|
[pic: luxediteur.com] |
Agung Sumboko
Pegiat Liberal Literasi
Michel Foucault, seorang pemikir posmodern asal Prancis menyumbangkan ide pemikirannya yang orisinal dan cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu
sosial-humaniora. Analisisnya mempersoalkan proses produksi pengetahuan dan wacana oleh kekuasaan, sehingga produksi pengetahuan dan wacana tersebut menjadi cara pandang bagi kita untuk mengakui
hal-hal yang telah didesain sebagai sebuah realitas atau kenyataan. Foucault, lewat konsepnya tentang pengetahuan dan kekuasaan, menunjukkan bagaimana setiap kita
telah
terinternalisasi dalam memahami
sebuah obyek.
Sudah menjadi keharusan bagi kita
menaruh
curiga pada pengetahuan-pengetahuan yang kita
terima selama ini. Tanpa kita
sadari, menjadi
kemungkinan besar bahwa selama ini kita
menerima suatu pengetahuan secara taken
for
granted, “secara apa
adanya” tanpa
mencoba menelisik lebih jauh validitas pengetahuan tertentu. Padahal menurut Foucault, pengetahuan
tak ubahnya sebuah konstruksi wacana yang tak lepas dari konstelasi sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan bahkan agama.
Pengetahuan
dengan wacana sebenarnya berbeda.
Namun, dalam pandangan
Foucault pengetahuan
merupakan reduksi wacana yang terstruktur. Wacana ini
berada dalam pikiran kita dan secara halus menjadi paradigma kita dalam berpikir dan
bertindak.
Wacana hidup menjadi bagian dari diri kita, mengatur perilaku kita, dan membatasi
gerak-gerik kita (Priyanto, 2017). Secara sederhana, wacana merupakan
sifat-sifat dari suatu pengetahuan. Sebagai misal, pengetahuan kita tentang Orang Jawa, seringkali
kita menerima wacana bahwa Orang Jawa kalem, selalu
tersenyum, gaya dan nada bicaranya sopan, pemalu, sungkan, pintar
menyembunyikan perasaan; atau wacana tentang Orang Betawi jago berdagang,
pemberani, pandai bergaul; atau wacana Orang Batak “memiliki suara yang keras”, memiliki logat yang kental, solidaritas yang kuat, dan beragam wacana lainnya.
Meskipun
wacana-wacana
yang dicontohkan terkesan
irasional,
namun
kenyataannya kita menerima wacana-wacana tersebut.
Dalam setiap periode selalu terdapat bangunan wacana yang diyakini sebagai sebuah kebenaran umum. Foucault mengatakan bahwa perkembangan pengetahuan berhubungan dengan proses produksi
pengetahuan, proses ini diistilahkan Foucault dengan sebutan episteme. Episteme adalah sebuah “sejarah apriori”
dalam suatu periode tertentu,
keseluruhan relasi yang berhubungan dengan setiap praktik diskursus pengetahuan,
dan
diyakini sebagai
“sesuatu yang benar” dalam periode
tertentu. Episteme
merupakan sebuah ruang terbuka, sisa sebuah pertandingan,
sebuah proses penentuan pengetahuan dan cara berpikir manusia oleh rezim wacana dan kebenaran”. Setiap periode sejarah selalu memiliki rezim episteme yang berbeda
(Martono, 2014).
Nicolas Copernicus (1473-1543)
misalnya, yang mempersoalkan wacana yang telah lama dianut dan diyakini sebagai kebenaran kala itu, bahwa bumi adalah
piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Copernicus menyatakan
bahwa bumi dan planet-planet lainnya adalah bola bundar. Kemudian pihak gereja menyatakan bahwa
pernyataan Corpenicus salah dan dianggap sebagai
sebuah dosa karena bertentangan dengan
kitab suci. Namun, seiring perkembangan zaman, kesulitan-kesulitan yang dialami menjadi
terselesaikan, dan opini Copernicus yang awalnya tak masuk akal menjadi masuk akal saat ini (Zaprulkan, 2017). Episteme
tampil sebagai
kebenaran-kebenaran universal dalam kurun waktu tertentu. Klaim kebenaran wacana bumi datar itu merupakan bentuk beroperasinya kekuasaan, dan pihak gereja menjadi representasi
kekuasaan. Suatu wacana memengaruhi institusi-
institusi sosial dan praktik-praktik sosial.
Tentang kekuasaan,
menurut Foucault,
kekuasaanlah yang selama ini
menjustifikasi sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran merupakan hasil dari
kekuasaan dan pengetahuan itu sendiri. Kekuasaan menghasilkan
kebenaran subyektif, karena melibatkan pengetahuan, maka kebenaran tersebut menjadi bersifat disipliner (Umanailo, 2019). Dapat dimisalkan seorang Hitler di pentas
kekuasannya, ia memroduksi ritus-ritus kebenaran bahwa Ras Arya merupakan ras tertinggi dari ras- ras
lainnya, dan
ini terus-menerus
ia ucapkan sehingga pada masa itu
hal ini
diyakini sebagai sebuah
kebenaran. Tak sampai di
situ, Hitler pun mengajak rakyatnya untuk membenci sekaligus mendiskriminasi bangsa Yahudi,
ia menciptakan wacana bahwa “bangsa Yahudi
merupakan sumber dari segala kekacauan”, “borok di
masyarakat”,
“musuh dalam selimut”, dan serangkaian
wacana lain yang menyudutkan
bangsa
Yahudi. Bahkan, hingga membuat aturan-aturan yang semakin merugikan bangsa Yahudi, yang pada akhirnya berujung pada penyiksaan-penyiksaan dan pembantaian jutaan jiwa manusia. Dari
sini, dapat kita simpulkan bahwa produksi wacana oleh kekuasaan bisa berlanjut menjadi sebuah kebenaran. Oleh karena itu Foucault sangat
berkeyakinan bahwa setiap era sejarah
memiliki kebenarannya yang unik dan tersendiri atau dalam
bahasa Foucault, selalu saja ada permainan-permainan kebenaran (truth-games) dalam setiap era berpikir dan
kebudayaan manusia
(Kebung, 2017).
Kuasa dengan produk kebenarannya memunculkan strategi lewat proses
normalisasi dan regulasi. Normalisasi dan regulasi ini adalah sebentuk sistem
kontrol yang
berfungsi layaknya mesin sortir atau
alat penyaring dan
bekerja
pada taraf
kehidupan manusia serta masyarakat (Bertens, 2014). Normalisasi memantau cara
kita berperilaku, disiplin merupakan bentuk normalisasi kekuasaan yang berlangsung dalam suatu institusi terhadap tubuh
individu. Beroperasinya kekuasaan yang dilegitimasi oleh rezim pengetahuan tertentu sebagai normalisasi
itu juga berlangsung
dalam ruang yang lebih luas, yakni terhadap tubuh sosial (population)
(Mudhoffir, 2013). Apabila
kita berbicara tentang rezim kebenaran, maka
kita sedang berbicara tentang aturan-aturan serta praktik-praktik yang memiliki makna pada
satu
rentang historis tertentu. Dimana saja terdapat susunan, aturan, sistem, dan beragam
regulasi; dimana saja ada manusia yang memiliki relasi tertentu satu sama lain, maka
di situ kuasa sedang bekerja (Bertens, 2014).
*****
0 Comments:
Post a Comment