Wahyu
Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Ada teori yang mengatakan bahwa
setiap kurang-lebih dua puluh hingga dua puluh lima tahun sekali, tanah air
mengalami pergolakan. Ini dimulai dari Pemberontakan PKI 1926 yang menyebabkan para
tokoh kuncinya diasingkan ke Boven Digul, Papua oleh pemerintah kolonial
Belanda. Dua tahun berselang (1928), Sumpah Pemuda terhelat, dan kurang-lebih
dua puluh tahun berikutnya (1945) Revolusi Kemerdekaan Indonesia terjadi. Tiga
tahun setelahnya (1948) terjadi Pemberontakan PKI Madiun, dan dua puluh tahun
kemudian (1965) meletus Peristiwa Gestok. Tidak sampai dua puluh tahun lagi,
tepatnya sembilan tahun kemudian, peristiwa MALARI 1974 terjadi. Dan pada
akhirnya, di tahun 1998, Indonesia mengalami momen Reformasi.
Meletusnya setiap peristiwa di
atas tentunya didorong oleh keharusan sejarah yang berbeda-beda. Peristiwa di
tahun 1926, 1928, dan 1945 misalnya, memang disebabkan kondisi obyektif tanah
air di bawah penindasan kolonial Belanda sehingga kemerdekaan, atau perjuangan
menuju pembebasan adalah kewajiban sejarah. Peristiwa 1948 dan 1965 yang
didalangi oleh PKI setidaknya memiliki motif sama—mari kita kesampingkan dahulu
teori-teori konspirasi—yakni untuk mengganti Pancasila dan mendirikan negara
komunis, hal ini, terutama untuk peristiwa 1965, juga didorong oleh kegagalan
perekonomian Orde Lama Soekarno. Peristiwa 1974 terjadi karena terlampau
luasnya pemerintahan Orde Baru Soeharto membuka kran investasi bagi asing
sehingga muncul kehawatiran akut berbagai sumberdaya yang berkaitan dengan
hajat hidup rakyat luas dikuasai oleh pihak luar. Di samping itu, terjadi
kesenjangan sosial yang luar biasa antara masyarakat kaya dengan miskin perkotaan,
terutama di Jakarta.
Dari sekian people power di atas—jika memang bisa
disebut demikian—momen Reformasi 1998 menjadi cukup spesial. Reformasi 1998
adalah kulminasi dari kejengahan rakyat terhadap 32 tahun otoritarianisme Orde
Baru; korup, kolusi, dan nepotismenya rezim; berpadu dengan krisis ekonomi
akibat fenomena bubble economic yang
juga menimpa Eight of Asian Magic
lainnya. Dalam hal ini, apabila people power
terjadi di kemudian hari, maka ia tak mungkin mengambil motif yang sama seperti
peristiwa 1926, 1928, 1945, atau 1965 karena rasionalisasi sejarah yang
berbeda, dan dinamika sosial-politik tanah air yang berbeda pula. People power di kemudian hari—jika memang
terjadi—hanya bisa mengambil motif dan pola-pola sebagaimana peristiwa di tahun
1974 dan 1998, yakni kediktatoran rezim, dan terutama kondisi ekonomi yang
sekarat.
Pertanyaannya, apakah kedua kondisi
di atas memang dirasakan dewasa ini? Jika iya, maka people power bukan isapan jempol belaka, tetapi jika tidak, maka people power adalah omong kosong belaka.
Pun jikapun ada tanpa kedua kondisi di atas, people power bukanlah benar-benar people power atau gerakan yang betul-betul diinisiasi oleh rakyat,
melainkan oleh kelompok dan golongan kepentingan tertentu, juga dengan tujuan
tertentu pula, yaitu kekuasaan. Sebetulnya,
sangat mudah mengidentifikasi detik-detik meletusnya people power, yakni jika kondisi represi dan buruknya perekonomian dirasakan
secara obyektif oleh mayoritas masyarakat.
People
power tak bisa
terhelat hanya karena sebagian elemen masyarakat merasakan kedua kondisi di
atas, dan sebagian lagi tidak, ia harus betul-betul merepresentasi kondisi
seluruh masyarakat. Lalu, bagaimana jika mayoritas masyarakat hanya merasakan
salah satu kondisi di atas, semisal represifnya rezim atau mencekiknya
perekonomian? Dalam batas-batas tertentu, itu pun belum tentu bisa meletupkan people power. Jika suatu pemerintahan
sangat represif, namun ia mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya, maka pemerintahan
itu masih bisa diampuni (baca: dimaklumi). Sebagai misal, bagaimana Partai UMNO yang berkuasa di Malaysia selama enam puluh tahun tak pernah menuai people power karena mampu menyejahterakan masyarakat Malaysia. Begitu juga, untuk kasus di Kuba
misalkan, Fidel Castro yang sempat berniat mengundurkan diri pada tahun 1969
karena gagal memperbaiki perekonomian Kuba, justru pidato pengunduran dirinya
ditolak luas rakyat Kuba karena rakyat sudah begitu mencintainya. Dengan demikian,
syarat terjadinya people power tidak hanya
bisa bertumpu pada salah satu sebab (kondisi) di atas, melainkan harus
keduanya: represifnya rezim dan buruknya kondisi perekonomian.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment