|
[pic: bbc.co.uk] |
A.A Chintya
Maharani Putri
Pegiat
Sanglah Institute
Membicarakan cinta bisa jadi mengabaikan tentang cinta
sebenarnya, kadang cinta yang dialami sebagian besar individu di era modern
dianggap berbeda dengan zaman sebelumnya. Seolah kisah percintaan seseorang
kini terwakili dalam setiap adegan film yang berujung seks atau persetubuhan.
Seks kerap dianggap sebagai hubungan yang istimewa antara perempuan dengan
laki-laki, dan kemudian mengabaikan esensi keterikatan, yakni pernikahan. Di
era ini, mencintai juga cara seseorang dapat melakukan negosiasi untuk
bersetubuh kemudian bercumbu sebagai hidangan penutup.
Percintaan atau romansa, berasal dari bahasa prancis; roman yang tidak lain juga adalah sebuah
novel (sebuah cerita) dengan gaya Provencal
[sebuah wilayah di Prancis Tenggara yang berbatasan dengan Laut Tengah dan
Italia]. Bisa jadi, kita perlu menoleh ke abad sebelumnya di mana kita perlu
kembali kepada revolusi sentimental yang dipicu oleh para troubadour [penyair liris abad ke-12] untuk menemukan tema Romanesque
yang paling murni, atau kita menoleh pada karya Jean-Jacques Rousseau
(1712-1778) tentang Julie, Ou La Nouvelle
Heloise (1761) yang juga dikemas dalam gaya yang sentimental untuk mendorong
pengembangan era pra-romantisme dan romantisme di ranah karya fiksi.
Pengakuan sesuatu sebagai fiksi bisa jadi ditempatkan
untuk mengecoh hal sebenarnya, di mana seseorang sebenarnya sedang atau telah
mengalaminya. Ketidakberanian seseorang mengungkap kisah asmaranya bisa jadi
membuatnya tertekan kemudian memilih bercerita di balik kedok fiksi
[imajinasi]. Ungkapan itu juga secara kreatif menambahkan unsur di luar logika
pada era ini, yang mungkin adalah warisan dari era sebelumnya.
Saat cinta yang diakui sebagai benih telah disirami pada
bagian vital, rasio benar-benar akan
ditiadakan karena reaksi sepenuhnya didominasi oleh emosi, dan bayang fantasi
yang saat itu saling mengikat dan basah. Keadaan penuh fantasi ini kemudian
menggiring seseorang menjadi budak cinta, yang kini populer disebut “bucin”. Kenyamanan
yang berhasil dituangkan dalam waktu sepersekian menit membuat seseorang bisa
jadi rela memberikan apa pun yang telah dimilikinya karena mulai timbul
kekhwatiran yang disusul rasa takut kehilangan. Takut perhatian seseorang yang
mencintainya berkurang atau khawatir ditinggalkan setelah cumbuan itu
diberikan; seolah kecupan adalah syarat seseorang dibolehkan bersama untuk
waktu yang panjang. Sekalipun itu adalah hal yang marak di era ini, kecupan pun
boleh jadi diartikan sebagai sapaan atau salam selamat tinggal; yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa kemudian, banyak yang mengaku sebagai korban cinta?
Telah menjadi sifat alamiah seseorang untuk mendapatkan,
juga memberikan cinta. Cinta bukan semata keadaan seranjang dengan lawan jenis
atau orang yang dicintai. Apakah saat ibumu memberikan cinta itu berarti
waktumu akan dihabiskan untuk seranjang dengan ibumu? Cinta bukan sesepele itu!
Saat seseorang benar-benar menjadi kehilangan arah karena definisi cinta yang
keliru, boleh jadi dia perlu berkemas dan memperhatikan cinta sebagai aspek
religius yang identik dengan Tuhan. Cinta sebagai karunia dan nilai tertinggi
dalam hidup. Cinta adalah gabungan atas kualitas dan kuantitas yang tidak
terbatas, melebihi konsep walaupun ia dalam bentuk konsep, dan kecupan senyatanya
hanya simbol dari anatomi cinta. Cinta adalah ekspresi absurd yang melebihi
kecupan atau seks.
Sekalipun cinta dianggap hanya sebagai gairah, dia pun
tumbuh dalam bungkusan waktu yang bisa jadi melebih hitungan menit. Menilik
fenomena dewasa ini dan fakta kita dibalut nuansa modern, bisa jadi ini senada
dengan tulisan Denis de Rougemont bahwa kita sedang menikmati produk nafsu yang
menjadikan cinta sebagai kedoknya. Seolah tragedi menjadi puncak dari cinta
karena banyak baik perempuan maupun laki-laki yang seolah tidak sadar menjadi
budak cinta.
Seperti gairah kebutuhan, percintaan bukan semata-mata
merasakan cinta; jatuh cinta pun bukan berarti sedang menjalani cinta. Cinta
dalam hal ini adalah perilaku narsistis yang hanya ditujukan pada pencitraan sang
kekasih dan bukan pada orang sebagai objeknya. Pancaran bahagia berasal dari
nostalgia alam bawah sadar dan bukan dari dialog yang sesungguhnya (Rougemont:
137). Dengan kata lain, seseorang yang terlibat cinta sedang mengalami krisis;
pihak yang terlibat hanya mencintai cinta yang mereka rasakan sendiri. Rasa
bahagia yang timbul karena banyaknya belaian yang menyentuh bagian vital, rasa
sakit yang timbul dari perasaan bergelora dalam hati yang bercampur rasa takut.
Ketakutan atas kekalahan dari ambisi mencintai yang dimiliki.
Cinta terbiasa membuat pengamalam fantasi seolah terasa
nyata. Terlebih hasrat akan cinta benar-benar akan menjadi bentuk yang mendalam
dan membuat seseorang menjadi nekat bila sudah melibatkan keinginan badan;
termasuk berbaris dalam antrian panjang untuk menyenangkan seseorang yang
dicintainya. Bukan hanya waktu dan materi yang secara khusus dihamburkan, rasio
dan nalurinya pun turut digadai akibat fantasi yang didominasi oleh perempuan
ataupun laki-laki yang menjadi obyek cinta, kata Simone de Beauvoir.
Cinta membuat seseorang mengabaikan kebenaran, karena
membuat seseorang mendewakan obyek yang dicintainya kemudian bertingkah
malu-malu, lembut, menggebu-gebu, kekanak-kanakkan, konyol, brutal, bahkan
kejam. Menemukan cinta bisa saja dianggap oleh seseorang sebagai keberuntungan,
walaupun demikian perlukah keberuntungan itu hanya kita peroleh dari cinta
terhadap seseorang? Sedangkan kita bisa menjadikan diri kita sebagai obyek atas
cinta yang lebih memberikan keberuntungan. Siapa
yang tahu?
*****
0 Comments:
Post a Comment