Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
1.
1. Analisis Situasi
Persoalan yang dihadapi lingkungan perkotaan tanah air dewasa ini tidak
lagi sekadar berkutat pada persoalan-persoalan klasik layaknya urbanisasi,
berkurangnya lahan pemukiman, munculnya slum
area ‘pemukiman kumuh’, buruknya sanitasi, dan kemacetan; melainkan pula
turut menjamah aspek psikis-laten masyarakat perkotaan terkait hadirnya
kehidupan artifisial yang diciptakan oleh aktivitas ekonomi dan bisnis. Pesatnya
laju kapitalisasi perkotaan, terutama kota-kota besar tanah air, yang
mengisyaratkan cepat dan derasnya modal berikut investor baik dari dalam maupun
luar negeri masuk, seakan menjadikan kota sebagai lingkungan yang gaduh lagi
bising.
Kegaduhan dan kebisingan kota tersebut setidaknya mewujud pada dua hal. Pertama, kondisi masyarakat kota yang ajeg dituntut untuk selalu bergerak
cepat, responsif, serta mampu beradaptasi dalam situasi dan kondisi kota yang
begitu dinamis—cepat berubah. Kedua, semakin
terbatasnya ruang publik masyarakat perkotaan yang netral (baca: bersih) akibat
bertebarannya “sampah visual” di berbagai relung kota. Tak pelak, kedua hal ini
saling terkait antarsatu sama lain; di satu sisi, masyarakat kota membutuhkan
ruang publik yang baik, yakni ruang publik yang dapat menjadi tempat untuk
melepas penat, atau setidaknya, memberikan kesejukan pandang guna mereduksi kelelahan
pikir dan psikis dari kesemrawutan kota. Namun di sisi lain, aktivitas ekonomi
dan bisnis yang berpusat di kota kerap kali mendistorsi eksistensi berbagai
ruang publik yang ada, alhasil, peran dan fungsi ruang publik yang hadir
kemudian pun tak seperti yang diharapkan.
Pengertian Ruang
Publik
Sebelum melangkah lebih jauh pada persoalan sampah visual yang tengah mendera
lingkungan perkotaan dewasa ini, kiranya ada baiknya untuk terlebih dahulu mengkaji
pengertian “ruang publik” sebagaimana yang dimaksudkan. Jurgen Habermas (1989:
27) mendefinisikan ruang publik sebagai,
“…public
sphere may be conceived above all as the sphere of private people come together
as a public; they soon claimed the public sphere regulated from above against
the public authorities themselves…”
[“…ruang publik dapat dipahami sebagai kesatuan ruang
privat di mana orang-orang yang terdapat di dalamnya datang bersama-sama
sebagai publik; melakukan klaim bahwa ruang tersebut sarat diatur berdasarkan
otoritas mereka…”]
Secara
sederhana, ruang publik dapat diartikan sebagai ruang yang diperuntukkan bagi
publik (masyarakat). Ruang ini mengisyaratkan kesetaraan bagi mereka yang hadir
dan terdapat di dalamnya. Lebih jauh, ruang publik berfungsi sebagai sarana
melepas lelah, penat, membudalkan ampas-ampas pikiran, bahkan suatu ruang di mana
diskusi ataupun debat yang bersifat subversif sekalipun
dapat dilangsungkan. Ruang
publik dapat mengambil banyak contoh, Habermas (1989: 127, 134) misalnya, mencontohkan
wujud konkret paling awal ruang publik sebagai kedai-kedai kopi berikut
salon-salon yang terdapat di jalanan kota Paris, Perancis sekitar abad 17-18. Berbagai
kedai kopi berikut salon tersebut pada mulanya sekadar menjadi tempat melepas lelah lapisan kelas sosial menengah
dan kelas sosial bawah Perancis, namun kemudian berkembang menjadi ruang
diskusi seputar kesusasteraan, kebudayaan, bahkan politik, pun memiliki andil
besar dalam menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat Perancis yang berekses pada
Revolusi 1789.
Di tanah air
sendiri, wujud konkret ruang publik yang menyerupai contoh Habermas di atas dapat
dimisalkan dengan warung-warung kopi atau warung makan yang terdapat di pinggiran
jalan, café-café, atau jika mengambil misal ruang publik yang telah cukup banyak
dikaji secara sistematis di tanah air, antara lain seperti; taman kota,
alun-alun (lapangan kota), serta yang cukup spesifik: “warung angkringan”
(Nugroho, 2011). Lebih jauh, ruang publik pun dapat mengambil bentuk yang lebih
luas dan bertujuan instrumental, seperti; stadion, sekolah, kampus, balai kota,
balai desa atau banjar desa, trotoar, bahkan “jalan” mengingat wujudnya
sebagai infrastruktur yang diperuntukkan bagi publik. Ruang publik sebagaimana
dimaksudkan dan hendak diulas lebih jauh sebagai pokok persoalan di sini adalah
lapangan kota serta jalanan kota.
Pengertian Sampah Visual
Dalam ranah pengkajian
dimensi sosial-konsumsi, “sampah visual” umum diterjemahkan sebagai kebiasaan para
pemilik modal memasarkan beragam produk konsumtifnya melalui media cetak maupun
elektronik yang justru berdampak pada kelelahan psikis berikut terdistorsinya
alam pikiran masyarakat (Nugroho, 2011). Sampah visual secara mudah dapat
ditemui di hampir setiap jalanan kota dalam bentuk spanduk, banner, ataupun pamflet yang menawarkan
beragam wacana konsumsi. Namun demikian, ditinjau dari bentuknya yang paling
awal, sampah visual tak selalu sarat berorientasi profit (ekonomi). Baudrillard
(2006: 20) menjelaskan bahwa ketika di suatu tembok relung kota ditemui tulisan
(baca: coretan) tentang nama seseorang dan asal tempat orang tersebut,
sesungguhnya orang tersebut—sang pembuat tulisan—tak memiliki sesuatu pun untuk
dikatakan; dan dikarenakan eksistensinya tanpa makna baik bagi dirinya dan
terutama bagi orang-orang yang melihatnya; maka coretan tersebut dapat didaulat
sebagai sampah visual. Di sisi lain, mengingat keberadaannya pada ruang publik,
coretan tersebut pun menemui bentuknya pula sebagai “perkosaan visual”; ihwal
yang sesungguhnya tak perlu disaksikan, namun terpaksa disaksikan karena ekspansinya
pada ruang sosial.
Sampah Visual Ruang Publik Kota Denpasar
Denpasar sebagai
salah satu kota besar dengan perkembangan pesat di tanah air sudah tentu tidak
luput dari menjamurnya sampah visual di berbagai relung kota. Kiranya, sampah
visual yang terdapat di kota Denpasar dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk; pertama, sampah visual berlegitimasi,
dan kedua, sampah visual liar. Sampah
visual berlegitimasi merupakan spanduk, banner,
ataupun alat peraga iklan yang bersifat resmi, memiliki izin dari pemerintah kota,
dan berkonsekuensi pada pajak yang sarat dibayarkan oleh pemasangnya.
Sebaliknya, sampah visual liar tidaklah berlegitimasi atau mengantongi izin
resmi dari pemerintah, keberadaannya cenderung tak beraturan dan tak tertata,
semisal melekat pada tiang listrik, marka jalan, pohon, dan berbagai tempat
lain yang tak selayaknya. Begitu pula, dikarenakan sifatnya yang liar, maka tak
ada kontraprestasi yang harus dibayarkan kepada pemerintah kota.
Harus diakui,
baik kedua bentuk sampah visual di atas sedikit-banyak memang merugikan masyarakat,
meskipun mungkin, belum begitu banyak masyarakat memahami istilah terkait—sampah
visual—serta implikasi yang dibawanya;[1]
akan tetapi, agaknya telah menjadi keharusan bagi mereka yang telah memahaminya
untuk berbagi wawasan pada khalayak yang urung mengetahui arti penting sterilnya
ruang publik dari sampah visual: bahwa masyarakat pun memiliki hak atas
panorama (baca: pemandangan) ruang sosial yang indah dan menyejukkan. Lebih
jauh, penanganan atas dua ragam sampah visual tersebut berbeda antarsatu sama
lain.
Sampah visual
berlegitimasi, mengingat keberadaannya resmi dan disahkan oleh otoritas
legal-formal, maka sekadar pihak berwenanglah yang dapat menanganinya. Dengan
kata lain, berkurang-tidaknya sampah visual jenis ini di berbagai relung kota
Denpasar sepenuhnya bergantung pada kebijakan struktural pemerintah kota,
sementara masyarakat sekedar memiliki akses yang sangat terbatas untuk memengaruhinya.
Sebaliknya, penanganan
sampah visual liar dapat dilakukan secara swadaya dan swakarsa; artinya, masyarakat
dapat berinisiatif dan bergerak secara mandiri untuk mereduksi kontaminasi sampah
visual jenis ini di berbagai relung publik kota. Seperti halnya kota-kota besar
lainnya, sampah visual liar yang bertebaran di kota Denpasar umumnya berupa
pamflet hitam-putih tawaran jasa, seperti; sedot WC, kredit kendaraan bermotor,
pinjaman uang, tawaran kavling lahan, pun tak sedikit pula pamflet-pamflet yang
menawarkan lowongan pekerjaan, dan lain sejenisnya. Serangkaian hal tersebutlah
yang kiranya mendorong kami menyusun sebentuk program pengabdian kepada
masyarakat dengan tema, Bebersih Ruang
Publik dari Sampah Visual
3. Kegiatan yang
mengangkat isu seputar sampah visual ini nantinya mencakup edukasi kepada
masyarakat ihwal pengertian dan karakter sampah visual, sosialisasi hak
masyarakat atas panorama kota, serta ajakan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi langsung dalam penanggulangan sampah visual liar.
Sebenarnya, gerakan
penanggulangan sampah visual kota bukanlah hal baru, sebelumnya gerakan semacam
ini telah digagas oleh Sumbo Tinarbuko, dosen Program Studi Desain Komunikasi
Visual, Fakultas Seni Rupa dan Sekolah Pascasarjana, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Sumbo yang juga merupakan direktur dari Sumbo Institute Indonesia ini telah mengawali
gerakan antisampah visual di medio 2012 lewat komunitas Reresik Sampah Visual
yang dibuatnya. Sejak berdirinya komunitas tersebut, Sumbo telah menginisiasi
gerakan bebersih ruang publik dari sampah visual di beberapa kota besar tanah
air (Hat/Brn, 2014). Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan
pengabdian kepada masyarakat Bebersih
Ruang Publik Kota Denpasar dari Sampah Visual ini berupaya mengadopsi ide
Sumbo Tinarbuko untuk kemudian digalakkan (diterapkan) di kota Denpasar.
Diharapkan, kegiatan ini nantinya dapat terus berkelanjutan ke depannya.
*****
R
e f e r e n s i
Buku;
Baudrillard, Jean, 2006, Ekstasi Komunikasi, Kreasi Wacana.
Habermas, Jurgen, 1989, The Structural Transformation of the Public Sphere, Polity Press.
Internet;
Hat/Brn, 2014, Dimana Tanggung Jawab Caleg dan Parpol?,
http://news.detik.com/berita/2522153/di-mana-tanggung-jawab-caleg-dan-parpol/2 (diakses pada 04.07.2019).
Nugroho, Wahyu Budi, 2011, Angkringan sebagai Ruang Publik, http://m.news.viva.co.id/news/read/261347-angkringan-sebagai-ruang-publik (diakses pada 04.07.2019).
Nugroho, Wahyu Budi, 2011, Membongkar Cara Kerja Iklan, http://ureport.news.viva.co.id/news/read/230653-membongkar-cara-kerja-iklan (diakses pada 04.07.2019).
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment