Wahyu Budi Nugroho
Uraian Singkat Perbedaan Sistem Demokrasi
Kapitalis dengan Sosialis
Wahyu Budi Nugroho
...di tengah-tengah, alias Jalan Ketiga.
Saya heran
ketika anak-anak kiri, atau setidaknya mereka yang mengusung ide sosialisme,
menyuarakan protes ketika terdapat kebijakan suatu pemerintahan yang dinilai
otoriter. Pasalnya, bukankah otoritarianisme adalah metode dari negara
sosialis? Dengan begitu, mereka yang membela sosialisme, atau berada di barisan
kiri, seharusnya tidak perlu protes ketika terdapat kebijakan pemerintah yang
dinilai otoriter. Ketika mereka melakukan protes, itu justru menunjukkan kontradiksi dari pemikirannya.
Di sini kiranya
menjadi perlu bagi kita untuk memahami kembali perbedaan sistem demokrasi yang
diterapkan negara-negara kapitalis dengan sosialis. Dalam negara kapitalis,
sistem pemerintahan demokrasi mereka kerap mendapati label “demokrasi liberal”.
Hal ini dikarenakan ideologi liberalisme yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Sedangkan, dalam negara-negara sosialis, sistem demokrasi mereka
adalah “sosial-demokrasi”.
Lalu, apa
perbedaannya? Dalam negara-negara kapitalis, demokrasi ditempatkan sebagai
sarana sekaligus tujuan. Sebagai sarana atau jalan, ini berimplikasi pada
kebebasan masyarakatnya; kebebasan untuk berpendapat, berekspresi, mengritik,
bahkan “menghina” pemerintah-nya. Itulah mengapa, kehidupan masyarakat
negara-negara kapitalis cenderung bebas, mereka dijiwai prinsip liberalisme
yang begitu menghargai individu. Individu bebas melakukan segala sesuatu sejauh
itu tak merugikan individu lainnya: “Aku tak mengganggumu, kau tak menggangguku”.
Sebagai sebuah tujuan, jelas, masyarakat demokratis adalah cita-cita yang
hendak mereka tuju. Dari sini, ditemui konsistensi antara means ‘cara-cara’ dengan ends
‘tujuan’ akan demokrasi dan demokratisasi: semuanya sejalan.
Sementara, pada
negara-negara sosialis, demokrasi sekadar ditempatkan sebagai tujuan, dan
bukannya sarana atau jalan. Mereka memang menghendaki masyarakat demokratis
sebagai cita-cita terparipurna, namun mereka meyakini, untuk mewujudkan itu, diperlukan
pengorbanan “saat ini juga” guna mencapainya. Dengan kata lain, berbagai
kebebasan masyarakat harus "ditunda terlebih dahulu" untuk mencapai kebebasan
yang paripurna (baca: sempurna). Itulah mengapa, negara-negara sosialis
cenderung melakukan kontrol ketat terhadap warganya. Apa yang harus dikorbankan
“saat ini juga” adalah kebebasan berpendapat, berekspresi, kritik, apalagi penghinaan terhadap pemerintah. Serangkaian hal tersebut sesungguhnya berkaitan erat dengan konsep ekonominya yang terkontrol, nanti akan dibahas lebih lanjut.
Akan tetapi yang
menjadi pertanyaannya, sampai kapan kontrol ketat pemerintahan tersebut akan terus
dijalankan? Tercatat, pada negara-negara sosialis-komunis, opresi terhadap
rakyat terus berlangsung hingga kejatuhan komunisme dunia pada akhir tahun 1980-an.
Kapankah demokrasi yang terparipurna itu bakal terwujud? Nyatanya, Korea Utara yang
hingga detik ini mengusung sosialisme juga masih melakukan kontrol ketat
terhadap warganya, bahkan cenderung represif.
Cermin dari kontrol yang berbeda antara negara kapitalis dengan sosialis
terhadap warganya turut tampak lewat kehidupan ekonomi warganya. Negara-negara
kapitalis cenderung menekankan spontanitas ekonomi, di mana pasar menjadi
penggerak dinamisnya. Seluruh pihak dibebaskan berkompetisi untuk mengejar
kemakmuran, sementara negara sekadar menjadi wasit atau legislator yang
menjamin kebebasan itu lewat berbagai undang-undang.
Di sisi lain, kehidupan
ekonomi negara-negara sosialis begitu menekankan arti penting “perencanaan”. Sesungguhnya,
istilah perencanaan di sini adalah substitusi dari “pengendalian”, dan itu
sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat—perencanaan atau pengendalian ekonomi. Ini
artinya, warga negara sosialis harus melakukan aktivitas ekonomi sebagaimana aturan-aturan
yang sudah ditentukan negara. Kreativitas ekonomi berlebih diharamkan, bahkan
negara mengambil peran ekonomi yang jauh lebih dominan ketimbang rakyat.
Tak heran, ini justru menimbulkan kemakmuran yang menyolok pada segelintir elit
pemerintahan, berbanding terbalik dengan masyarakatnya yang miskin. Itulah mengapa,
Friedrich August von Hayek menyatakan, “Sosialisme
adalah jalan menuju perbudakan”.
Terakhir,
sebagai refleksi. Sesungguhnya menjadi cukup absurd membincang ideologi di era yang disebut Daniel Bell sebagai “era kematian ideologi”, dan itu adalah era sekarang. Artinya, tidak
ada satu pun negara di dunia saat ini yang murni menerapkan ideologi
kapitalisme, juga sosialisme—atau komunisme. Seluruh negara di dunia telah mempraktikkan
“ideologi campuran”, yang berarti juga menerapkan “ekonomi campuran”. Pada negara-negara
kapitalis, ini dimulai ketika pada Depresi Ekonomi tahun 1930-an mereka mulai
menerapkan ekonomi keynesian. Sedangkan pada negara-negara sosialis-komunis, itu
dimulai ketika Deng Xiaoping melakukan restrukturasi ekonomi RRC pada tahun
1980-an karena menyadari ekonomi sosialisme bakal bangkrut. Voila! Jadilah RRC sekarang yang
begitu kapitalis dan mampu memonopoli perdagangan dunia lewat pasar bebas.
Hemat saya, Anda
jangan terlalu kiri, juga jangan terlalu kanan; itu bisa menyebabkan sakit hati. Yang sedang-sedang
sajalah...
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Narasi yg cukup mencerahkan.. 👍
ReplyDelete