[pic: tribunnews.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Menjadi soekarnois sewaktu SMA
Dalam diskusi
beberapa waktu lalu di Ruang Rapat Rektor Universitas Udayana, saya terpaksa berkata, “Soekarno pra-Dekrit 1959, Ok! Soekarno
pasca-Dekrit, No!”. Telah banyak narasi yang mengungkap alasan mengapa kita
harus mencintai Soekarno, namun, masih sedikit atau jarang yang mengulas sebaliknya.
Setidaknya, ada beberapa alasan yang bisa dipertimbangkan soal ini.
1. Pasca Dekrit Presiden 1959, Soekarno
adalah diktator
Saya sepakat
dengan Jules Archer yang memasukkan Soekarno sebagai salah seorang diktator
dunia, dan memang, pasca-Dekrit, Soekarno adalah seorang diktator. Ini tampak
jelas lewat konsep “demokrasi terpimpin” yang diterapkannya, juga pemikiran
Soekarno tentang RESOPIM (Revolusi Sosialisme Terpimpin), pun gelar “Pemimpin
Besar Revolusi” yang disandang Soekarno, yang seolah memberinya legitimasi tak
terbatas. Sebagai misal, bagaimana setiap pidato Soekarno langsung ditetapkan
sebagai GBHN (Garis Besar Halauan Negara).
2. Soekarno membungkam oposisi
Buntut dari
sistem demokrasi terpimpin, Soekarno membubarkan Masyumi karena partai ini menolak
pemikiran maupun penerapan demokrasi terpimpin. Soekarno juga memenjarakan
jurnalis-jurnalis kritis seperti Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Khusus
Pramoedya, ia dipenjara oleh dua rezim berturut-turut (Orde Baru setelahnya).
3. Soekarno gagal membenahi perekonomian
Indonesia
“Persoalan ekonomi ini membuatku pusing”,
keluh Soekarno. Dan memang, Soekarno gagal membenahi perekonomian Indonesia. Ia
sampai harus menyarankan masyarakat Indonesia makan singkong beberapa hari
dalam seminggu. “Lihat ini, aku juga
makan singkong!”, teriak Soekarno dari halaman Istana Negara kepada para
wartawan, tentunya ini juga dimaksudkan sebagai propaganda.
4. Soekarno tidak cakap mengelola anggaran
negara
Setelah merdeka,
Indonesia memperoleh banyak bantuan asing, termasuk dari Jepang—sebagai “ganti
rugi” penjajahan. Namun, Soekarno kurang cakap mengelola anggaran negara. Di tengah
masih banyaknya rakyat Indonesia yang kelaparan, Soekarno justru mengalokasikan
anggaran bagi “proyek-proyek mercusuar” yang kurang penting (baca: tak
mendesak) seperti Monas, Masjid Istiqlal, Patung Selamat Datang, Patung
Pancoran, Patung Pembebasan Irian Barat, dan Jembatan Ampera. Di samping itu,
Soekarno juga memberikan anggaran yang sangat besar bagi militer untuk
kebijakan “Ganyang Malaysia”-nya di tahun 1963. Hal ini dilakukan Soekarno
mengingat strategi “politik sebagai panglima” yang dicetuskan Soekarno. Dengan kata lain, Soekarno
lebih berfokus pada pencitraan bangsa Indonesia di mata dunia, namun ini
menjadi ironis mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang hidupnya susah.
5. Soekarno membatasi kebebasan berekspresi
muda/i Indonesia
Salah satu butir
konsep Tri Sakti yang dicetuskan Soekarno adalah “Berkepribadian dalam budaya”.
Seringkali, butir ini digunakan Soekarno untuk memberangus muda/i tanah air yang
berpenampilan tak sesuai dengan budaya Indonesia. Semisal, mereka laki-laki
yang gondrong atau berpotongan ala
King Arthur “The Beatles”, anak-anak muda yang mengenakan jeans, celana cutbray, dan lain sebagainya. Inilah mengapa
band kawakan Koes Plus kerap keluar-masuk penjara di era Soekarno, mereka kerap
dituduh “kebarat-baratan”. Terkait hal ini, saya tak bisa membayangkan jika
anak-anak alay hidup di era Soekarno, penjara pasti penuh sesak.
Serangkaian hal di atas, kiranya cukup menjadi alasan bagi kita untuk membenci Soekarno jika kita betul-betul
hidup di eranya. Itulah mengapa, pemuda seperti Soe Hok Gie, juga mahasiswa/i
Indonesia kala itu, begitu getol hendak
menurunkan Soerkano. Lalu, apakah kebijakan Soekarno di era demokrasi
terpemimpin semuanya buruk? Tidak juga. Terdapat beberapa yang patut
diapresiasi seperti; DEKON (Deklarasi Ekonomi) yang beresensi pada “ekonomi
berdikari”, pembentukan NAM (Non
Alignment Movement) atau Gerakan Non-Blok, serta GANEFO (Games of New Emerging Forces) yang kini
menjadi Asian Games.
“Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena
itu, atas nama keluarga gajah, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya”, kata Cak Lontong.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment