|
Jean-Luc Nancy [pic: pinterest.com] |
Wahyu Budi
Nugroho
...masih mengusahakan being with others
Bagi Jean-Luc
Nancy, being together (menjadi
bersama-sama) atau being with other(s) (menjadi
bersama yang lain) memiliki prioritas eksistensial di atas being-being lainnya. Banyak
dari kita yang meyakini bahwa kondisi pertama manusia adalah being a self (menjadi diri) atau being alone (menjadi sendiri), barulah
kemudian menjadi being with others sehingga tercipta kelompok, komunitas, organisasi, bahkan negara. Akan tetapi
bagi Nancy, being with other selalu
mendahului being alone, ini
dikarenakan kata “sendiri” yang berarti penarikan dari yang lain atau
kebersamaan—pemisahan diri. Dengan demikian, "bersama" selalu mendahului "sendiri".
Begitu pula,
seringkali kita terkaburkan (baca: tertipu) oleh being with others yang berbasiskan ruang, yakni kehidupan bersama pada
tempat tinggal yang sama. Di sisi lain, kita juga sering tertipu oleh being immanent (menjadi terikat di
dalam/menjadi tak terpisahkan). Being immanent
dapat dimisalkan lewat ikatan-ikatan agama atau ideologi seperti nasionalisme,
kapitalisme, fasisme, atau sosialisme. Melalui being immanent, kita selalu merasa terikat dengan others lewat ideologi. Mengapa Nancy
mengritik semua itu? Ini tak lain dikarenakan semuanya cenderung “menyeragamkan”.
Menjadi “bersama dengan yang lain” berbasiskan kesamaan ruang, hanya akan
mengooptasi kumpulan individu berdasarkan kesamaan ruang itu. Sementara,
mengikat individu-individu ke dalam suatu ideologi hanya akan menyeragamkan
mereka ke dalam elemen sosial tertentu, semisal “menjadi warga negara”,
kelompok kaum borjuis, kelas pekerja, umat, jamaah, dan lain sebagainya. Semua ini
hanya akan melahirkan konsep mengada baru, yakni being in common (menjadi yang umum). Sementara, being in common takkan pernah bisa menangkap dinamika self secara otonom.
Padahal bagi
Nancy, being with other mensaratkan
perbedaan atau being with difference
(menjadi bersama dengan perbedaan). Dengan kata lain, being with other tidaklah mungkin tanpa perbedaan. Nancy menyebut
penyangkalan terhadap perbedaan sebagai “figurasi”—ia selalu mengenyahkan yang
berbeda untuk mempertahankan atau menjadikannya yang umum. Bagi Nancy, ini
dapat diatasi dengan menyadari ontologi yang selalu bersifat ko-ontologi. Apa yang
dimaksudkannya adalah, being selalu
terikat dengan being with (menjadi
dengan). “Menjadi dengan” adalah filsafat tentang “di antara (kita)”. Filsafat “di
antara” menjadi penting mengingat self
(diri) hanya dapat muncul lewat difrensiasi dengan other—Nancy mengulang keyakinan G.W.F Hegel tentang pengakuan. Begitu juga,
self dan other hanya baru bisa hadir ketika keduanya saling berhubungan.
Pemikiran tentang
“di antara” ini memunculkan premis yang terkenal dari Nancy: “Self
berhenti, dan other dimulai”. Menurut
Nancy, terhelatnya hubungan antara self
dengan other di situ dikarenakan “tempat
perbatasan yang dimiliki bersama”. Kepemilikan batasan yang sama tersebut
memungkinkan terjadinya kontak serta komunikasi. Dalam kondisi ini, being with other mungkin untuk
dimunculkan karena self sedang
dinegosiasikan atau dikompromikan. Berbagai negosiasi dan kompromi itu akan
menghasilkan apa yang disebut Nancy sebagai reticulated
multiplicity atau “keanekaragaman jaringan”. Dari sini, setiap individu
akan memiliki potongan atau singgungan dengan individu-individu lain sehingga
masing-masing kepentingan mereka dapat disuarakan dan diakomodasi: kehidupan being with others pun dapat terwujud.
*****
Bacaan lanjutan;
Nancy, Jean-Luc. 1991.
The Inoperative Community. London:
University of Minnesota Press.
Hutchens, Benjamin.
2005. Jean-Luc Nancy and the Future of
Philosophy. Chesham: Acumen.
0 Comments:
Post a Comment