Wahyu
Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
“Satu
orang mati adalah tragedi, satu juta orang mati adalah statistik.”
[Josef
Stalin]
“Kekebalan komunitas” atau yang juga
disebut herd immunity adalah upaya
menghambat penyebaran virus melalui dua cara: Pertama, buatan, yakni dengan vaksinasi; dan Kedua, alamiah, yaitu dengan cara membiarkan penyebaran virus hingga
sebagian besar masyarakat terjangkiti, dan dengan sendirinya akan kebal
terhadap virus tersebut. Pengertian yang terakhir ini dapat pula disebut
sebagai natural herd immunity atau “kekebalan
komunitas alami”.
Apabila pemerintahan suatu negara
mengambil kebijakan kedua—natural herd
immunity—sebagai solusi pandemi yang meluas, maka tak diragukan lagi jika mereka
mengambil kebijakan bernuansa “malthusian” dan “spencerian”. Thomas Robert
Malthus, sebagaimana kita kenal, mencetuskan teori yang terkenal mengenai
pertumbuhan penduduk sebagai deret ukur (0, 2, 4, 8, ...), sedangkan
pertumbuhan bahan pangan layaknya deret hitung (1, 2, 3, 4, ...). Ini artinya, pertambahan
populasi penduduk akan meloncat meninggalkan persediaan bahan pangan.
Guna mengatasi problem di atas,
Malthus menyampaikan ihwal “eliminasi populasi” seperti perang, bencana alam,
kelaparan (gagal panen), juga wabah penyakit. Namun, ia menyatakan bahwa
serangkaian hal itu bukanlah solusi terbaik dikarenakan tidak manusiawi—Malthus
sendiri adalah seorang pendeta. Malthus kemudian lebih menyarankan penundaan
pernikahan dan pembatasan jumlah anak—kala itu ia belum menyetujui kontrasepsi.
Akan tetapi, beberapa pengikut Malthus
setelahnya (malthusian) menghilangkan dimensi moral dari pemikiran Malthus, dan
lebih berfokus pada eliminasi populasi yang dinilai sangat efisien, beberapa di
antaranya seperti Charles Trevelyan, Lord Lytton, serta Ernst Haeckel. Mereka
menganggap perang, bencana alam, kelaparan, dan wabah penyakit sebagai sesuatu
yang lumrah, wajar, dan dapat dimaklumi demi menjaga pasokan pangan—sumberdaya.
Lebih jauh, jika kebijakan natural herd immunity dipilih, maka ini
dapat mengancam kelompok masyarakat rentan, terutama manula, bahkan dapat mengeliminasi
satu generasi mereka. Namun dalam perspektif nirmoral malthusian, itu adalah
hal yang sekali lagi, “dianggap lumrah”.
Pemikiran nirmoral malthusian di atas
tak berbeda halnya dari pemikiran Herbert Spencer tentang evolusi sosial.
Spencer, memang banyak dipengaruhi oleh Charles Robert Darwin, itulah mengapa
pemikirannya kerap disebut sebagai “darwinisme sosial”. Seleksi sosial tak
ubahnya seperti seleksi alam, siapa yang mampu beradaptasi (baca: bertahan),
dialah yang akan menang. Bahkan Spencer pernah berkata, “Membantu orang yang tak berguna dengan mengorbankan mereka yang
berguna adalah kekejaman ekstrim; dan ini tak ada gunanya”.
Tak pelak, pemikiran Spencer
bertanggung jawab atas munculnya berbagai undang-undang Eropa abad 19 tentang
penelantaran mereka yang lemah, miskin, dan sakit. Dengan kata lain, populasi yang
rentan tersebut dibiarkan musnah akibat seleksi sosial sehingga menyisakan
populasi sosial yang sehat. Ini pulalah yang kiranya juga terjadi jika kebijakan
natural herd immunity diambil oleh
suatu negara guna menghadapi pandemi.
Serupa dengan kedua pemikiran di atas,
kini terdapat seorang biolog evolusioner yang sangat dipengaruhi Darwin bernama
Richard Dawkins. Ia mengatakan bahwa seleksi alam masih terus berlanjut hingga
kini, dan hebatnya, kita bisa
menyaksikan proses itu secara langsung—saat ini juga. Dawkins mengambil misal mewabahnya
virus HIV-AIDS di seluruh dunia yang dinilainya sebagai wujud seleksi alam
konkrit. Dengan demikian, melalui perspektif Dawkins, pandemi Covid-19 tak
lebih sebagai proses seleksi alam yang memang bersifat wajar, lumrah, serta
dapat dimaklumi.
Jika suatu negara mengambil kebijakan natural herd immunity dalam mengatasi
suatu pandemi, itu hanya akan menunjukkan keegoisan, keputusasaan, sekaligus
ketidakmampuan negara dalam mengatasi situasi. Itu juga sama artinya sekadar memosisikan
warga negara sebagai “angka semata”: cara pandang yang tak manusiawi dan tak
bermoral.
Membiarkan satu generasi (tua) tereliminasi
dengan menafikkan jasa-jasa berikut pengorbanan mereka di masa lalu adalah tindakan
inkonstitusional. Terlebih jika negara tersebut berlabelkan “republik”. Istilah
republik atau respublica untuk
pertama kali muncul lewat karya filsuf Plato yang berjudul sama. Res berati “kepentingan”, publica berati “bersama”. Dengan
demikian, suatu negara atau pemerintahan dengan konsep respublica atau republik, mau tak mau sarat mengakomodasi
kepentingan seluruh rakyatnya[!].
*****
Bisa pula disimak di tautan berikut ini:
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment