|
[pic: dailynews.lk] |
Ni Komang Ayu Indrayanti
Derrida berhasil memelopori
lahirnya era postrukturalis. Berbeda dengan era strukturalis yang memandang masyarakat
selalu terikat oleh struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan”
yang tidak membatasi subjeknya. Meskipun fokus Derrida masih berkutat pada
persoalan bahasa, namun menurutnya tulisan (sistem tanda bahasa) bukanlah suatu
struktur yang membatasi masyarakat.
Jika para strukturalis
memandang tatanan dan stabilitas dalam sistem bahasa, Derrida mendaulat sifat
bahasa yang tak stabil dan tak tertata. Konteks yang berbeda dan tidak stabil tersebut akan melahirkan
makna yang berbeda-beda pada satu kata. Akibatnya, sistem bahasa tidak bisa
memiliki kekuasaan yang membatasi masyarakat sebagaimana pandangan
strukturalisme. Kecil kemungkinan bagi para ilmuan mencari kaidah dasar bahasa.
Oleh karenanya, Derrida memberikan solusi berupa perspektif dekonstruksi yang kemudian
menjadi sangat penting sebagai penanda hadirnya posrukturalisme—sekaligus posmodernisme.
Derrida menjadi tokoh
utama dalam kritik terhadap hal-hal kecil yang kurang diperhatikan kaum struktrulalis,
salah satunya Ferdinand de Saussure. Setidaknya, terdapat tiga konsep yang
menjadi konsen kritik Derrida, yaitu logosentrisme, fonosentrisme, dan
metafisika kehadiran.
Logosentrisme merupakan
ciri pemikiran para filsuf Barat yang menekankan pada rasio dan akal budi,
sehingga pemikiran ini cenderung menolak mitos. Mitos dianggap tidak memberikan
kepastian, dan juga tidak memberikan pegangan yang pasti. Logosentrisme menurut
Derrida disebut sebagai pendekatan yang menyebabkan pengekangan dan pemasungan
terhadap tulisan. Logosentrisme tidak saja menyebabkan berhentinya filsafat,
tetapi juga menyebabkan berakhirnya semua ilmu pengetahuan manusia, karena
manusia dipaksa masuk ke dalam sistem yang menimbulkan dogmatisme dan
melegitimasi kekuatan rasio.
Logosentrisme memuat
keyakinan bahwa yang menjadi dasar dari segala pikiran dan tindakan adalah realitas
atau kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang
dimaknai tunggal, absolut, dan universal. Tujuan utama dari kritik yang
dilakukan Derrida adalah untuk menciptakan keadaan masyarakat yang bebas dari
kekuasaan “intelektual dominan”. Kritik atas logosentrisme ini membuktikan ketiadaan
jawaban mutlak, sementara, selama ini pencarian atas jawaban, pencarian atas
logos telah merusak dan justru “memperbudak”, yakni justru mengrangka segalanya
ke dalam oposisi biner.
Selanjutnya, fonosentrisme
adalah sebuat konsep yang meyakini bahwa suatu ucapan dianggap sebagai sumber
kebenaran dan bersifat otentik. Secara tidak langsung, hal ini membuat anggapan
bahwa tulisan hanya sebagai prioritas sekunder dan bukan primer (meminggirkan
tulisan). Sedangkan menurut Derrida, tulisan memuat makna maupun tafsiran yang
berbeda-beda dan selalu terbuka akan berbagai kemungkinan. Pemahaman yang dimunculkan
para filsuf Barat sebelum Derrinda ini tak terlepas dari obsesi mereka terhadap
kejelasan makna sehingga meminggirkan atau mengabaikan aspek bahasa dalam
menghadirkan berbagai kemungkinan.
“Metafisika kehadiran” adalah
pemikiran yang turut dikritik oleh Derrida. Konsep ini berkaitan erat dengan logosentrisme
dan fonosentrisme. Kedua konsep tersebut menjelaskan bahwa sesuatu dihadirkan
lewat bahasa atau teks, maka dari sinilah muncul istilah metafisika kehadiran.
Dalam keadaan tertentu, akan muncul kesadaran yang bakal mempertanyakan ulang
hal-hal yang telah dicapai filsafat Barat. Secara radikal, kesadaran tersebut
adalah gagasan mengenai kebenaran, pengetahuan, metode (prosedur), kehadiran, serta
segala otoritas yang mendasari filsafat Barat. Penafsiran tradisi Barat yang menyatakan
logosentrisme selalu mendahului kehadiran merupakan upaya yang ingin ditafsirkan
ulang oleh Derrida.
Menurut Derrida,
kehadiran bukanlah suatu hal yang secara independen mendahului tulisan, tetapi
kehadiran selalu ada bersama dengan tulisan. Setiap teks maupun tulisan tidak
akan mungkin berdiri sendiri tetapi selalu berkelindan dengan teks lain.
Derrida dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada makna yang terlepas dari teks,
dan secara tidak langsung menolak adanya makna transenden dari teks itu sendiri. Oleh karena berbagai
kritik tersebut, muncullah proyek besar Derrida berupa “dekonstruksi”.
Dekonstruksi menjadi
metode pembacaan atas teks. Ia—dekonstruksi—dapat diartikan sebagai suatu
tindakan menghancurkan sekaligus menyusun ulang dengan cara yang lain atau
berbeda. Derrida sendiri mengakui jika dekonstruksi begitu sulit didefinisikan,
namun ia menegaskan jika dekontruksi beresensi pada penolakan terhadap
logosentrisme, fonosentrisme, dan metafisika kehadiran yang diusung oleh para
filsuf sebelumnya.
Derrida menyatakan bahwa
kritik terhadap para filsuf Barat harus dilakukan karena selalu ada jarak atau
celah antara penanda dan pertanda, serta antara teks dan maknanya. Jarak atau
celah inilah yang membuat makna absolut mustahil ditemui. Adanya penanda tidak
secara langsung menggambarkan pertanda karena bahasa tidak lagi semata-mata sebagai
sebuah sistem penanda (difference), akan tetapi juga sebagai sebuah jejak (trace). Penanda dan pertanda bukan lagi
sebagai satu kesatuan melainkan terpisah, pertanda tidak hadir begitu saja;
tetapi didekontruksi.
Dekonstruksi berpotensi
membongkar kemapanan yang menjadi “pusat”, guna mengangkat “yang terpinggirkan”
dengan cara menukarkan posisinya. Secara tidak langsung, Derrida turut membuka
pemikiran bebas dan ruang terbuka bagi perbedaan dan keberagaman. Secara
praksis, dekontruksi menciptakan pemahaman dan pengetahuan yang beragam
mengenai makna sosial, budaya, masyarakat, dan lain-lain—tak terbatas.
*****
0 Comments:
Post a Comment