[pic: stanford.edu] |
(The Art of Losing)
Bagus
Ardyansyah
Pegiat Sanglah Institute
“Death is what gives life
meaning...”
Kehilangan, bagi sebagian atau kebanyakan kita ketika mengalaminya akan membuat gusar, pikiran dan jiwa runtuh,
hilang arah, pun tragisnya, seolah merasa kiamat sudah di
ambang mata. Hal ini karena,
secara psikis kita hanya melihat “kehilangan” secara negatif, sebelah
mata, tanpa melihat sisi atau rahasia di baliknya, bahkan tak memahami seni kehilangan itu sendiri.
Memahami dan menguasai seni kehilangan bukanlah hal
yang susah, kenapa? Karena banyak hal yang ada memiliki ‘niat’ untuk kehilangan,
sehingga kehilangan bukanlah doomsday
kehidupan. Sebagai manusia, kita belajar banyak tentang kehilangan; kehilangan
waktu, kehilangan usaha, kehilangan benda, kehilangan sentuhan, tapi yang paling
tragis
adalah kehilangan
kebersamaan dan kenangan. Sepanjang hidup, sampai saat ini, kita telah banyak
mengumpulkan serpihan kenangan dan kebersamaan. Oleh karena, itulah harta yang
sangat berharga bagi kita semua.
Lucunya, semua yang telah kita kumpulkan sepanjang
hidup, semua yang didapat dengan kerja keras, perlahan mulai terenggut. Inilah
neraka, tetapi akan lebih buruk. Setidaknya, begitulah yang terlihat, dulu.
Persepsi buruk lahir dari fenomena ini; orang lain akan menganggap serius
ketika kita begitu jauh dari yang dulu. Perilaku aneh bermunculan, meraba-raba
kalimat, mengubah pandangan tentang diri kita, juga pandangan kita tentang diri
sendiri. Kita menjadi konyol, lemah tak berdaya, tenggelam dalam lubang hitam
pekat tak berdasar, tak bisa gembira, sedih, dan lain sebagainya—inilah fase
rapuh kehilangan—tapi ini bukanlah tentang siapa kita, ini adalah fenomena itu sendiri. Di dunia
ini, laiknya fenomena apa pun yang ada, pasti memiliki sebab, memiliki
kemajuan, dan bisa diobati, tapi bukan berarti hilang
permanen.
Seni yang harus dibangunkan dalam syaraf sadar pada ‘fase rapuh kehilangan’ sebelum ia
pecah, adalah kesadaran bahwa kita masih hidup, memiliki
orang-orang yang mencinta dan dicinta, punya banyak hal yang ingin dilakukan
dalam hidup—seni kehilangan. Dengan kata lain, kita masih memiliki momen
kebahagiaan serta sukacita. Tidak bisa dipungkiri, terkadang kita benci pada
diri sendiri hanya karena tidak mampu mencegah kehilangan itu terjadi. Namun,
yang terpenting jangan memandang kehilangan sebagai penderitaan. Seperti yang
dikatakan Sujiwo Tejo, “Sekuat
apa pun kau menjaga, yang pergi tetap akan pergi. Sekuat apa pun kau menolak,
yang datang akan tetap datang. Semesta memang kadang senang bercanda”.
Kita sebenarnya tidak menderita, kita berjuang.
Berjuang demi menjadi bagian dari beberapa hal, untuk tetap menjadi kita yang
dulu. Pada momen ini, tanamkanlah dalam diri; kau masih bisa melakukan semua:
hidup, jangan menyalahkan diri sendiri, maka kau bisa menguasai ‘seni
kehilangan’. Perspektif sederhana dalam seni kehilangan adalah, di dunia ini ada semacam kemajuan dari
rasa sakit, kerinduan untuk hal
yang sudah kita tinggalkan atau yang meninggalkan kita, dan kita impikan. Sebagaimana
dikatakan Italo Calvino ‘keseimbangan kenangan', atau jika wacana ini kita mainkan,
maka sebut saja ‘bermain dengan kehilangan’.
Sesuatu dari masa lalu, sesuatu yang sudah lama atau baru terlewat, gemarnya kita sebut
kenangan. Kenangan-kenangan picisan dan adiluhung
yang gampang membius otak dan seluruh jiwa serta batin, salah sekiannya adalah
cinta-memahami antardiri. Kebanyakan terjebak sampai dalam tanpa dasar, ada
pula yang seketika menemukan dasarnya, memang tentatif. Kalau diuraikan lewat
rangkaian antarkalimat, akan menjadi sastra yang mengandung banyak makna, dan
menjadi suatu keasyikan tersendiri untuk mengupasnya. Apalagi kalau tanpa
sengaja ada irisan kesamaan dengan skenario hidup ini, kemungkinan semakin
terperosok lebih dalam pada jebakan kenangan—kehilangan. Dekonstruksikanlah
kenangan (kehilangan) tadi dengan kekuatan "keseimbangan kenangan":
kenangan boleh kuat untuk memungkinkan kita bertindak tanpa melupakan apa yang
kita inginkan, tapi kenangan juga harus lemah agar terus bergerak menuju masa
depan", begitu kata Italo Calvino.
*****
Tags:
Bagus Ardiansyah
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment