Wahyu Budi Nugroho
Pengamat film amatir
I said, that's life and as funny as it may seem
Some people get their kicks, stompin'
on a dream
But I don't let it, let it get me down
'cause this fine old world it keeps spinnin' around.
(That’s Life, Frank Sinatra)
Pertama-tama, mohon maaf, saya harus katakan, film Joker (2019) yang dibintangi Joaquin
Phoenix, biasa-biasa saja. Jika itu film thriller,
maka thriller-nya hanya setengah, tak
total. Begitu juga, jika itu film bergenre psikologi, psikologinya cuma
setengah, tak total juga. Jika itu setengah thriller
dan setengah psikologi, maka film itu tak jadi. Awalnya, saya mengharapkan
sesuatu yang menyentak atau mengejutkan-akut, mengapa Arthur Fleck bisa menjadi
sosok Joker, setidaknya sama menyentaknya seperti film Hannibal Rising (2007) yang menjelaskan mengapa Dr. Hannibal Lecter
bisa menjadi seorang psikopat tak
ketulungan. Dan memang, dalam Hannibal
Rising, latar mula dirinya bisa menjadi seperti itu, dinarasikan secara
apik, termasuk pengalamannya yang sangat traumatis melihat adik kandungnya
sendiri dibunuh dan disantap dagingnya oleh para prajurit NAZI yang kelaparan, kemudian ia juga dipaksa ikut memakannya—tergambar
jelas dalam adegan.
Dalam film Joker, narasi “keras” layaknya di atas tak ditampilkan—saya tidak tahu apakah karena sudah
disensor, akan saya tanyakan pada teman yang bekerja di Lembaga Sensor Film—narasi-narasi
traumatis sekadar ditampilkan secara siluet, itu pun lebih banyak ibunya Joker,
Penny Fleck, bukan masa kecil Joker sendiri—si Arthur Fleck. Bagi saya, aktor
Joaquin Phoenix yang memerankan Joker juga sudah terlalu tua. Meskipun ia
didandani secara muda, namun ingatan tentang usia Joaquin Phoenix yang
sebenarnya, terlebih karena saya juga sangat menyukai film yang ia bintangi
sebelumnya, Walk the Line (2005)—memerankan Johnny Cash—membuat
bayangan usia asli Joaquin Phoenix mau tak mau mengganggu kepala saya saat
menontonnya.
Begitu juga, aktingnya sebagai
Joker saya nilai kurang luwes dan spontan. Ini ketika saya bandingkan dengan
Joker—Heath Ledger—dalam film Batman The
Dark Knight (2008). Pun, saya semakin yakin jika versi Joker yang
diperankan Heath Ledger adalah yang terbaik
dibandingkan versi-versi Joker sejauh ini. Tetapi saya juga tidak tahu,
apakah kurang luwes dan spontannya Joker Joaquin Phoneix dalam film itu juga
dikarenakan “Joker baru belajar menjadi Joker”, sehingga memang sengaja belum
menampakkan karakternya yang mapan? Tegas dan jelasnya, Arthur Fleck gagal
menggugurkan diktum imajiner Joker Heath Ledger: “Saya lebih Joker daripada Joker”.
Melalui kacamata psikologi, saya
melihat rangkaian narasi film sedari awal hingga akhir tak ubahnya sebagai perjalanan
perkembangan psikoanalisis dari Sigmund Freud, Jacques Lacan, hingga Gilles
Deleuze dan Felix Guattari. Dalam psikoanalisis Freud, hasrat atau libido sarat
ditekan. Itulah mengapa Freud berkata, “...dimana
ada Id, di situ ada ego (yang berpatroli)”. Ego bertugas untuk menjaga dan memenjara Id (dorongan alam bawah sadar) agar tak membudalkan seluruh
hasratnya. Tentu, tugas ego yang
berat ini dibantu oleh superego yang
merupakan kristalisasi nilai, norma, dan budaya yang diinternalisasi individu
dari lingkungan sosial. Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa adegan Arthur
Fleck yang berupaya menahan amarah (baca: emosi) kala menuai beragam perilaku
tak menyenangkan dari orang-orang; dari gerombolan anak-anak yang mengganggunya,
atasan yang memarahinya, ibu dari anak kecil di bus yang menuduhnya, atau
orang-orang yang menganggapnya aneh.
Psikoanalisis Sigmund
Freud --> Psikoanalisis
Radikal Jacques Lacan -->
Skizoanalisis
Gilles Deleuze & Felix Guattari.
Pada perkembangan berikutnya,
yakni psikoanalisis (radikal) Jacques Lacan, hasrat tak lagi (harus) ditekan,
tetapi disalurkan, yakni ke dalam tataran simbolik. Tataran simbolik yang
dimaksudkan di sini, bisa berupa bahasa, gestur tubuh, seni, atau beragam
bentuk ekspresi manusia lainnya. Itulah mengapa, Lacan mendaulat seni sebagai salah
satu sarana “sublimasi”, ia—seni—bisa menyatukan antara “bahasa” dengan jouissance ‘kenikmatan’. Dalam arti,
membudalkan hasrat terdalam manusia (Id)
ke dalam ranah simbolik. Itu pulalah yang menyebabkan Lacan dituduh sebagai pemenjara
Id ke dalam kerangkeng simbolik. Dalam konteks ini, kita bisa melihat adegan
Arthur Fleck yang mulai kerap menari-nari dengan gerakan anehnya. Di situ,
sesungguhnya ia sedang menyalurkan Id
lewat ekspresi gestur—gerakan tubuh—atau dengan kata lain: hasrat yang mulai
disalurkan ke tataran simbolik.
Satu hal yang perlu dicatat juga,
kondisi Arthur Fleck yang “ter-Odipal” juga kian tampak. Ia menjadi lebih sering
berkhayal menjadi seorang bintang komedi tunggal (stand up comedy), memiliki hubungan spesial dengan wanita kulit
hitam yang disukainya, serta menjadi bintang tamu di acara talkshow TV terkenal,
Murray Franklin Show. Ini secara
jelas menunjukkan “fantasi sebagai penjaga minat subyek” sebagaimana ungkap
Lacan. Dengan begitu, satu-satunya alasan yang membuat Fleck terus bertahan dari
hidupnya yang sangat menyedihkan itu hanyalah berbagai fantasinya. Sementara,
dirinya yang ter-Odipal ditunjukkan lewat keinginannya menjadi bintang itu
sendiri—dalam bahasa Lacan: berhasrat menjadi phalus; suatu entitas yang lengkap, serba terpenuhi, atau pusat dari
segala sesuatu.
Pada perkembangan (psikoanalisis)
terakhir, sekaligus memasuki akhir cerita film, psikoanalisis Gilles Deleuze
dan Felix Guattari yang lebih sering disebut sebagai “skizoanalisis” seakan
menjadi muara. Skizoanalisis menolak psikoanalisis Freud yang menekan hasrat,
juga psikoanalisis radikal Lacan yang menyalurkannya lewat tataran simbolik. Skizoanalisis
justru ingin membebaskan hasrat, meliarkannya, pun mengajak subyek (manusia)
untuk larut dan menikmati kegilaannya secara total dan bebas. Dari sinilah
kemudian, lahir “agen skizofrenik” yang siap meluluhlantak setiap tatanan—sistem
Oedipus. Ini tampak lewat tokoh Arthur Fleck yang mulai benar-betul melawan
nilai dan norma sosial, jika sebelumnya ia sekadar berkhayal dan
mempertanyakannya. Ia mulai membunuh ibunya, temannya, menembak mati Murray Franklin, juga
membunuh perawat RSJ. Adegan-adegan itu menunjukkan secara eksplisit bagaimana
hasrat dibebasliarkan, dan sebagaimana karakter agen skizofrenik, Arthur Fleck mulai
siap menghancurkan sistem atau tatanan yang jauh lebih besar darinya SEORANG
DIRI.
Barangkali, ini pula yang menjelaskan
mengapa karakter Joker Arthur Fleck di awal masih belum begitu luwes dan
spontan; karena ia belum betul-betul membebaskan hasratnya, atau menjadi agen
skizofrenik yang paripurna; ia masih mengekang dan menekan dirinya. Lebih jauh,
secara sosio-ideologis, aksi-aksi Arthur Fleck mencirikan wujudnya sebagai “anarkisme
teror”. Anarkisme teror, berbeda dari gerakan anarkisme lainnya yang cenderung
bersifat kolektif. Anarkisme teror menekankan pada “gerakan individual” dan tak
pernah mengatasnamakan organisasi atau kolektivitas tertentu—gerakan ini sangat
dipengaruhi oleh “anarkisme individual” Max Stirner. Anarkisme teror kerap dikaitkan
dengan impuls tak terbendungkan individu yang sangat berambisi menghancurkan
simbol-simbol kekuasaan. Gerakan ini juga bersifat tak terukur dan tak
terprediksi, karena setiap individu dapat melancarkan aksi terornya kapan pun,
dimana pun, dan tanpa diketahui siapa pun sebelumnya.
Sebagai penutup, secara
keseluruhan, film ini justru mengingatkan saya pada kata-kata Yesus: “Jika kamu hanya berbuat baik pada
orang-orang yang berbuat baik padamu; lalu, dimana nilai lebihmu?”.
*****
terus dari semua penjelasan diatas, yg mana yg mendefinisikan film ini biasa saja 😑
ReplyDeletelu baca ga sih?
DeleteSelamat pagi pak, izin menyampaikan pendapat dan mohon koreksinya jika saya keliru🙏
ReplyDeleteMenurut saya salah satu penyebab Arthur Fleck kemudian berubah menjadi sosok Joker adalah akibat label yang di berikan oleh orang sekitarnya bahwa ia adalah aneh dan menakutkan. Dalam teori labeling oleh Lemert di sebutkan bahwa seseorang bisa melakukan penyimpangan akibat pemberian julukan atau cap dari lingkungan sekitar bahwa ia adalah seseorang yang menyimpang, maka kemudian lambat laun seseorang yang diberi julukan atau cap menyimpang tersebut akan mulai melakukan tindakan-tindakan menyimpang yang telah di cap kan kepadanya oleh lingkungan sekitarnya.
Arthur Fleck yang semula adalah individu yang baik kemudian berubah menjadi sosok Joker yang menakutkan, pembunuh dan lain sebagainya adalah akibat julukan-julukan dan cap yang diberikan lingkungan sekitar terhadap dirinya. Ditambah lagi banyak masalah hidup yang dialaminya juga menjadi pemicu dirinya menjadi sosok Joker yang menakutkan.
Santa Monika Manullang/ 1812511041
Izin berkomentar bapak, menurut saya film tersebut terbilang agak kurang menarik dan cenderung aneh. Pertama saya sependapat dengan yang dikatakan dalam tulisan jika genre atau pemaknaan pada film terkesan setengah setengah. Tekanan psikologi tidak nampak jelas, dan adegan pembunuhan juga tidak tampak mencekam. Emosi yang dilakoni Joker tidak cukup kuat untuk menjadikan saya terbawa suasana. Tapi menurut saya ini bukanlah kesalahan dari si aktor yaitu Phoenix, tetapi alur ceritanya yang tidak terlalu menggugah ketertarikan dan terkesan kurang emosional. Mungkin karena ketidaksinambungan antara kesan psikologi dan kesan thriller yg di perlihatkan. Phoenix sendiri dalam sebuah artikel (bbc.com, 2019) pernah menyebutkan bahwa ia sangat menikmati ketidaknyamanan yang disebabkan oleh film tersebut. Hal ini berarti ia benar-benar mendalami karakter tokoh yg ada pada film. Belum lagi keanehan dan kedangkalan ketika bertemu dengan sosok yang dianggapnya "ayah" yang bisa jadi hanya khayalan ibunya.
ReplyDeleteKemudian berdasarkan analisis psikologis yang tertuang dalam tulisan tersebut lama kelamaan tertarik (ditarik) ke arah sosiologis yg lebih luas sekaligus mendalam. Ketika film tersebut mulai menyebabkan kontroversi di masyarakat hingga menjadi pengingat (pemicu) sebuah kejadian yaitu kasus pembunuhan pada saat pemutaran film Batman, The Dark Knight Rises di kota Aurora, negara bagian Colorado yang menyebabkan 12 orang tewas dan 70 orang lainnya mengalami luka-luka. Ini menimbulkan berbagai keresahan masyarakat dan siapapun yang mendalaminya.
Seperti pada materi sosiologi film yaitu pendekatan institusional sosiologi film: Ian Charles Jarvie, dimana film biasanya terbentuk karena karakter sosial (kehidupan sosial) sehingga dengan mudahnya mempengaruhi masyarakat. Karakter Joker yang mungkin didasari atas masalah-masalah individual (yang berujung masyarakat) seperti kurangnya kasih sayang, haus perhatian dan trauma trauma kehidupan masa lalu yang menimbulkan kriminalitas memicu ingatan-ingatan atau gairah tersendiri di mata masyarakat khususnya mereka yang mengalami hal serupa dengan karakter film. Sehingga ini bisa memicu rasa termotivasi untuk melakukan hal yang serupa ataupun ketertekanan akibat perasaan yang sama ketika menonton film tersebut.
Demikian komentar dari saya, terimakasih atas kesempatannya, maaf apabila ada kesalahan dalam tulisan di komentar saya yang memiliki makna aneh ataupun menyinggung
Nama : Ida Ayu Dea Ikka Wardhani
NIM : 1712511016
selamat siang pak, saya ingin berkomentar dari paragraf terakhir bahwa bapak mengingat kata-kata Yesus setelah menyaksikan film Joker ini yaitu "Jika kamu hanya berbuat baik pada orang-orang yang berbuat baik padamu; lalu, dimana nilai lebihmu?" jadi yang bisa saya tangkap dari nilai lebih seseorang yang berbuat baik pada orang-orang yg berbuat baik maupun orang-orang berbuat buruk, maka nilai lebih itu dikatakan sebagai karakter yg menopang seseorang untuk berbuat baik. Dan nilai lebih disini dapat dikatakan orang tersebut memiliki kerendahan hati, penyabar dan konsisten dengan apa yang dilakukannya. Mengapa konsisten? karena jika seseorang menerima perlakuan tidak baik (baik fisik maupun mental) dari orang lain lalu seseorang tersebut malah membalas dengan kebaikan maka tidak ada yg bisa mengganggu gugat pemikiran bahwa dia harus jadi orang yg baik. Beda halnya dengan seseorang yg menerima perlakuan tidak baik lalu membalasnya dengan perlakuan tidak baik juga. Ini yg akan menggoyahkan pemikiran bahwa dia harus jadi orang yg baik namun seketika dengan membalas perlakuan buruk seseorang maka ia tidak konsinten dengan pemikiran baiknya.
ReplyDelete(Rafny Alnovira 1812511001)
Selamat siang pak wahyu, saya sependapat dengan bapak yang mengatakan bahwa film Joker (2019) biasa-biasa saja. Terlepas dari totalitas akting Joaquin Phoenix dan kesempurnaan sinematografi-nya, tanpa bermaksud ingin menjelek-jelekan, tapi sebenarnya film ini tidak seheboh yang digaungkan media, film ini terasa kurang “wow”. Reputasi akting Joaquin Phoenix yang tidak perlu diragukan lagi. Namun harus pula diakui bahwa Heath Ledger masih Joker terbaik, ia seakan terlahir untuk memerankan Joker, sementara Phoenix hanya berakting selayaknya seorang Joaquin Phoenix memerankan tokoh depresi dan gila, bukan memerankan pribadi Joker yang lepas landas. Orang-orang akan lebih bersimpati pada Joker versi Phoenix daripada menganggap Joker sebagai pribadi megalomaniak.
ReplyDeleteKisah mengenai dampak buruk bully dan tekanan masyarakat modern sudah bukan barang baru di Hollywood. Kini, hal itu menjadi semakin santer di dunia perfilman dan sudah menjadi rumus sukses karena lebih banyak masyarakat di era ini yang berhubungan dengan hal itu. Sederhana saja, sosok Arthur adalah seorang pecundang dengan reputasi gangguan mental yang membuatnya tidak mendapatkan pekerjaan normal (dan cinta, selayaknya orang normal). Yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi badut dan berdelusi, karena penderitan dan bully yang terus diterimanya, suatu hari ia berubah menjadi kejam. Aspek- aspek pendorong itu seakan membenarkan tindakan ‘balas dendam’ nya kepada society.
SYAEFUDDIN YUSUF DWIPUTRA / 1812511010
Mohon ijin memberikan komentar bapak. Menurut saya, terlihat jelas disini bahwa sisi kemanusiaan Arthur Fleck telah dirampas. Hal ini terlihat sebab bagaimanapun, ia tadinya adalah orang baik dan mencoba selalu baik. Sampai kemudian pemerintah, masyarakat, dan keluarga yang mengubahnya menjadi jahat. Seperti yang kita tahu bahwa individu adalah bagian dari keluarga, masyarakat, dan negara dan bisa dikatakan ketiga institusi ini dapat dengan mudah mempengaruhi kepribadian seseorang. Hingga akhirnya hal ini berpengaruh pada mental Arthur, yang suatu ketika tahu bahwa ia sudah tak punya apa-apa lagi. Sehingga ia pun menjadi Joker yang kejam dan tidak lagi takut pada apapun. Sekian yang dapat saya sampaikan pak, mohon maaf jika ada pendapat saya yang kurang berkenan. Terimakasih🙏
ReplyDeleteGiralda Martje Lawalata / 1812511021
Selamat siang Pak, mohon izin untuk menyampaikan pendapat mengenai artikel di atas tersebut Pak.
ReplyDeleteSebelumnya terima kasih Pak atas penjelasannya mengenai film “Joker” yang telah diulas dari sudut pandang psikologi. Sehingga membuat saya bisa memahami arti dari setiap adegan dalam film “Joker”. Yang dapat saya pahami bahwa artikel di atas tersebut menjelaskan mengapa Arthur Fleck bisa menjadi sosok yang brutal dan kejam yang dikenal dengan Joker. Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang kehidupan Arthur yang selalu mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari lingkungan sosialnya dan mengalami berbagai tekanan sosial hingga membuat ia menjadi semakin depresi hingga memiliki ambisi ingin menghancurkan apa pun yang menghalangi geraknya. Pada artikel ini juga mengupas secara bertahap tentang penyebab sikap-sikap yang di tunjukan Arthur pada film. Mulai dari bagaimana Arthur menekan emosinya. Kemudian menyalurkan emosinya melalui ekspresi tubuh dengan menari-nari mengikuti emosi terdalamnya. Sampai pada hasrat Arthur yang benar-benar ingin melakukan pemberontakan atas sikap-sikap yang kurang mengenakkan yang selama ini ia terima dari lingkungan sosialnya. Kemudian, dari film dan ulasan artikel di atas seperti sudah menggambarkan keadaan sosial dimasyarakat tentang adanya kesenjangan kelas sosial antara kelas bawah dan kelas atas. Dari berbagai penindasan yang dialami, adanya sikap meremehkan seseorang yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan dimasyarakat dan lain sebagainya. Serta menggambarkan mengenai isu kesehatan mental yang tidak sedikit masyarakat masih menganggap remeh hal tersebut. Seperti pada materi sosiologi film yang menyatakan bahwa film merupakan satu wujud praktik sosial. Yang berarti bahwa munculnya film tersebut tidak terlepas dari proses-proses sosial dan mencerminkan kehidupan suatu masyarakat.
Demikian pendapat yang dapat saya sampaikan, mohon maaf bila ada kesalahan dalam penyampaian serta terima kasih Pak
Ni Kadek Noviar Grace Chandra Putri/ 1812511027
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSelamat siang Pak Wahyu, izin untuk memberikan komentar mengenai artikel ini. Sebelumnya terimakasih pak untuk penjelasan teori dalam artikel ini sehingga memberikan saya pemahaman dan perspektif baru mengenai Film ini. Film Joker (2019) menggambarkan betapa buruk dampak yang muncul terhadap seseorang yang merasakan kasih sayang palsu, teralienasi dari sekelilingnya hal tersebut yang dialami oleh Arthur Fleck sebelum dirinya menjadi seorang Joker yang ditakuti. Film ini menurut saya mengangkat isu kesehatan mental di masyarakat yang tidak dipedulikan bahkan diremehkan, seseorang yang sudah berusaha menjalani hidup dengan berat tetapi masih menerima perlakuan yang tidak semestinya dari sekitarnya.Kehidupan yang pelik ini membuat Arthur Fleck melakukan tindakan yang tidak diinginkan keterwujudannya dalam masyarakat dengan menjadi seorang kriminal berdarah dingin. Terimakasih pak
ReplyDelete(Komang Ayu Widyantari/ 1812511046)
Izin memberikan komentar bapak, sebelumnya terimakasih atas tulisan yang bagus ini. Menurut saya dalam film Joker ini keseluruhan ceritanya membingungkan dan susah dimengerti. Akan tetapi seperti halnya kritik Dieter Prokop terhadap Adorno dan Horkheimer: Meskipun industri budaya bersifat manipulatif, konsumen tetap memiliki kebebasan untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsinya-memilih yang sesuai baginya... Oleh karena itu masyarakat sebagai konsumen bebas untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi film Joker ini. Meskipun banyak yang berkata bahwa film Joker ini memiliki feed back yang tidak bagus akan tetapi kebebasan untuk mengonsumsi atau tidaknya tetap berada ditangan konsumen. Sekian komentar dari saya, mohon maaf bila ada salah kata, terimakasih.
ReplyDelete(Alfia Tanjung/1812511047)
Selamat Siang pak, Izin berkomentar mengenai artikel diatas.
ReplyDeleteMengenai film ‘Joker’ tersebut, saya setuju mengenai pendapat bapak akan hal yang disampaikan dalam film terkesan setengah-setengah, saya pun dalam menonton film ‘Joker’ tidak sampai akhir, dan juga sangat disayangkan dalam film ‘Joker’ lebih banyak mengarah pada gangguan mental ketimbang aksi laga, yang seperti kita ketahui bahwa Joker merupakan salah satu karakter komik DC dan juga musuh batman sendiri. Mentalitas Joker Arthur Fleck ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di kota Gotham mulai dari masyarakat hingga aparat pemerintah yang tidak stabil, Karakter Arthur yang belum luwes dan spontan pun dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya, Arthur sendiri selalu berfikir cara untuk bisa membahagiakan dirinya dan orang lain, ini yang membatasi dirinya untuk menemukan sosok jati diri, kebebasan yang ia inginkan, ketika hasrat yang ia lepaskan dengan melalui kekerasan dan kematian, barulah ia mengetahui jati diri dan kebebasan yang ia cari selama ini. Ini pun juga dipengaruhi oleh sifat Narsistik yang diwarisi oleh Ibunya, Penny Fleck. Selama ini Arthur kehilangan arti kasih sayang dalam hidupnya, ketika ia menjadi penjahat paling menyeramkan di kota Gotham, semua perhatian tertuju padanya, masyarakat tunduk padanya bukan perhatian akan rasa kagum, namun akan rasa takut yang menghantui. Perhatian tersebut sebenarnya yang dicari oleh sosok Arthur Fleck sendiri.
Sekian komentar dari saya bapak, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam berkomentar ataupun berucap, Terimakasih atas artikel yang sangat menarik bapak.
(Ida Ayu Putu Eka Marenita Putri/ 1812511033)
Selamat Siang Pak, mohon izin untuk berkomentar tentang film Joker versi Joaquin Phoenix. Joker, siapa yang tidak kenal Joker, villain utama bagi seorang Bruce Wayne the protector of Gotham City dalam film-film Batman, dan ini termasuk dalam DC comic Universe. menurut saya memang antara joker heat ledger, lalu joker dari jared leto dan joker joaquin sendiri memiliki keperibadian yang sangat amat berbeda. dalam perspektif film menurut saya hal ini seakan-akan membuat banyak sekali persepsi masyarakat khususnya penonton dalam membayangkan sosok joker, dan hal ini membingungkan bagi saya, mungkin juga memang saya tidak terlalu meengikuti DC, hanya beberapa seperti justice league, superman, the flash dan kawan-kawannya. saya lebih menikmati suguhan dari Marvel Comic Universe karena menurut saya walaupun adanya pergantian aktor namun hal tersebut tidak merubah bagaimana pandangan saya terhadap suatu tokoh dalam film. contohnya Hulk yang pemeran utamanya sempat digantikan, sosok hulk dalam benak saya ya masih seorang hijau besar yang bisa mengamuk jika emosinya memuncak. dan saya tidak perlu bingung jika ada yang bertanya kpd saya tentang sosok hulk, jika joker mungkin saya akan melempar pertanyaan balik "joker yang diperankan siapa ya?". mungkin bagi sebagian orang hal ini tidak begitu penting namun suatu kebingungan besar bagi saya. tapi disamping ini semua menurut saya memang film JOKER keluaran tahun 2019 ini memang mengambil tema suatu penceritaan kembali tentang awal mula bagaimana sosok joker, bagaimana tentang lingkungannya yang sangat tidak bisa menerima keadaannya dan bagaimana dia diwatakkan seabagai seorang dengan kebutuhan jiwa khusus, dan hal ini juga merupakan sebuah pesan bagi masyarakat yang menonton bahwa kadang apa yang kita sampaikan ke orang lain belum tentu responnya sesuai dengan harapan kita. dalam film ini bisa dilihat dari adegan bagaimana Arthur Fleck ssangat mengidolakan seorang Murray Franklin namun ternyata Murray malah membuat lelucon tentang arthur dan hal itu dainggap sebagai sebuah penghinaan oleh arthur, dan juga suatu pengetahuan bagi penonton terkait dengan orang-orang yang megnidap mental ilness dan semacamnya agar dapat juga diperlakukan sebagaimana mestinya dan tidak disamaratakan dengan yang lain.
ReplyDeletesekian komentar dari saya , saya memohon maaf apabila ada kesalahan kata dan penulisan, TERIMAKASIH :)
Cokorda Agung Dharmasantika/1812511040
Selamat siang bapak, izin memberikan komentar mengenai artikel ini:
ReplyDeleteFilm merupakan salah satu wujud praktek sosial dimana terciptanya sebuah film tidak terlepas dari kondisi sosial. Menurut saya film joker juga menggambarkan kondisi sosial di masyarakat. Dimana banyak orang yang mengalami masalah kejiwaan sebagaimana arthur fleck yang seharusnya mendapatkan perhatian dan dukungan dari keluarga dan masyarakat untuk memulihkan dan menstabilkan kondisinya, justru dilabeli aneh dan tidak dipedulikan. Kondisi tersebut akhirnya berdampak memperburuk kondisi kejiwaan arthur fleck maupun seseorang yang juga memiliki masalah kejiwaan sehingga perilakunya menjadi tidak terkontrol dan dapat membahayakan orang lain. Sebagaimana arthur fleck yang berubah menjadi menyeramkan dengan melakukan kekerasan dan lain-lain menjadikannya joker yang kejam. Sekian terimakasih.
Devi Retno Wulansari/1812511030
Siang pak,izin berkomentar
ReplyDeleteApa yang terjadi dalam film joker menurut saya merupakan pemaksaan individu patuh terhadap standar yang di bentuk oleh dunia secara universal. Apa yang terjadi saat ini seakan membuat manusia cenderung terbelenggu dengan kesamaan yang harus diterapkan oleh individu terhadap realitas manusia yang lainnya.
Sebagaimana keseragaman adalah bukti ketertindasan,saya sepakat bahwa kita sekarang dalam fase itu. Sering kali kita tidak mampu melihat berbagai fenomena dalam hidup manusia secara jernih pun tidak hanya melihat efek negative saja.
Saya pikir film ini membingungkan sekaligus membangun mindset untuk tidak mengkotakkotakan kebahagiaan kita dengan yang lainnya.
WILLYAM STEVEN S (1712511057)
Mohon ijin berkomentar terkait artikel diatas, pak. Menurut saya, terlepas dari segala perdebatan dan pesan di dalamnya, Joker bukan hanya memiliki cerita yang kuat dan mampu membuat penonton berdecak kagum sekaligus tercengang, serta memiliki sisi sinematografi dengan iringan musik yang mampu membius penontonnya.
ReplyDeleteSecara umum, Film Joker mengisahkan beragam kekerasan baik fisik maupun mental yang terpaksa diterima dan dilalui oleh Arthur Fleck (Phoenix). Konflik-konflik sosial seperti masalah kesehatan mental, benturan antar-kelas, hingga politik manipulatif ditampilkan secara nyata, termasuk masalah kejiwaan Arthur Fleck, dari semula seorang yang tertindas menjadi penjahat berdarah dingin.
Di sisi lain, Joker juga menggambarkan betapa buruk dampak yang muncul terhadap seseorang yang merasakan kekurangan cinta, apresiasi, penerimaan, dan kasih sayang dari sekelilingnya. Ditambah lagi kegagalan pemerintah dalam membantu mereka yang termasuk dalam kaum marjinal (termasuk di dalamnya orang-orang yang membutuhkan bantuan psikolog/ profesional). Masalah tersebut bisa saja terjadi dengan siapa pun di dunia ini, bukan hanya Joker.
Sekian komentar dari saya. Mohon maaf jika terdapat kesalahan kata. Terimakasih.
(Ni Made Dwi Agustina/ 1812511048)
ReplyDeleteSelamat Siang pak wahyu, izinkan saya berkomentar.
Terkait bagaimana Arthur Fleck dalam film Joker ini menjadi sosok yang menakutkan dan lain sebagainya.
Dimana sosok Arthur ini dahulunya adalah sosok yang sangat baik, kemudian berubah menjadi sosok Joker yang menakutkan dan sebagai pembunuh. Hal ini didasari oleh latar belakang sosialnya, dimana sosok Arthur ini memiliki tekanan psikologis akibat dari masyarakat yang telah memberi cap atau label bahwa Arthur adalah sosok yang aneh dan menyeramkan, kemudian juga sosok ini kurang akan kasih sayang serta memiliki trauma trauma dalam dirinya. Hal ini kemudian juga turut mempengaruhi kondisi psikologis Arthur yang akhirnya mengakibatkan munculnya hasrat hasrat untuk menyalurkan emosinya atau tekanan paikologisnya itu sehingga menjadi sosok kejam dan kriminal.
Jika dilihat lagi disini cap atau label yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri secara jelas dapat mempengaruhi psikologis seseorang. Dimana pada film ini Arthur dicap sebagai sosok yang aneh dan menyeramkan, maka dengan segala tekanan emosi akhirnya Arthur menjadi sosok seperti apa yang telah dilabelkan oleh masyarakat itu sendiri.
Sekian terimakasih pak 🙏🏻
(Ni Kadek Suarningsih / 1812511037)
Selamat siang bapak
ReplyDeleteMohon izin menyampaikan komentar terkait artikel dalam film "Joker".
Saya berpendapat lewat pemikiran Robert Owen yang menyatakan, perilaku sosial manusia tidaklah tetap, manusia mempunyai kemampuan bebas untuk mengorganisir diri mereka kedalam segala bentuk masyarakat yang mereka inginkan.
Dalam film tersebut, menceritakan sosok Arthur yang bekerja sebagai badut meskipun mendapatkan ejekan dari lingkungan sekelilingnya.
Ketika Arthur menaiki kereta bawah tanah, ia mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan dari tiga pebisnis yang mengakibatkan Arthur menembak mati ketiganya. Robert Owen juga menyebutkan bahwa kejahatan muncul bukan karena kejatuhan moral, melainkan karena keadaan lingkungan.
Kondisi psikologis Arthur semakin buruk ketika salah satu acara talk show menayangkan penampilan buruk Arthur sebagai bahan ejekan, pembunuhan yang ia lakukan, dan menyadari bahwa ia adalah anak tidak sah dari salah satu politikus.Dalam film tersebut kita dibawa berfantasi masuk kedalam kota yang sering kita temui mengalami kekacauan (Keos). Terdapat pembunuhan, perampokan, kekecewaan terhadap pemerintah dan sebagainya.
Sekian komentar yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila ada salah kata.
Terima kasih.
Nama: Pilipus Sijabat
Nim: 1812511013
Selamat sore bapak, mohon izin untuk berkomentar, sebelumnya terimakasih untuk penjelasan yang sangat menarik dalam artikel ini pak. Kisah yang diangkat melalui film Joker ini yaitu mengisahkan keadaan seorang Arthur Fleck mengalami tekanan dalam hidupnya yang mana hal tersebut dilatarbelakangi oleh lingkungan sekitarnya dimana orang - orang menganggap aneh dirinya serta dia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Karena perlakuan tersebut akhirnya membuat seorang Arthur Fleck kemudian benar - benar berubah menjadi sosok yang sangat aneh dan menyeramkan seperti yang telah dilabeli oleh masyarakat selama ini, hal tersebut dapat dilihat dari tindakan dia membunuh ibunya, temannya dan yang lainnya. Apa yang terjadi dalam kisah film Joker tersebut menunjukkan bagaimana individu mengalami keterbatasan dalam mengekspresikan dirinya karena mereka dituntut untuk selalu patuh ataupun sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat, apabila individu tersebut bertindak tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka individu akan mendapatkan stigma yang buruk oleh lingkungan sekitarnya seperti halnya yang dialami oleh Arthur Fleck.
ReplyDeleteSekian komentar yang dapat saya sampaikan pak, apabila ada kekeliruan mohon bimbingannya, terima kasih.
Ni Wayan Linda Sari (1812511018)
Selamat siang pak, pendapat saya sendiri setelah menonton film Joker 2019, saya menyimpulkan jika film ini memang memiliki alur cerita yang lumayan sederhana, kelam dan agak membingungkan.
ReplyDeleteMenurut saya karakter Arthur Fleck yang melankolis dan tertindas karena memiliki gangguan kelainan mengekspresikan emosi hanya dengan tawa, lalu Arthur Fleck yang menjadikan dirinya sebagai individu dominan dengan persona baru yaitu Joker lewat aksi membajak stasiun tv dan menjadikan dirinya sosok bak pahlawan bagi kaum marjinal dengan aksi tindak kriminal umumnya yang merupakan pukulan telak bagi kaum Elitis Gotham dapat diperankan dengan cukup baik. Dan menurut saya pesan dari film ini adalah bahwa selalu berusahalah untuk berbuat baik bagi orang-orang dengan situasi kurang beruntung.
Sisca Lely Fania 1812511029
Selamat sore pak, izin berkomentar
ReplyDeleteSaya jujur tidak pernah menonton film ini karena ya seperti penjelasan diatas orang-orang juga mengatakan film joker versi terbaru kurang menarik dan ceritanya pun mudah ditebak. Memang di awal peluncuran film joker versi terbaru berbeda cerita dengan joker” versi lama yang sudah terkenal joker adalah musuh bebuyutan batman si manuia super kelelawar ciptaan DC. Mungkin sebagain masyarakat susah untuk menerima joker yang lain karena versi heath ledger dikatakan sebagai joker terbaik hingga merenggut nyawa pemerannya yang benar” masuk kedalam peran joker yang mengerikan.. pembahasan perihal film joker yang diperankan joaquin phoenix lebih banyak membahas kesehatan mental yang jangan sekali-kali dianggab remeh karena begitu berbahaya bagi diri sendiri maupaun masyarakat sekitar.. seperti yang sudah dipaparkan diatas bagaimana ego menahan alam bawah sadar manusia agar tidak lepaas kontrol supaya dapat mehan amarah yang Dipendam. Namun disatu sisi itu dapat menyebabkan penyakit dikemudian harii. Jadi sebesar apapun masalah kita haruslah bisa mengutarakan yang ingin disampaikan agar tidak terpendam didalam diri sehingga jika tidak bisa mengontrol akan meletus dikemudian hari. Masalah tidak akan selesai jika kita tidak membicarakannya, carilah seseorang yang mau menjadi teliga dan mau memberi pundak dikala sedang sedih maupun bahagia... terimakasih
Ni made melin sri wiguna (1812511011)
Selamat sore pak, Mohon izin berkomentar terkait artikel di atas. Arthur Fleck yang berprofesi sebagai badut dalam film joker ini mengalami kepribadian yang sangat tabu untuk diterima masyarakat umum. Masalah kejiwaan yang di alami oleh Arthur Fleck ini dikarenakan ia selalu menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari orang sekitarnya; gerombolan anak2 yang mengganggunya, atasan yang memarahinya, orang yang menuduhnya, dan orang orang yang menganggap nya aneh. Hingga akhirnya hal itu berpengaruh pada kesehatan mental Arthur. Kehidupan nya yang kacau balau membuat dia tertawa pada waktu yang tidak tepat. Gangguan mental yang masih di anggap rendah dan selalu di remehkan di tengah masyarakat ini bisa berakibat fatal. Arthur yang tadinya ialah orang baik dan mencoba selalu baik berubah menjadi seorang yang keji. Keinginan nya untuk membalas dendam seakan-akan membenarkan tindakannya yang kemudian menjadikan dia sebagai seorang Joker yang menjadi penjahat kriminal di tengah masyarakat.
ReplyDeleteMohon maaf jika ada salah kata, Terimakasih pak.
(Sonia Devi/1812511016)
Izin berkomentar bapak, menurut saya film tersebut terbilang agak kurang menarik dan cenderung aneh. Pertama saya sependapat dengan yang dikatakan dalam tulisan jika genre atau pemaknaan pada film terkesan setengah setengah. Tekanan psikologi tidak nampak jelas, dan adegan pembunuhan juga tidak tampak mencekam. Emosi yang dilakoni Joker tidak cukup kuat untuk menjadikan saya terbawa suasana. Tapi menurut saya ini bukanlah kesalahan dari si aktor yaitu Phoenix, tetapi alur ceritanya yang tidak terlalu menggugah ketertarikan dan terkesan kurang emosional. Mungkin karena ketidaksinambungan antara kesan psikologi dan kesan thriller yg di perlihatkan. Phoenix sendiri dalam sebuah artikel (bbc.com, 2019) pernah menyebutkan bahwa ia sangat menikmati ketidaknyamanan yang disebabkan oleh film tersebut. Hal ini berarti ia benar-benar mendalami karakter tokoh yg ada pada film. Belum lagi keanehan dan kedangkalan ketika bertemu dengan sosok yang dianggapnya "ayah" yang bisa jadi hanya khayalan ibunya.
ReplyDeleteKemudian berdasarkan analisis psikologis yang tertuang dalam tulisan tersebut lama kelamaan tertarik (ditarik) ke arah sosiologis yg lebih luas sekaligus mendalam. Seperti pada materi sosiologi film yaitu pendekatan institusional sosiologi film: Ian Charles Jarvie, dimana film biasanya terbentuk karena karakter sosial (kehidupan sosial) sehingga dengan mudahnya mempengaruhi masyarakat. Karakter Joker yang mungkin didasari atas masalah-masalah individual (yang berujung masyarakat) seperti kurangnya kasih sayang, haus perhatian dan trauma trauma kehidupan masa lalu yang menimbulkan kriminalitas.
Demikian komentar dari saya maaf kalau banyak kekeliruan
Silfirahayuputri 1812511019
Izin berkomentar pak. Dari film Joker ini kita dapat melihat bagaimana fenomena yang muncul dari tekanan kehidupan sosial yang ada di tengah masyarakat. Tekanan kehidupan sosial ini menyeret dan membawa manusia ke dalam pusaran kekacauan dan siksaan. Banyak yang mencoba untuk bertahan dan berusaha kuat. Namun hal ini tak sering juga menjadi blunder sebab pada akhirnya malah mereka yang termakan ousaran tersebut. Seperti yang telah dijelaskan bagaimana ego menahan alam bawah sadar manusia yang pada akhirnya alam bawah sadar itu sendiri tak bisa ditahan sepenuhnya dan pada akhirnya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
ReplyDeleteI Wayan Baskara Agastya/1812511045
Mohon izin untuk memberikan komentar Pak terkait dengan artikel di atas. Dari film Joker ini dapat saya simpulkan bahwa Arthur Fleck (Joker) mengalami berbagai pertentangan di dalam hidupnya dimulai dari masyarakat yang mengucilkan sampai dengan trauma-trauma yang membayangi dirinya walaupun dalam artikel disebutkan bahwa kejadian traumatis lebih berfokus pada Penny Fleck, ibu Arthur Fleck (Joker). Segala pertentangan yang diterima oleh Arthur Fleck mengguncang psikologi dari Arthur Fleck dimana berdasarkan psikoanalisis Sigmund Freud menyatakan Id diredam oleh Ego yang juga dibantu oleh Superego yang ditampilkan pada adegan Arthur Fleck meredam emosinya kala menerima perlakuan tak menyenangkan. Hal ini juga dalam dunia nyata dapat terlihat jika seseorang yang dirundung berusaha untuk bertahan dari siksaan perundungnya. Lanjut kepada psikoanalisis dari Jacques Lacan dimana hasrat tidak lagi harus ditekan, tetapi disalurkan yakni ke dalam tataran simbolik. Di dalam film ditunjukkan pada adegan Arthur Fleck (Joker) menari-nari dengan gerakan yang aneh. Di dunia nyata, hal ini sering terlihat dari beberapa manusia yang seringkali berperilaku di luar kebiasaan yang terkadang menurut manusia normal aneh untuk dilakukan. Dan yang terakhir skizoanalisis oleh Deleuze dan Guattari yang terlihat saat adegan Arthur Fleck (Joker) mulai membunuh orang-orang di sekitarnya. Perilaku Arthur Fleck yang membunuh merupakan muara dari segala gangguan psikologi yang dialaminya. Dari hal ini, dapat terlihat bahwa manusia yang awalnya dapat meredam emosi, lanjut menyalurkan hasratnya terhadap suatu perilaku seni (simbolik), dan berakhir pada perilaku yang melawan segala aturan di masyarakat dan berakibat fatal. Sekian komentar dari saya, terima kasih.
ReplyDeleteDiah Putu Laksmi Ayudhari / 1812511036
Terima kasi pak atas artikelnya. Dari penjelasan tersebut dapat saya simpulkan bahwa hasrat atau libido yang ditekan maka lama kelamaan akan memncak yang menyebabkan, maka dalam psikoanalisis hasrat yg memuncak tersebut tidak ditekan melainkan disalurkan dengan salah satunya melalui perbuatan, seperti yang dilakukan oleh Joker yang mulai melawan nilan dan norma sosial karena tekanan dari masyarakat yang terus berbuat jahat terhadapnya. Meskipun sebenarnya dalam artikel ini dijelaskan bahwa karakter Joker masih belum benar benar membebaskan hasratnya. "Barangkali, ini pula yang menjelaskan mengapa karakter Joker Arthur Fleck di awal masih belum begitu luwes dan spontan; karena ia belum betul-betul membebaskan hasratnya, atau menjadi agen skizofrenik yang paripurna; ia masih mengekang dan menekan dirinya."
ReplyDeleteNi Komang Ayu Indra Yanti
1712511015
Mohon izin memberi komentar untuk ulasan film ini, Pak. Saya sepakat dengan keseluruhan gagasan analisis teori yang ditawarkan penulis – Pak Wahyu- dalam tulisan ini. Dimulai dari analisis menggunakan psikoanalisis dari Sigmund Freud, Jacques Lacan, hingga Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Susunan analisis seolah ‘cantik’ dan mengalir. Bagaimana konsep psikoanalisis dari Sigmund Freud yang mengupas pergulatan mental Fleck yang erat kaitannya dengan konsep Ego, Id, dan Super Ego. Hal ini misalnya, pada awal-awal film, Fleck yang hanya menerima segala tindakan-tindakan di luar dari dirinya yang saya rasa sangat tidak pantas diterimanya. Kemudian, pada psikoanalisis (radikal) Jacques Lacan, terkait bagaimana hasrat tak lagi (harus) ditekan, tetapi disalurkan, yakni ke dalam tataran simbolik. Manusia memang memerlukan media penyaluran untuk berekspresi sehinga ia tak dalam kondisi yang berjejal dan menajdi akar kekerasan. Selanjutnya, psikoanalisis Gilles Deleuze dan Felix Guattari dengan teori skizoanalisisnya yang ingin membebaskan Hasrat secara total. Kenyataannya, penyaluran pada tataran simbolik tak dapat menyalurkan sepenuhnya bagaimana pergolakan mental dan krisis eksistensi diri dihadapi Fleck, ia pun memilih menayalurkan permasalahan benruntunnya dengan tindakan sadisme. Terimakasih.
ReplyDeleteNi Nyoman Galuh Sri Wedari/1812511044.
Selamat sore pak Wahyu, terimakasih atas artikel yang sangat menarik.
ReplyDeleteIjinkan saya memberi sebuah pendapat.
Saya berpendapat melalui pemikiran Jacob Peter yakni film menjadi refleksi dan mentalitas masyarakat. Dalam film Joker, sosok Arthur yang memiliki pola asuh yang selalu ditanamkan oleh ibunya bahwa ia harus terlihat bahagia dan tersenyum, yang nyatanya menjadi beban bagi dirinya sendiri. Dimana ia mengalami kondisi psikologi yang tidak seimbang.
Kondisi yang dialami oleh Arthur terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Banyak dari kita yang mengalami berbagai tekanan psikis tapi cenderung ragu untuk berbagi cerita kepada orang lain namun ketika hendak berbagi cerita cenderung dari kita menganggap ceritanya adalah hal yang biasa saja. Kondisi inilah yang dapat membuat jiwa seseorang mendadak brutal dan tak terkontrol.
Sekian pendapat dari saya, mohon maaf bila terdapat beberapa kesalahan. Terimakasih pak.
Jani Arta Situmorang_1812511023
Sore pak, izin berkomentar. Saya setuju kalau film ini biasa-biasa saja dibandingkan film-film joker sebelumnya. Diawal kemunculan film ini, saya adalah salah satu orang yang sangat antusias untuk menunggu dan menonton film ini. Namun, setelah menonton, saya dibuat seperti habis Ujian Nasional, banyak pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya kepikiran dan tidak mampu saya jawab saat menonton filmnya. Kemudian, saya sudah membaca artikel ini sejak lama, dan saya berpikir bahwa ternyata benar hasrat atau libido yang selama ini terpendam dalam diri tokoh Joker akan memuncat dan melawan nilai-nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat.
ReplyDeleteDony Ramadhan_1712511057