[literariness.org] |
N.P Sri Pratiwi
Pegiat Sanglah Institute
“Sexual defference is probably the issue in our time which
could be our salvation if we thought it through.”
(Luce Irigaray,
1982)
Makna “Pengebirian
Perempuan” dan “Bahasa Patriarki”
Frasa
“pengebirian perempuan” diciptakan oleh Germaine Greer melalui karya The Female Eunuch yang ditulisnya pada
tahun 1970. Frasa ini mendeskripsikan jika perempuan adalah Other; bahwa nasib perempuan dibentuk
dan dilemahkan oleh tindakan destruktif laki-laki dalam masyarakat kontemporer
yang menghambat kontak perempuan dengan realitas eksternal. Perempuan kemudian
menggunakan premis batasan-batasan yang dipaksakan untuk mengritik batas norma
perempuan sendiri.
Sedangkan
“bahasa patriarki” merupakan penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki yang bias kekuasaan, dan telah lama
menjadi perhatian serius bagi para feminis. Semenjak tahun 1946, sejarawan
feminis Mary Beard mendeklarasikan bahwa ambiguitas maskulin merupakan dasar
permasalahan sosial. Shirley Arderer menyatakan bahwa ‘ucapan perempuan’ muncul
karena laki-laki memberinya label
‘perempuan’. Label tersebut mencakup kata-kata yang secara umum menunjuk pada
istilah sapaan, dan idiom. Permasalahannya adalah bentuk-bentuk tersebut
mencakup formasi konsep di dalam kerangka pemikiran yang dikonstruksi oleh
laki-laki tanpa mempertanyakan kesediaan perempuan atas label itu.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa perempuan telah terpisah dari seksualitas mereka,
seolah-olah sedang “dikebiri” di peternakan. Fenomena catcalling dapat menjadi misal bagaimana penggunaan label tentang
perempuan yang diucapkan oleh laki-laki membuat perempuan terputus dari
kapasitasnya untuk melakukan aksi. Laki-laki menunjukkan keberaniannya di jalan
untuk mendapatkan kenikmatan dan “kesegaran” yang sangat tidak menyenangkan
bagi perempuan, sedangkan perempuan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan
timbal-balik karena berada pada posisi yang disudutkan.
Feminisme Pascamodern Luce Irigaray
Pola
patriarkal menjadikan perempuan sebagai semua hal yang bukan laki-laki atau
citra yang sama sekali tidak diinginkan oleh laki-laki. Laki-laki selalu
dipandang sebagai kaum yang kuat, rasional, dan aktif. Sedangkan perempuan
adalah kaum yang lemah, emosional, dan pasif. Penempatan posisi perempun dalam berbagai
lokus negatif itu meminimalisir kesempatan yang sama bagi perempuan untuk masuk
ke dalam dunia yang menjadi perhatian publik maupun dunia yang mencerminkan arus
“budaya utama”.
Sebagai
upaya untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan, muncullah berbagai gerakan
perempuan yang secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik besar, menyebar
ke seluruh Eropa dan Amerika Utara. Gerakan ini kemudian melahirkan aliran
feminis radikal yang memperjuangkan aspirasinya melalui jalur kampanye serta demokrasi
untuk membangun ruang dan kebudayaan perempuan. Selanjutnya, feminis sosialis yang
lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas
tertindas lainnya. Pun, muncul pula feminis liberal yang lebih berkonsentrasi pada
lobi-lobi di level pemerintahan untuk memengaruhi para pengambil kebijakan.
Selanjutnya,
hadirlah sejumlah tokoh yang memandang curiga setiap pemikiran feminis yang
berusaha memberikan penjelasan mengenai penyebab opresi terhadap perempuan. Aliran
pemikiran ini mengklasifikasi dirinya sebagai para feminis posmodern yang
berusaha menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan konstruksi
laki-laki.
Satu
di antara berbagai akar pemikiran feminisme posmodern dapat ditemukan dalam
karya Simone de Beauvoir yang mengajukan pertanyaan esensial dalam teori
feminis, “Mengapa perempuan adalah jenis
kelamin kedua?”, yang jika difrase ulang dalam istilah posmodern adalah: “Mengapa perempuan adalah Liyan?”. Feminis
posmodern memanfaatkan pemahaman Beauvoir mengenai ke-Liyanan dan kemudian
memutarbaliknya. Perempuan masih merupakan Liyan, dan kondisi ini memungkinkan
perempuan untuk mengambil jarak serta mengritisi norma, nilai, dan
praktik-praktik yang dipaksakan oleh kebudayaan patriarki terhadap semua orang.
Salah satu feminis yang meyakini pemikiran ini adalah Luce Irigaray.
Luce
Irigaray adalah seorang pemikir beraliran pos-Strukturalis kelahiran Belgia
yang kemudian bermukim di Perancis. Arah pemikirannya berangkat dari keberadaan
bahasa dan budaya dalam lingkungan dunia subjek. Hal ini menjadi problem dan melahirkan
kritik sehingga menghadirkan suatu pandangan baru, di mana bahasa tidak
membentuk pandangan tentang dunia dari si penuturnya, akan tetapi yang terjadi
adalah, bahasa hanya cenderung membentuk pandangan tertentu subjek tentang
dunia. Irigaray mengambil peran dalam perkembangan feminisme posmodern pada
ranah bahasa dan budaya, bagaimana perempuan dipandang dan terepresi oleh
bahasa yang dibentuk oleh budaya patrialkal yang maskulin. Padahal, ada jenis
perempuan lain yang juga harus dikenal, yaitu perempuan sebagaimana dilihat
perempuan.
Ada
ketegangan antara keyakinan Irigaray bahwa pada akhirnya kita harus mengakhiri
proses pelabelan dan kategorisasi, serta keyakinannya yang lain bahwa kita tak
dapat menghindarkan diri dari keterlibatan dengan proses itu. Bagi Irigaray,
kontradiksi dengan diri sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap konsistensi
logis yang diperlukan: perempuan secara tidak terbatas adalah Liyan bagi
dirinya sendiri!
Dalam pemikiran Freud, posisi perempuan sebagai
gender kedua tidak dapat dihindari karena ketiadaan penis pada perempuan—penis adalah
simbol superioritas dan otoritas. Lebih lanjut, Derrida juga mengatakan jika bahasa
tidak memberikan makna atau konsep apa pun pada manusia. Manusia, kenyataannya,
berada di luar bahasa. Alasannya adalah karena menurut Derrida satu-satunya
bahasa yang tersedia adalah bahasa logosentris,
falosentris, serta biner yang membatasi pikiran. Irigaray pun kemudian sadar
akan persoalan ini ... bahwa konsep-konsep psikoanalisis dan filsafat merupakan
konstruksi para pria, dengan dengan cara pandang pria pula, yang dengan demikian
sangatlah maskulin. Apakah perempuan lain
juga menyadarinya?
****
Tags:
N.P Sri Pratiwi
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment