[Arya Dimas, Puji Retno Hardiningtyas, I.G.A.A Mas Triadnyani, Nanoq da Kansas, Angga Wijaya, dan Wahyu Budi Nugroho] |
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Direktur Sanglah Institute
Tulisan ini mengulas puisi Angga Wijaya
yang berjudul Taman Bermain, yang sekaligus menjadi judul buku antologi puisi
terbarunya terbitan Purata Publishing (Juli, 2019)—disampaikan di Balai Bahasa
Bali (30/08/19).
Membaca bait
pertama puisi Taman Bermain mengingatkan
saya pada pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre yang mendaulat hasrat
atau keinginan manusia sebagai celah atau kekosongan pada diri manusia, pun sekaligus
menjelaskan kekurangan manusia di samping kelebihan berupa “kesadaran” yang
dimilikinya. “Menjadi manusia adalah
kehendak menjadi Tuhan”, tukas Sartre. Ini dikarenakan, di samping
kesadaran yang dimilikinya, manusia sesungguhnya juga menghendaki kesolidan
pada dirinya, tanpa celah dan kekurangan: serba penuh. Namun, yang demikian itu
hanyalah menjadi sifat Tuhan, sehingga segala usaha manusia untuk mencapainya
hanya akan berakhir pada kesia-siaan.
(1) Anak-anak lahir dari rahim ibu / Penuhi
dunia yang kian sempit / Obsesi dan keinginan belum usai / Itu sebab kelahiran
kembali
Angga Wijaya,
dalam bait pertama puisinya, juga menyiratkan kesia-siaan usaha di atas melalui
kelahiran manusia yang berulang-ulang (baca: reinkarnasi) dikarenakan hasrat
yang tak kunjung usai atau terpenuhi. Hanya saja, Angga menggunakan bahasa yang
berbeda untuk mengungkapnya, yakni sebuah satir-reflektif yang mengaburkan “kelahiran”
sebagai kebahagiaan ataukah kesusahan. Di satu sisi, ini juga mengingatkan saya
pada legenda Sisifus yang dihukum para dewa untuk mendorong sebongkah batu
besar ke puncak bukit, lalu ketika batu itu sudah berada di puncak, dewa kembali
menggelindingkan batu itu, dan Sisifus diharuskan mendorongnya lagi ke puncak
bukit; demikian seterusnya, secara berulang-ulang: gambaran sebuah pekerjaan
yang sia-sia dan absurd.
Kesia-siaan
sekaligus absurditas masih tersirat dalam bait puisi Angga berikutnya, yakni
bagaimana kelahiran manusia yang berulang, kembali jatuh dalam pelukan
“masyarakat yang sakit”—meminjam istilah Erich Fromm. Namun sebelum mengulas
soal ini lebih jauh, kita perlu menyoal kelahiran kembali manusia yang
dimaksudkan Angga, yakni bukannya sebagai “seseorang” atau satu manusia,
melainkan setiap manusia yang merepresentasi manusia kebanyakan. Ini dapat
ditilik lewat konstruksi kalimat “Anak-anak
lahir dari rahim ibu”. Dengan demikian, tidak hanya seseorang atau satu
manusia yang terjebak dalam kondisi masyarakat yang sakit, sementara mereka
“mengada” di tengah-tengahnya; melainkan setiap atau banyak manusia. Atau, ini
bisa juga diterjemahkan sebagai masyarakat sakit yang justru terus
melanggengkan dirinya—menciptakan manusia-manusia sakit lainnya.
(2) Ruang bermain kini hilang / Anak-anak
dibesarkan televisi / Juga gawai membelai mesra / Dewasa sebelum waktunya/
Beterbangan, jadi kupu-kupu / Keluar dari layar ponsel pintar / Menjelma bunga
semerbak / Kumbang datang siap isap madu
Lebih jauh, apa
yang dilakukan Angga dengan menyinggung televisi dan gawai sebagai biang
kesakitan, menyebabkan nuansa puisinya bergeser ke ranah sosiologis. Dalam
satu-dua dekade terakhir ini, televisi dan gawai memang bertanggung jawab atas
munculnya fenomena “autisitas sosial”. Kedua teknologi itu menciptakan
kehidupan artifisial (buatan) yang menjebak manusia pada simulasi-simulasi yang
dibuatnya. Pada akhirnya, manusia hidup dalam dunia fantasi, hiperrealitas
(melampaui kenyataan), dan menyebabkan semakin berkurangnya intensitas
interaksi antar sesama. Co-Presence
atau “kehadiran bersama” menjadi kian berkurang maknanya karena telah
diperantai teks-teks media sosial, hubungan tatap muka mulai kehilangan auranya
karena tergantikan oleh panggilan visual jarak jauh (baca: video call). Secara implisit, tiga kalimat awal di bait kedua puisi
ini juga menyiratkan kemarahan Angga dikarenakan televisi dan gawai turut
bertanggung jawab membuat semakin ditinggalkannya dunia literasi—boleh jadi
juga, terkaan subyektif Angga ihwal kian berkurangnya publik bacanya.
Pada lirik
berikutnya, puisi Angga menyinggung soal moralitas dan kesusilaan. Kebebasan
dalam dunia digital di mana nilai, norma, dan budaya di dalamnya begitu cair,
kosmopolit, dan serba permisif; nyatanya semua itu turut mengekspansi dunia
luar (dunia nyata) sehingga batasan antara yang boleh dan tidak, serta antara
yang patut dan tidak patut; ikut kabur layaknya kesan-kesan sementara yang
diciptakan dunia digital. Lirik “Dewasa
sebelum waktunya”, tidak hanya menyurat dimensi biologis, tetapi juga
merepresentasi ketidaksiapan masyarakat kita akan teknologi dunia maya. Tegas
dan jelasnya, bait kedua puisi ini, secara keseluruhan, memberi kesan akan sisi
gelap teknologi. Saya melihat, dalam bait ini, Angga memposisikan dirinya
sebagai kaum neo-Luddite yang bersikap curiga, was-was, bahkan “anti” terhadap
teknologi. Prinsip all or nothing
‘semua atau tidak sama sekali’ juga cukup ter-eja dalam bait ini, di mana Angga
cenderung memilih “tidak sama sekali” karena secara keras menegasikan norma
dunia maya dengan dunia sosial nyata.
Bait berikutnya,
tema hedonisme begitu terasa, dan masih melanjutkan bait sebelumnya. Ini tampak
lewat mall yang menjadi salah satu
alat (tempat) konsumsi dan “ritual” manusia modern yang disinggung Angga.
“Hotel” dalam lirik bait ini, menunjuk pada “monetisasi kehidupan sosial” di
mana segalanya seakan bisa diukur lewat uang, termasuk harga diri dan martabat
manusia. Di sini, Angga seolah mendiktumkan kembali kata-kata terkenal
Sopochles dengan cara lain: “Uang adalah
hasil kebudayaan manusia yang paling buruk!”. Namun dalam bait ini—bait
ketiga—implikasi tindakan manusia yang “melampaui batas” juga disertakan
sehingga puisi Angga kemudian lebih tampak sebagai analisis sosial dengan gaya
aforis.
(3) Tubuh berpeluh gemuruh / Masa muda yang
gembira / Petualang lupa jalan pulang / Tersesat di labirin mall dan hotel demi
uang dan ambisi / Tangisi hari tinggalkan kenangan dan mimpi buruk
Bait keempat
sekaligus terakhir puisi Taman Bermain
Angga mengristalkan semuanya ke dalam absurditas. Lirik “Bermainlah hingga
bosan” bukan semata-mata kode permisif, melainkan sindiran sarkas yang seakan,
menempatkan penyairnya sendiri, Angga, telah mengetahui apa yang bakal terjadi
akibat “bermain hingga bosan”. Dan memang, dalam bait ini, Angga seperti memposisikan
dirinya sebagai “orangtua” yang telah mengetahui segala sesuatu ketimbang orang
lain (baca: anak-anak). Meskipun demikian, motivasi sosok Angga sebagai “kesatria
iman” masih begitu kabur. Apakah kediriannya itu didasarkan nilai-nilai
transendental-spiritual, moralitas sosial, atau kemarahan personalnya sendiri
yang berupaya ia larutkan dalam “suara banyak orang”.
Lebih jauh, saya
justru menemukan simpulan tak terduga dalam puisi Taman Bermain, bahwa esensi atau “gong” dari puisi ini justru
terletak di bait pertama, bukan pada bait terakhir sebagaimana umum ditemui
pada puisi-puisi lainnya. Muara atau sumber dari segala pernik dalam narasi Taman Bermain terdapat dalam bait ini. Ia
menyuarakan tragedi terbesar kemanusiaan, yaitu the lost paradise atau “surga yang hilang”. Surga yang hilang dalam
perspektif psikoanalisa Sigmund Freud, adalah rahim ibu itu sendiri.
Seringkali, manusia tak menyadari jika segala hal yang diperbuatnya di
keseharian, upaya-upayanya mencapai kesuksesan, berikut keamanan, kenyamanan
dan kemapanan hidup, sesungguhnya adalah upaya untuk “kembali pada rahim ibu”.
Mengapa demikian? Karena keamanan dan kenyamanan terparipurna manusia, nyatanya
diperoleh ketika dirinya masih berada di rahim. Ia—janin—tak menuai tuntutan
apa pun, tak memiliki beban apa pun, segala kebutuhan dan keinginannya telah
tercukupi dalam rahim ibunya, dan inilah surga yang sesungguhnya; namun manusia
sering lupa, atau memang: tak pernah sadar.
*****
Bacaan lanjutan;
Baudrillard,
Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Camus,
Albert. 1955. The Myth of Sisyphus and
Other Essays. New York: Vintage Books.
Nugroho,
Wahyu Budi. 2013. Orang Lain adalah
Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sartre,
Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness.
New York: NY Philosophical Library.
Wijaya,
Angga. 2019. Taman Bermain: Sehimpun
Puisi. Subang: Purata Publishing.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment