Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Pegiat Sanglah
Institute
Mendengarkan Musik sebagai “Cara Mengada”
di Dunia
Dalam ranah cultural studies, “mendengarkan musik”
bukanlah aktivitas sepele. Mendengarkan musik adalah way of being atau “cara mengada” di dunia ini, yakni tentang
bagaimana seseorang menilai dan dinilai orang lain lewat selera musiknya. Ini,
secara tak langsung, mengindikasikan adanya dikotomi antara low culture ‘budaya rendah’ dengan high culture ‘budaya tinggi’ dalam
musik, dan memang, keduanya terbentuk secara spontan berdasarkan habitus serta
basis ekonomi kelas-kelas sosial yang ada. Sebagai misal, musik dangdut (yang
dulu) kerap menuai tuduhan sebagai low
culture, dikarenakan musik ini cenderung menjadi suara masyarakat ekonomi
kelas bawah, memuat candaan-candaan serta mengangkat berbagai persoalan sepele
keseharian hidup mereka; pada akhirnya terstigma sebagai musik kelas sosial
bawah.
Sebaliknya,
musik klasik yang “serius” seperti Beethoven dan Mozart misalkan, karena
didengarkan oleh masyarakat kelas atas dan seakan merepresentasi posisi sosial
mereka yang serius dan penting, berikut didengarkan saat mereka menyelesaikan urusan
keseharian yang bersifat terbatas dan tak semua orang bisa mengatasinya, atau urusan-urusan
yang memerlukan otak jebolan pendidikan
tinggi, yang tentunya memakan biaya tak sedikit; menjadikan musik klasik sebagai
musik yang eksklusif, dengan pendengar yang terbatas hanya bagi mereka yang
memahami “tanda-tanda samar” yang terdapat dalam alunan musik itu. Kemampuan untuk
menemukan dan menikmati tanda-tanda yang samar itulah yang seakan juga menjadi
“bahasa intelektualitas” di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa
melakukannya atau menikmatinya.
Habituasi di
atas kian terkukuhkan manakala bersinggungan dengan industri musik. Dan memang,
industri musik kemudian menjelma menjadi institusi yang paling bertanggung
jawab mengontrol selera konsumen. Industri musik pop misalkan, dengan segala
sumberdaya yang dimilikinya; finansial, jaringan media, kurasi budaya, dan lain
sebagainya; mampu menghasilkan produk-produk musik pop yang cukup ketika seseorang
ikut mendengarkannya, ia akan merasa keren. Secara estetika murni,
batasan-batasan dan konstruksi sosial sesungguhnya tak berpengaruh apa pun
terhadap kualitas musik dan “kejujuran” pendengarnya, hanya saja, si pendengar
terpaksa atau dipaksa untuk “berbohong” akibat tekanan hagemoni industri pop.
Sebagai misal, tak
sedikit dari kita yang sebetulnya bisa menikmati musik-musik dangdut,
campursari, atau Kangen Band, namun persoalannya adalah, bagaimana agar orang
lain tak mengetahui jika kita mendengarkan musik-musik itu. Di sini,
mendengarkan musik sebagai cara mengada di dunia tentang bagaimana seseorang
dinilai orang lain menjadi tampak. Sementara, secara filsafati, musik adalah
salah satu wujud “kebenaran” karena ia tak pernah “bertambah”. Semisal, saat
ini juga kita masih bisa menemui orang-orang yang menggemari musik belasan
bahkan puluhan tahun lalu. Kehadiran musik-musik baru tak lantas membuat
musik-musik sebelumnya menjadi tak relevan atau “salah”. Ia tetap sama sejak
dulu hingga sekarang, dan inilah kebenaran. Dengan demikian, industri musiklah
yang menciptakan makna-makna selektif dalam musik itu sendiri, ia menentukan
seolah mendengarkan suatu musik adalah baik dan benar, sedangkan buruk dan
salah untuk mendengar yang lainnya.
Budaya Rendah yang Menjadi Budaya Tinggi
Suatu hari di
kelas Cultural Studies, saya bertanya
pada para mahasiswa, “Sejak kapan musik
dangdut mulai diterima dan ikut dinikmati masyarakat kelas sosial menengah, serta
atas?”. Apa yang saya maksudkan adalah, sejak kapan masyarakat kelas
menengah dan atas tak lagi menganggap mendengar musik dangdut sebagai
persoalan; aib, sesuatu yang tabu, atau “memalukan”. Saya sendiri
mengindetifikasi, ini bermula ketika musisi Ahmad Dhani menggunakan aransemen
musik dangdut dalam lagu Bebaskan
atau Sensasi Plong untuk iklan
minuman soda Sprite—sekira tahun 2008/2009(?).
Reputasi Ahmad Dhani, yang jelas tak diragukan lagi merepresentasi kualitas musikalitas
tanah air, sekaligus karya-karyanya menjadi patokan atau acuan musisi lain,
mengejutkan kita ketika menjadikan aransemen musik dangdut dalam lagu yang
diciptakannya!
Kita kaget, tetapi
kekagetan itu bukan dikarenakan pengalaman baru dalam mendengarkan musik yang
disuguhkan Dhani, melainkan lebih pada sosoknya yang menggunakan genre dangdut untuk
lagu Sensasi Plong. Ada semacam
perasaan “dikhianati” untuk ini, yaitu bagaimana kita sebelumnya kerap
mempertentangkan musik-musik Dewa (19) yang superior dengan musik-musik lain,
termasuk dangdut, yang dinilai “lebih rendah”. Nyatanya, Mpu-nya musik pop tanah air sendiri, Dhani, menggunakan aransemen itu—dangdut.
Mungkin, yang dialami bukanlah perasaan kecewa, tetapi lebih pada kecele, merasa ditinggalkan oleh “nabi”,
atau idola yang tiba-tiba mendukung pihak yang sebelumnya kita tempatkan
sebagai musuh. Pihak yang seharusnya terus dipermalukan, tetapi kini justru
dibanggakan, dan sekarang idola kita malah
menggunakan “cara-caranya” (baca: budayanya).
Tetapi sebelum
lagu Sensasi Plong, Dhani sudah
terlebih dahulu bereksperimen dengan lagu Sedang
Ingin Bercinta dalam album Republik Cinta
(2006). Namun, tak seperti Sensasi Plong
yang dominan bernuansa dangdut, dalam Sedang
Ingin Bercinta, aransemen dangdut sekadar terdapat di bridge lagu, yang diperkuat lagi dengan suara penyanyi dangdut
wanita: “Di setiap ada kamu mengapa
jantungku berdetak, berdetak dengan lebih kencang seperti genderang mau perang...”.
Dalam lagu ini, Dhani tampak tak serius dan sekadar bermain-main dengan dangdut
karena nuansa musiknya yang lebih terasa tetaplah rock. Tetapi, videoklip lagu ini sangat menjanjikan,
memuat artis, seleb, dan figur-figur publik tanah air yang ikut menikmati
alunan bridge dangdut. Lebih jauh,
begitu Sensasi Plong dirilis dan
akrab di telinga penikmat musik pop tanah air, barulah kita sadar jika Dhani
betul-betul “serius” dengan genre musik ini. Setelahnya, dan mungkin secara
kebetulan, Dhani menjadi pelopor musik beraliran Rock’n’Dut (Rock and Dangdut). Tak hanya sampai di
situ, Rock’n’Dut juga mulai dikompetisikan, disponsori oleh perusahaan minuman
soda kemasan yang sama yang menggunakan lagu Dhani. Pun tak lama setelahnya,
album kompilasi bergenre Rock’n’Dut juga dirilis, D’Plong: Sensasi Rock’n’Dut (2009).
Lalu, bagaimana
dengan Project Pop yang telah lebih awal merilis lagu Dangdut is The Music of My Country pada tahun 2003? Dikarenakan
grup ini lebih dikenal sebagai grup musik komedi, maka wacana dangdut yang
mereka angkat lebih menemui wujudnya sebagai komedi pula, humor, tidak serius,
main-main; dan itu sesuai dengan core
musik mereka. Terlebih setelahnya, tidak ditemui musisi-musisi dari “budaya
tinggi” yang bereksplorasi dengan dangdut akibat pengaruh lagu Project Pop itu.
Apabila dikatakan itu adalah Ahmad Dhani, maka rentang waktunya terlalu jauh,
karena Dhani menciptakan Sensasi Plong
di tahun 2008/2009(?).
Didi Kempot, Campursari, dan Tragedi Budaya
yang Berulang?
Saya pribadi,
mulai menyukai lagu-lagu Didi Kempot setelah mendengarkan versi cover lagu-lagunya yang dibuat Bossanova Jawa, sekira
dua-tiga tahun lalu. Lagu-lagu Didi Kempot yang bergenre campursari, dibuat jazz
oleh kelompok musik ini. Jujur saya akui, lagu-lagu Kempot terdengar lebih berkelas, dan harus saya akui pula, bisa
jadi sebelumnya, saya turut terjebak pada pendikotomian budaya rendah dengan tinggi,
baik secara sadar ataupun tidak. Jelasnya, setelah dibuat versi jazz, lagu-lagu
Kempot yang masih dinyanyikan dengan bahasa Jawa lebih bisa diterima telinga
saya.
Tetapi, itu tak
lantas membuat saya langsung menyukai versi asli lagu-lagu Kempot yang bergenre
campursari. Mengapa demikian? Ya, karena saya merasa tak memiliki kepentingan
apa pun pada musik bernuansa campursari. Ia “tak masuk” di estetika atau
kebutuhan saya. Musik, yang biasa saya gunakan sebagai latar bebunyian saat
mengetik, tak bisa dipenuhi oleh aliran ini—campursari. Campursari bagi saya
saat itu, terkesan “terlalu bercanda”, terlalu sepele, dan malah saya rasakan
sedang mengolok-olok atau mengejek
saya ketika mendengarkannya. Itulah mengapa, musik campursari justru membuat
saya “emosi” dan membuyarkan konsentrasi, apalagi jika sedang mengetik.
Segala alunan musik
campursari yang saya rasakan kala itu, tak bisa mewakili suara saya, tak
merepresentasikan kehidupan saya, atau apa pun yang sedang saya hadapi di
keseharian. Ia terlalu ceria, tak berempati, meskipun lirik-liriknya sedih,
tapi itu dibawakan dengan perayaan dan kegembiraan. Bagi saya itu aneh dan tak
masuk akal. Itulah mengapa, versi jazz yang melankolis dari lagu-lagu Kempot yang
dibawakan Bossanova Jawa lebih bisa masuk di pendengaran saya. Dari sini pula
saya sadar, bahwa masalah saya terhadap campursari sebetulnya bukan dikarenakan
lirik-liriknya, tetapi alunan musiknya; instrumen kendang terutama, yang memberi
efek keceriaan berlebih. Namun semua itu berbeda sekarang, sekira sejak setahun
lalu, saya mulai bisa mendengarkan versi asli lagu-lagu Kempot yang bergenre
campursari, juga lagu-lagu lainnya, bahkan sekarang juga saya sedang mengetik
sambil mendengarkan itu. Jangan tanya kenapa, saya sendiri sulit menjelaskan.
Dari sekelumit
pengalaman pribadi di atas, tampak jika budaya rendah menjadi bisa diterima—bagi
diri saya pribadi—ketika ia dikemas atau “ditarik” oleh budaya tinggi, dalam
hal ini campursari yang terjazzkan. Sialnya, hal ini juga terjadi di ranah
makro, yakni panggung kebudayaan nasional. Campursari mengulang tragedi yang
sama seperti dangdut, yakni ia baru diakui dan bisa dinikmati masyarakat kelas
menengah serta atas setelah ditarik oleh budaya tinggi yang memang sekaligus menjadi
budaya mainstream (arus utama). Mengapa
demikian? Karena menanjak drastisnya popularitas Didi Kempot akhir-akhir ini dipicu
oleh YouTuber Gofar Hilman lewat
kanal YouTube-nya.
Saat ini, YouTube
dan beberapa media sosial lainnya, diakui atau tidak, adalah corong kebudayaan
terdepan dan terkini, terlebih apa yang sedang menjadi trending topic di media-media itu, terutama Youtube dan Twitter. Sosok
Gofar Hilman sendiri sangat merepresentasi anak muda kekinian; gaul, melek
teknologi, pegiat media sosial, eksis, dan yang lebih bagus lagi: memahami
logika “ekonomi informasi”. Khusus yang terakhir ini, banyak sekali anak muda
tanah air yang sekarang bercita-cita menjadi YouTuber content creator dan memperoleh pemasukan dari situ, maka kita
tak perlu lagi terkejut ketika anak SD berkata pada Presiden Jokowi jika ia bercita-cita
menjadi YouTuber.
Gofar Hilman,
dengan kanal YouTube miliknya, yang telah mempunyai lima ratus ribu lebih subscriber, dengan “frasa tepat” Godfather of Broken Heart ‘Bapak Besar
Patah Hati’ yang disematkan Hilman pada Didi Kempot, tak mengherankan jika itu
bisa melesatkan nama Kempot dalam sekejap. Meskipun harus diakui, Didi Kempot
memang sudah cukup terkenal sebagai penyanyi campursari sebelumnya, dan boleh
jadi ia adalah penyanyi campursari yang paling terkenal, karena setiap kali kita
menyinggung campursari, sosok Kempot lah yang muncul. Lebih jauh, frasa
“Godfather” jugalah yang membuat kepopuleran Kempot kali ini menjadi berbeda dan
lebih garang.
Istilah Godfather—yang berarti “ayah baptis”
atau “bapak besar”—tidak ditemui dalam kebudayaan campursari itu sendiri. Ia
mulai populer dan menjadi budaya pop setelah Mario Puzo menulis The Godfather yang kemudian difilmkan,
dan masuk dalam daftar sepuluh film terbaik sepanjang masa. Istilah Godfather kini juga mengacu pada gaya
potongan rambut anak muda yang merepresentasi “potongan-potongan (rambut) ala
mafia”, sebagaimana mengacu pada pengertian Godfather
dalam budaya pop awalnya, yakni novel atau film yang mengangkat kisah keluarga
mafia—Don Corleone dan anak-anaknya. Dari sini dapat ditilik, popularitas
Kempot yang sekarang setidaknya ditunjang oleh dua unsur budaya tinggi; Pertama, kanal budaya yang terdapat di
media sosial, terutama YouTube dan Twitter. Kedua,
budaya tinggi berupa frasa Godfather
yang mengacu pada arena budaya tinggi lain yang lebih luas, elegan, dan
“disegani”—dalam dunia sastra dan perfilman.
Selain itu, yang
tak boleh dilupakan adalah, istilah Godfather
sendiri menggunakan ejaan bahasa Inggris, ejaan atau bahasa yang sangat akrab
bagi masyarakat kelas menengah serta atas tanah air, pun masih menjadi ejaan yang
dianggap keren oleh sebagian besar
masyarakat kita—lihat Cinta Laura, Agnes Monica, dan lain-lain. Bahasa Inggris
sebagai bahasa global, membuat penggunanya “serasa menjadi” manusia global,
menjadi bagian dari warga dunia (masyarakat internasional), terdidik, engaged ‘terhubung dengan dunia
pergaulan yang lebih luas’, serta mencitrakan diri sebagai sosok penuh potensi
dan berbagai kemungkinan diri yang tak terduga, yakni terkait “akses” yang
timbul dari penguasaan bahasa (Inggris). Memang, pola pikir yang demikian patut
disayangkan karena sangatlah kolonialis, atau mencirikan masyarakat yang masih
terjajah, namun kenyataannya, fenomena ini masih menjangkiti sebagian besar masyarakat
kita.
Tetapi, yang lebih
patut disayangkan lagi, campursari mengulang tragedi kebudayaan yang sama layaknya
dangdut, ia tak mampu muncul ke permukaan dan memiliki panggungnya sendiri
tanpa bantuan budaya tinggi. Pertanyaannya, mungkinkah budaya inferior mengusahakan
semua itu sendiri? Jika mungkin, bagaimanakah caranya?
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment