentuk koloni pertumbuhan sel yang tidak biasa dan
cenderung patologis bernama kanker. Jadi pada dasarnya kanker merepresentasikan
keberadaan sel-sel tunawisma yang hidup tersisih dari sel-sel lain yang pada
akhirnya mengalami disfungsi.
Menariknya,
sedari awal masa pandemi, warga Indonesia seperti sudah secara natural
meneladani interaksi “instruktif” dalam rangka merespon situasi darurat ini. The Legatum Prosperity Index 2019
menempatkan Indonesia di urutan kelima negara dengan modal sosial yang terkuat.
Sementara Charities Aid Foundation
menempatkan Indonesia di urutan pertama negara yang warganya paling banyak
menjadi relawan dan berdonasi. Rasa kepedulian ini seperti menghembuskan angin
segar kemanusiaan di tengah pandemi. Bahwa ya,
setidaknya kita masih mencoba untuk tidak mencampakkan satu sama lain. Menjaga
agar tidak ada pihak yang mengalami disfungsi.
Mungkin
kisah tentang evolusi bukan saja hanya tentang perkembangan organisme secara
fisiologis akibat dari penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan, tetapi
juga pendewasaan kedalaman makna humanisme bagi manusia. Sebuah perkembangan
kesadaran akan nilai-nilai kesatuan yang tercipta seperti dalam perhitungan
geometri fraktal: sebuah pola yang sangat berpusat
pada hubungan yang terbentuk dalam sebuah struktur secara keseluruhan.
Unsur keindahannya justru timbul dari hubungan hasil perhitungan satu persamaan yang berulang terus-menerus.
Secara sederhana dalam gestur vokal bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan
kata empati: menyadari kesatuan diri melalui refleksi.
Dalam Mind, Self, & Society, George
Herbert Mead mengatakan, “…individu yang
secara sempurna dan alami membangkitkan sebuah respons tertentu di dalam
dirinya sendiri karena gestur miliknya bekerja pada dirinya sama seperti gestur
tersebut bekerja pada orang lain … menjadi sadar akan orang lain … mengidentifikasikan
diri … dengan orang lain…”.
Akan ada
banyak hal menyedihkan yang mungkin terjadi pascapandemi. Populasi berkurang
drastis, pengangguran membludak, kejatuhan ekonomi, kehilangan banyak tenaga
medis, sampai dituntut untuk merelakan kesenangan yang berjalan sebagaimana
sebelumnya. Namun, tahu apa yang lebih ironi dari tragedi atau persaingan demi
mempertahankan hidup ala darwinian?
Bahwa
pascatragedi, kita tak belajar apa-apa dan masih menjadi orang yang sama seolah
hati telah mati.
*****
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment