Sukma Pramestisari
“There
is no ‘we’ without a ‘they’. It is how the adversary is defined that will determine
the identity of the people. In this relationship lies one of the main differences
between right-wing and left-wing populism.”
Chantal
Mouffe
Gerakan
sosial dewasa ini menjadi isu hangat dalam perbincangan publik. Melalui semangat
emansipatoris, gerakan sosial sebagai ekses lumrah sistem demokrasi, berupaya
menghadirkan kritik atas berbagai kebijakan yang dianggap timpang bagi
kepentingan publik (Rusmanto, 2013) . Tujuan akhir setiap
gerakan sosial adalah keadilan bagi khalayak umum melalui perbaikan berbagai kebijakan
maupun sistem sesuai dengan isu yang diusung. Jika dikontekstualisasikan,
gerakan sosial di Indonesia memiliki tendensi kuat dengan program pembangunan, terutama
akibat masifnya pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir ini.
Sebagai
misal, penolakan masyarakat atas pembangunan bandara di Kulonprogo, penolakan
pembangunan pabrik semen di Rembang, serta penolakan reklamasi Teluk Jakarta
dan reklamasi Teluk Benoa. Secara garis besar, seluruh gerakan sosial tersebut
bertolak dari isu agraria atau permasalahan pengelolaan sumberdaya alam. Menjadi
menarik ketika sebagian besar perjuangan itu justru bermuara pada kegagalan
atau kemandegan sehingga keadilan yang didambakan urung tercipta. Eksistensi oligarki dianggap telah mencemari
idealisme pembangunan nasional yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini tentu memperkuat krisis kepercayaan terhadap pemerintah lokal maupun
pusat akibat mereka—oligarki kekuasaaan—dinilai cenderung membela kepentingan
investor di atas kepentingan rakyat (Hadirman, 2017) . Implikasinya,
terciptalah stigma di tengah masyarakat akan betapa kejamnya pembangunan
infrastruktur.
Salah
satu organisasi yang menginisiasi hadirnya gerakan sosial di tanah air adalah ForBALI.
ForBALI telah menyuarakan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa sejak tahun
2012. Penolakan tersebut didasarkan pada analisis ketidaklayakkan aspek teknis,
sosial-budaya, lingkungan, dan ekonomi. Bentuk gerakan sosial yang dilakukan
ForBALI adalah melalui mediasi maupun aksi langsung turun ke jalan secara
berkala. Aksi pada akhir Juni lalu misalnya, merupakan aksi keempat di tahun
2019 yang terus menyuarakan pembatalan Perpres No. 51 Tahun 2014 terkait ijin
reklamasi oleh pemerintah kepada PT. TWBI (ForBALI.org). Dalam tulisan ini
penulis tidak akan meromantisasi ForBALI sebagai suatu gerakan sosial dengan
memaparkan visi dan misi ataupun analisis atas bagaimana peran vital oligarki
sebagai penanggungjawab. Elaborasi oligarki sebagai subjek reflektif sistem neoliberal
dalam kehidupan masyarakat modern dengan determinasi ekonomi juga telah menjadi
bahasan umum. Fokus analisis bahasan ini muncul dikarenakan paradoks tanpa
henti terkait mengapa gerakan sosial yang sedemikian masif, terorganisir, dan mendapat
dukungan publik yang luar biasa, serta berumur panjang, hingga hari ini belum
juga membuahkan hasil yang diinginkan.
Perspektif
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe mengenai chain of equivalences atau “rantai
persamaan” dalam gerakan sosial-baru akan penulis hadirkan sebagai pisau
analisis untuk memberikan telaah kritis baru dalam memandang kemandegan suatu
gerakan sosial. Melalui perspektif rantai persamaan, secara sederhana pasangan
akademisi ini mengungkap bahwa kegagalan dalam sebuah gerakan sosial bermula
dari instabilitas serta perjalanan pergerakan yang individualis. Pergerakan
bersifat individual bermakna sebuah gerakan sosial yang seringkali berdiri
sendiri tanpa membangun relasi lebih luas dengan aksi lain yang memiliki
interseksi kepentingan. Interseksi kepentingan antara gerakan sosial antara
satu dengan yang lainnya ini disebut sebagai rantai persamaan atau chain of
equivalences. Artinya sebuah gerakan sosial sebagai gerakan partikular memiliki
tujuan bersifat khusus, dengan kepentingan universal. Kepentingan universal
inilah yang menyatukan gerakan sosial satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, semakin besar kepentingan universal yang dapat diakomodasi, maka
semakin besar dan kuat pula kekuatan suatu gerakan sosial sebagai perjuangan
hegemonik (Laclau & Mouffe,
2008) .
Perspektif
rantai persamaan membawa refleksi penulis pada korelasi dengan gerakan sosial
masyarakat yang tampak mandeg. Perjuangan tersebut masih bersifat individual
dan terkotak-kotakkan dengan batas kepentingan ras dan spasial. Justru untuk
menuju perjuangan hegemonik, penyatuan kepentingan universal harus dilakukan
antara berbagai kelompok partikular yang memiliki persamaan. Konkretnya,
mengapa gerakan ForBALI, Tolak Reklamasi Teluk Jakarta, Tolak Bandara NYIA,
Tolak Pabrik Semen di Rembang, dan lain-lain; tidak menyatukan diri sehingga
membentuk arus besar gerakan sosial di tingkat nasional? Padahal, seluruh gerakan
tersebut menyuarakan kekhawatiran serupa terkait sumberdaya yang direbut paksa
tanpa keterlibatan masyarakat setempat.
Dalam
kasus raklamasi Teluk Benoa misalnya, dari 800 ha lahan, 50%-nya dialokasikan
untuk pengembangan industri pariwisata oleh investor di dalam maupun luar
negeri (Dewanto, 2017) . Dalam kasus NYIA,
perampasan alat produksi masyarakat tani sebagian besar dilakukan secara brutal.
Begitu juga, masyarakat Rembang berjuang dengan segenap keterbatasan mereka
untuk mempertahankan alat produksi serta keyakinan mereka akan budaya luhur.
Poin penting di sini terletak pada masyarakat yang sesungguhnya tidak “anti”
terhadap pembangunan (infrastruktur), melainkan merasa tidak mendapatkan
keuntungan apa pun, dan justru menjadi oposisi dari pembangunan itu. Dalam hal
ini, permasalahan agraria dapat menjadi isu universal yang meliputi perampasan
alat produksi, eksploitasi sumberdaya, serta minimnya pendekatan sosial dalam
agenda pembangunan.
Pasca
rantai persamaan terbentuk, penting untuk menentukan political frontier
atau “musuh bersama” dari berbagai gerakan partikular yang telah bersatu.
Kemantapan dan stabilitas kepentingan universal harus dipegang teguh karena political
frontier sering menerapkan praktik hegemonik untuk memecah pergerakan
hegemonik dengan mengakomodasi tujuan partikular salah satu kelompok (Laclau
& Mouffe, 2008) .
Maka dari itu, keberhasilan gerakan sosial terletak pada integrasi anggotanya
untuk konsisten memengang kepentingan universal yang mampu mengakomodasi
seluruh kepentingan partikular. Apabila terealisasi, pergerakan hegemonik di
atas akan naik pada skala nasional dengan political frontier jajaran
pemerintah nasional, yaitu presiden dan jajaran menterinya. Di sisi lain,
pergerakan dalam ranah lokal daerah tetap dilakukan guna mencapai hasil
maksimal. Catatan kritis pada arena ini harus dipahami bahwa tuntutan
seharusnya tidak terbatas pada pemerintah secara kelembagaan, melainkan
paradigma dalam menetapkan kebijakan yang telah melenceng dari tujuan
pembangunan nasional akibat terinfeksi oleh dominasi logika neoliberalisme.
Sebagai
penutup, refleksi penulis berujung pada simpulan bahwa pembaharuan sistem
kapitalisme dalam proses hegemoni terus beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan
kontra wacana yang dianggap mengganggu stabilitas kuasanya. Dengan demikian,
menjadi penting dalam konteks gerakan sosial untuk memastikan kemurnian dasar
pergerakan yang lahir dari suara rakyat tanpa ada irisan kepentingan politik.
Di samping itu, diperlukan pula evaluasi secara berkala kemurnian (gerakan)
tersebut agar tidak berbalik arah ditunggangi kepentigan elite. Hal ini
mengingat, selama ditemui kepentingan elite di dalamnya, tujuan pergerakan
hegemonik selamanya akan menjadi cita-cita utopis, dan masyarakat akan tetap
menjadi domba sekalipun dalam ranah perjuangan yang mereka percayai.
*****
Referensi
Buku;
Rusmanto, J. (2013). Gerakan Sosial: Sejarah Perkembangan Teori Antara
Kekuatan dan Kelemahannya. Sidoarjo: Zifatama.
Hadirman, F. (2017). Dalam Moncong Oligarki. Yogyakarta: Kanisius.
Laclau, E., & Mouffe, C. (2008). Hegemoni dan Strategi Sosialis:
Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book.
Dewanto, P. A. (2017). Advokasi ForBALI Dalam Proyek Reklamasi Teluk
Benoa Bali (2013-2017). Yogyakarta: SKRIPSI.
Internet;
ForBALI.org. https://www.forbali.org/id/mengapa-kami-menolak/#
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment