dalam
Pembacaan Nietzsche
Gede
Kamajaya
Direktur Sanglah Institute
Saya ingin memulai argumentasi menyoal
Joker lewat satu kutipan dari Nietzsche: “Kekuatan
adalah kebajikan yang utama, sementara kelemahan adalah keburukan yang
memalukan; maka yang baik adalah orang-orang yang mampu melangsungkan hidupnya,
sementara yang buruk adalah orang-orang yang kalah dan terpinggirkan”. Saya
tidak sedang ingin membawa pembaca pada simpulan bahwa kekerasan, darah, dan
pembunuhan yang dilakukan Joker adalah benar. Saya ingin membawa pembaca pada
kondisi lain, menjelaskan sosok “badut menyedihkan” yang hidupnya teramat pedih,
lalu berubah seketika pada suatu momen. Pendek kata, dimensi vitalitas seorang Joker
inilah yang hendak saya hadirkan pada sidang pembaca.
Arthur Fleck menjalani hidup yang
teramat sulit, komedian gagal yang dipertegas dengan momen ketika ia diundang
di acara TV favoritnya yang justru menjadikannya bahan olok-olok, badut jalanan
yang dihajar remaja tanggung hingga tersungkur, penyakit psikologis pseudobulbar affect yang seringkali membuatnya
celaka, dianggap aneh dan dijauhi, penghianatan seorang teman, kecewa pada ibu
yang awalnya sangat ia jaga, kekecewaan pada kondisi politik Gotham yang
menampilkan ketimpangan, monopoli kelas orang kaya, dan berbagai kondisi buruk
lainnya. Serangkaian hal tersebut menghantarkannya menjadi manusia paling
celaka, buruk, dan terasing. Hingga pada satu titik ia berhadapan dengan tiga
lelaki yang membulinya dalam kereta. Kemudian, terjadilah titik balik paling dramatik
dalam hidupnya. Alih-alih menyerah, Joker justru lahir sebagai manusia baru
pasca semua kepahitan yang ia alami. Di sinilah Joker menemukan titik tolak apa
yang disebut Nietzsche sebagai “vitalitas”.
Vitalitas Nietzche sejatinya mengadopsi
pemikiran Schopenhauer tentang penderitaan sebagai “yang esensial” dalam hidup.
Realitas yang mutlak bagi seorang Scopenhauer adalah “kehendak”, yaitu “kehendak
untuk hidup”. Bagi Nietzsche, vitalitas adalah arti kehidupan, dan menerima
kehidupan adalah kesimpulan filsafat. Lewat vitalitas ini pula Joker lahir
sebagai manusia dionysian. Manusia
dengan karakter chaos, emosional, dan
janggal. Sebagaimana kata Nietzsche, menjadi dionysian berarti hidup dengan berani, bebas, autentik, penuh gairah,
serta berani menerima tantangan hidup bagaimanapun adanya. Singkat kata: berani
mengatakan “Ya!” pada kehidupan.
Manusia, menurut Nietzsche, harus
menciptakan nilai-nilainya sendiri dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai
sebagai bukti kekuatan semangat untuk menjadi manusia unggul. Di tengah
keterpurukan personalnya sebagai “manusia aneh”, sejak awal Joker tidak pernah
menyerah pada hidup, ia menjadi manusia autentik keluar dari identitas publik
atau kawanan dan menjelma menjadi nihilis sejati. Seorang nihilis merasa bahwa
hanya ada satu kebenaran untuk dinyatakan, yaitu berlakunya ketiadaan mutlak
dan dunia tanpa makna. Joker mengacaukan nilai absolut di Gotham City,
menjungkirbalikkan apa yang sudah mapan, apa yang dikatakan baik dan buruk
selama ini. Beyond Good and Evil
betul-betul meresap dalam diri seorang Joker. Dari situ, lahirlah ubermensch, manusia super yang
menentukan sendiri makna dan tujuan hidupnya!
******
Tags:
Gede Kamajaya
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment