[Superhero pic by Joemand] |
Wahyu Budi Nugroho
Direktur Sanglah
Institute
Sosiolog
Universitas Udayana
“Jangan harap ada Satria Piningit yang bisa
selesaikan semua masalah”, begitu kata Sri Mulyani (12/09). Sebetulnya,
pernyataan ini sangat menarik karena mengingatkan kita akan muatan “ideologi”
dalam mitos-mitos lokal, pun berbagai cerita superhero dalam budaya pop. Kehadiran
Batman, Superman, Spiderman, Ironman, atau Gandalf dan Frodo dalam The Lord of The Rings menyiratkan bahwa
seolah pada akhirnya “semua akan baik-baik saja” karena akan selalu ada
seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk kebaikan (baca: keselamatan)
bersama; bahwa di dunia yang sudah serba apatis dan bengis ini, kebaikan akan
tetap bisa ditemui dan mengalahkan kejahatan. Lalu, apa lagi sistem yang
beroperasi dalam alam bawah sadar manusia seperti itu kalau bukan disebut
sebagai ideologi?
Ideologi, dalam
kajian cultural studies, tak sebaku
dan sekaku pengertian ideologi yang kita kenal selama ini; kapitalisme,
sosialisme, fasisme, atau yang lainnya; melainkan, segala sesuatu yang
beroperasi dalam alam bawah sadar sehingga memunculkan dua kemungkinan bagi subyek;
(1) Saya tidak tahu, tetapi tetap mempercayai dan melakukannya, serta (2) Saya
sudah tahu—jika itu khayal, angan, atau tidak benar—tetapi saya tetap
mempercayai dan melakukannya. Dengan kata lain, segala sesuatu yang melencengkan realitas, sesuatu yang tak
sebagaimana adanya (it is what it is not),
dan sesuatu yang sesungguhnya tak ada: semua itu adalah ideologi. Oleh
karenanya, sebetulnya kita bisa secara mudah menemukan ideologi di setiap benda-benda
budaya yang berserak di sekitar kita. Kita bisa menemukan ideologi pada sebotol
Coca-cola, sebungkus wafer Tango, atau sepak rokok Djarum; tetapi kita tetap
saja percaya dan membelinya.
Kembali pada
cerita-cerita superhero, baik dalam wujud pop
culture maupun folk culture
‘budaya rakyat’ seperti Satria Piningit
atau Gatotkaca. Setidaknya, terdapat
dua ideologi utama yang dibawa kisah-kisah ini sebagaimana telah disinggung
sebelumnya; Pertama, ideologi
kebaikan dan kebenaran ... bahwa bagaimanapun juga, kebaikan atau kebenaran
akan selalu memenangkan pertarungan. Kedua,
ideologi “semua akan baik-baik saja” atau “semua akan berakhir bahagia”. Tetapi,
yang lebih penting dari semua ini adalah, apa fungsi dari berbagai wacana yang
dihadirkan ideologi-ideologi itu? Tentu, secara umum wacana-wacana itu bertugas
untuk mengaburkan atau menyamarkan realitas. Jika terdapat ideologi “kebaikan
selalu mengalahkan kejahatan”, maka yang sesungguhnya terjadi justru
sebaliknya: kejahatan lah yang mengalahkan kebaikan, atau jika kita gunakan
pengandaian yang lebih moderat: kebaikan setara dengan kejahatan, keduanya
saling goda; terkadang kebaikan lah yang menang, tetapi tak jarang pula
kejahatan yang menang, atau mungkin: kejahatan lah yang lebih sering menang.
Namun, apa yang
tetap perlu digarisbawahi di sini adalah, pikiran yang meyakini bahwa kebaikan
akan selalu menang: itu adalah ideologi. Karena nyatanya, kebaikan tak selalu
menang. Di sisi lain, definisi “baik” pun masih bisa terus kita perdebatkan.
Ini, sebagaimana proyek besar William James semasa hidupnya yang berupaya
mengartikan apa itu kata “baik”, dan hingga akhir hayat, ia tak mampu
mengartikannya. “Baik” bagi kaum agamis adalah ketika hukum-hukum Tuhan
diterapkan. “Baik” bagi kaum darwinis ketika hukum alam berlaku—yang kuat yang menang. “Baik” bagi kaum
liberal adalah ketika semua hukum atau pemikiran memperoleh ruang, dan seabrek definisi “baik” lainnya. Lebih
jauh, rentannya “ideologi baik” ini dapat dibuktikan ketika ia dihadapkan pada
kasus-kasus kemanusiaan yang bersifat kalkulatif. Sebagai misal, bagaimana jika
kita diharuskan mengeliminasi (baca: membunuh) sejumlah manusia tak berdosa,
untuk menyelamatkan jiwa manusia yang lebih banyak lagi? Sementara, doktrin
agama jelas mengharamkannya: membunuh satu manusia ibarat membunuh semua
manusia.
Hal di atas bisa
kita lihat dalam film Sanctum (2011)
misalnya, bagaimana upaya menyelamatkan satu orang penyelam justru bisa
membahayakan seluruh penyelam—menambah korban jiwa. Atau, bagaimana dalam film I Robot (2004), sebuah robot berupaya menyelamatkan
umat manusia dengan cara mengeliminasi sejumlah populasi manusia ketika tak ada
cara lain lagi yang bisa ditempuh. Pun, dalam film Batman: The Dark Knight (2008) tatkala Joker menguji moralitas
masyarakat dengan memberi serangkai pilihan: (1) Meledakkan kapal berisi para
kriminal, (2) Meledakkan kapal berisi warga sipil yang baik, atau jika salah
satunya tak dilakukan (3) Ia—Joker—akan meledakkan semuanya. Anehnya, semua
film di atas memenangkan seluruh kemanusiaan; menyelamatkan populasi yang
kecil, juga keseluruhan, sementara hal itu sulit dibayangkan bakal terjadi
dalam kehidupan nyata. Dan jika kita berpikir semua itu mungkin saja terjadi,
boleh jadi kita telah terpapar “ideologi”—berpikir secara fiksional.
Kedua, “ideologi semua akan baik-baik
saja”. Wacana yang dihadirkan dari ideologi ini jelas: ketenangan masyarakat
... bahwa, dalam kondisi sekacau dan sekatastrofi apa pun, semuanya akan tetap
kembali baik-baik saja. Wacana semacam ini berupaya menjaga asa dalam
masyarakat, betapa keputusasaan dan nihilisme adalah kebodohan karena harapan dan
peluang selalu ada. Pernyataan ini, tak ada bedanya dengan premis “Semua akan
indah pada waktunya”. Persoalannya, “Pada waktunya itu, kapan?”, dan pertanyaan
yang lebih serius lagi: “Mengapa kita bisa menerima ‘kesadaran palsu’ semacam
ini?”. Itulah mengapa, dalam kritik budaya pop, tokoh-tokoh fiksi superhero
sengaja dihadirkan untuk memberi “ketenangan palsu” pada masyarakat, bahwa dalam
kondisi sekacau apa pun sosok seperti Batman, Superman, Ironman, atau dewa dari
langit seperti Thor, pada akhirnya bakal hadir untuk menyelamatkan kita: padahal
semua itu tak pernah ada.
Tak pernah ada satu manusia pun yang
bisa menyelamatkan seluruh manusia, tetapi yang sangat mungkin dan lebih
konkret: setiap manusia bisa membantu atau menyelamatkan manusia lainnya. Lalu,
bagaimana dengan salvation doctrine
atau “doktrin keselamatan di hari akhir”. Umat Islam percaya jika kelak
al-Masih dan al-Mahdi akan hadir untuk meluruskan akidah. Umat Kristen meyakini
jika kelak Yesus akan turun lagi ke dunia melakukan penghakiman. Umat Yahudi
mengimani jika nanti King David akan hadir dan memerintah seluruh dunia lewat
kerajaannya di Bukit Kembar Sion. Pun,
umat Hindu yang percaya jika kelak Kalki Awatara akan turun untuk menyelamatkan
dunia. Adakalanya, doktrin-doktrin semacam ini justru kian menambah muara
konflik antarumat beragama, bahwa nyatanya, bukan hanya sejarah yang menjadi
sumber konflik saat ini, tetapi juga masa depan. Pada akhirnya, apa yang
bisa kita lakukan hanyalah berbuat tanpa berharap.
****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment