[pic: simplypsychology.org] |
Wahyu Budi Nugroho
Belajar memanipulasi libido sejak SMP
Dalam perspektif
freudian, libido sebagai insting hidup manusia memainkan peran yang tak
main-main. Libido bisa mengooptasi dan mendominasi alam bawah sadar manusia. Memang,
Freud sendiri menggambarkan kepribadian manusia ibarat gunung es, di mana yang
tak tampak—yang terendam lautan es—jauh lebih besar dan lebih memengaruhi yang tampak.
Alam bawah sadar “yang tak tampak” diistilahkan Freud sebagai Id atau Das Es, sementara “yang tampak” adalah ego dan superego—meskipun
memang sebagian superego juga tak tampak. Ego bertugas mengeksekusi keinginan-keinginan
Id, dan superego bertugas membatasi tindakan ego, dengan kata lain, superego
berperan menghalau Id betapa tidak semua keinginannya bisa dieksekusi atau
diwujudkan. Superego inilah yang menjadi “polisi moral” untuk mementung Id jika kelewat batas, ia
adalah kristalisasi nilai, norma, dan budaya sosial yang diinternalisasi manusia
dari masyarakatnya.
Kita bisa memisalkan
hal di atas secara mudah lewat seseorang yang lapar dan hendak makan. Rasa
lapar yang tiba-tiba muncul tanpa sadar itu ditimbulkan oleh Id. Ketika
seseorang pergi berjalan menghampiri meja makan dan hendak makan, itu adalah
ego. Dan ketika ia menimbang apakah seharusnya ia langsung makan atau tidak
dikarenakan makanan itu bukan miliknya; maka itu adalah superego. Dalam hal
ini, kuat atau lemahnya superego tergantung sejauh mana individu
menginternalisasi nilai, norma, dan budaya sosial. Jika ia memilih untuk tidak
memakannya, maka superego berhasil menjalankan tugasnya sebagai polisi moral.
Lalu, jika tidak
semua kehendak Id bisa diwujudkan, kemanakah ia akan disalurkan? “Mimpi”, jawab
Freud. Mimpi terutama, menjadi saluran fantasi-fantasi terliar manusia. Lewat
mimpi, seseorang bisa melakukan apa saja; bercinta dengan pujaan hati yang
selama ini hanya bisa ditontonnya di layar kaca, menghancurkan gedung parlemen,
membunuh orang-orang yang tak disukai, menjadi pahlawan, dan lain sebagainya. Namun,
tidak semua kehendak Id pula bisa disalurkan lewat mimpi, sebagian tersalurkan
lewat pembicaraan pada diri sendiri tanpa sadar, selip bicara pada orang lain,
dan berbagai hal lain yang diistilahkan Freud sebagai “psikopatologi kehidupan
sehari-hari”. Tak hanya itu saja, agresi libido juga bisa disalurkan lewat
olahraga. Itulah mengapa, perhelatan seperti olimpiade internasional, atau dalam ranah yang lebih kecil lagi
seperti ASIAN Games atau ASEAN Games sebetulnya menjadi sarana menyalurkan
hasrat perang antarbangsa untuk menaklukkan satu sama lain—menjinakkan hasrat
perang.
Namun demikian,
dalam perspektif freudian, saluran utama (baca: terampuh) untuk libido tetaplah
seksualitas. Ini mengingat, seksualitas sebagaimana karakter yang dibawa libido
itu sendiri, yakni sebagai “insting hidup”, sementara seksualitas—atau hubungan
seks—adalah sarana untuk melanggengkan kehidupan: “reproduksi”. Itulah mengapa,
perspektif freudian sangat mawas melihat benda-benda atau aktivitas budaya
dalam korelasinya dengan seksualitas; kuil-kuil terprimitif manusia memuat artefak-artefak
seksual, mencangkul adalah aktivitas seksual, minuman dan gelas cocktail melambangkan seksualitas, pun
tak ketinggalan aktivitas merokok. Sialnya, ketika libido terus direpresi, ia
justru akan menimbulkan beragam neurosis.
Akhirnya, ia tanpa sadar, bisa memicu katarsis—penghempasan
kekalutan pada yang lain—semisal menjadi diri yang agresif, mudah marah, labil,
kompulsif, dan lain sebagainya. Jalan tercepat untuk menyalurkan semua itu
adalah masturbasi. Namun aktivitas ini hanya akan kian mengusik dan menggoda
mereka untuk mencoba melakukan
hubungan seksual jika belum pernah melakukannya. Dengan begitu, libido pun
justru kian terrepresi karena lambat-laun masturbasi akan menjadi “aktivitas tangan yang biasa-biasa saja”.
Terkait hal di
atas, tawuran pelajar bisa jadi merupakan salah satu misal tak tersalurkannya
libido anak muda yang meletup-letup di tempat yang semestinya. Persoalannya,
sebagai bagian dari masyarakat Timur yang sangat mentabukan seks, mereka tak
mungkin menyalurkan libido melaluinya begitu saja. Libido harus disalurkan di
tempat lain; hobi, olahraga, seni, atau yang lainnya. Pertanyaannya, sudahkah
sekolah memiliki fasilitas yang layak dan memadai untuk mengakomodasi semua
itu? Boleh jadi kebanyakan belum. Tak dapat dipungkiri, leluhur kita telah
berhasil menjinakkan libido dengan beragam aturan adatnya, itulah mengapa
mereka mampu membangun peradaban yang luar biasa. Ini sebagaimana diutarakan
Freud bahwa hanya tersisa dua pilihan; (1) Menekan libido sehingga peradaban
bisa terbangun, atau (2) Membebaskan/meliarkan libido namun peradaban tak terbangun.
Sementara, era
sekarang telah begitu jauh berbeda ketimbang era leluhur terdahulu. Globalisasi
menyebabkan pornografi, erotisme, dan kecabulan menjadi konsumsi lumrah
masyarakat dunia sehari-hari, tak terkecuali di Indonesia. Dengan demikian, generasi tanah
air sekarang dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit. Di satu sisi ia harus
terus menekan libidonya, sementara kultur kosmopolit terus memprovokasi untuk
membebaskan libidonya; dan di sisi lain ia harus terus menjaga (membangun)
peradaban. Bisa jadi, masyarakat Barat menjadi contoh apik bagaimana kini
pembebasan libido bisa berjalan beriringan dengan pembangunan peradaban. Ini
tampak lewat nilai-nilai liberal dalam masyarakat mereka, akan tetapi, kita
juga tak mungkin menjadi masyarakat liberal. Setidaknya, tidak dalam waktu
dekat ini.
Sebetulnya, negara
bisa saja memfasilitasi pembebasan libido warganya seperti masyarakat Barat,
sembari tetap membangun peradaban. Pun dengan cara yang sah, legal, atau sesuai
“adat ketimuran”. Hanya saja lagi-lagi, siapkah pemerintah memfasilitasinya? Semisal,
memfasilitasi mereka yang sudah dewasa secara agamis menikah meskipun masih
duduk di bangku sekolah atau kuliah, di samping juga menanggung kebutuhan hidup
keluarga baru itu jika mereka belum bisa bekerja—karena masih menuntut ilmu. Ini
bisa juga berlaku bagi mereka yang sudah bekerja namun tak memiliki kapasitas
finansial yang mumpuni untuk menikah berikut membangun kehidupan keluarga. Bisakah
negara menanggung semua itu? Kita semua tahu jawabnya: tentu saja tidak. Terlebih,
ini belum lagi dihadapkan pada persoalan bonus demografi. Maka lagi-lagi, libido menemui jalan buntu di sini. Eh, tapi, jangan-jangan boneka seks bisa jadi
solusinya?
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment