[pic: tagar.id] |
Wahyu
Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
“...yang
terpenting dari demokrasi bukanlah soal menang atau kalah,
tapi
memberi kesempatan bagi setiap pihak untuk tampil.”
[Amartya Sen]
Jujur, saya tak begitu suka
Prabowo, juga hal-hal yang berbau militer. Tetapi, bukan berarti lantas saya
mendukung dan membela Jokowi. Bagi saya, Jokowi pun juga harus dikritisi,
semisal selama lima tahun pemerintahannya, tak ada satu pun kasus pelanggaran
HAM masa lalu yang tersentuh, juga, masih tak jelasnya kasus Century hingga kini,
dan lain-lain. Di sini, terlepas dari sentimen terhadap salah satu kubu, karena
memang posisi saya sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) mensaratkan hal itu, saya
ingin menjelaskan bagaimana klaim
kemenangan Prabowo juga dapat dikatakan rasional. Boleh jadi, analisis saya
akan terkesan biasa-biasa saja bagi para pembelajar sosial-humaniora yang sudah
tak asing lagi dengan nama Max Weber, karena memang lewat salah satu pemikiran
Weber lah analisis dalam pengkajian ini dilakukan.
Weber membagi rasionalitas
(formal) ke dalam empat tipe, antara lain; rasionalitas instrumental,
rasionalitas nilai, rasionalitas tradisional, dan rasionalitas afeksi. Rasionalitas
instrumental adalah pola pikir atau tindakan yang berfokus pada pencapaian
tujuan secara efektif dan efisien. Rasionalitas nilai adalah tindakan yang
didasarkan pada sesuatu yang dianggap baik, benar, dan diharapkan
keterwujudannya (nilai sosial). Rasionalitas tradisional adalah tindakan yang
didasarkan pada prilaku yang telah secara turun-temurun dilakukan, sedangkan
rasionalitas afeksi adalah pola pikir atau tindakan yang didasarkan oleh emosi
atau perasaan.
Secara rasionalitas
instrumental, klaim kemenangan Prabowo bisa dieja sebagai upayanya yang paling
efisien dan efektif untuk mencapai kemenangan pilpres, yaitu lewat klaim
kemenangan itu sendiri. Di sisi lain, itu juga bisa dilakukannya sebagai usaha termudah
untuk membuat publik tak lagi mempercayai hasil berbagai lembaga survei yang
memenangkan Jokowi lewat quick count.
Atau, lewat analisis yang lebih ekstrim, itu adalah upaya untuk mendeligitimasi
hitungan resmi KPU (real count) di
kemudian hari.
Dalam kerangka rasionalitas
nilai ... jujur, saya agak sulit menemukan analisis rasionalitas nilai untuk tindakan
klaim kemenangan Prabowo. Apakah itu didasarkan pada kepercayaan diri atau
optimisme, sebagaimana dua nilai itu dianggap baik, benar, dan diharapkan
keterwujudannya dalam masyarakat kita. Tetapi, ini akan menjadi sedikit tak nyambung karena setiap tipe
rasionalitas Weber harus tertuju atau berdampak terhadap individu lain, mengingat
rasionalitas Weber tidak bisa dilepaskan dari kerangka “tindakan sosial”.
Apakah klaim kemenangan Prabowo adalah tindakan kesatria pengakuan kemenangan
dirinya di hadapan para pendukungnya? Ini juga menjadi tak nyambung karena biasanya tindakan kesatria lebih diasosiasikan dengan
pengakuan atau kerelaan untuk menerima kekalahan atau mengakui kesalahan, juga
pengorbanan. Apakah deklarasi kemenangan Prabowo juga mencerminkan tanggung
jawab dan kesiapsediaan dirinya memikul seluruh beban sebagai kepala negara kelak?
Boleh jadi. Tapi sebaiknya, mari kita lewatkan dulu analisis rasionalitas nilai
untuk pengkajian ini.
Secara rasionalitas
tradisional, klaim kemenangan Prabowo adalah hal wajar yang memang sedari dulu
telah dilakukan banyak politisi yang berkontestasi. Setiap politisi selalu
yakin dan menganggap dirinya menang, tak peduli hitungan resmi dari lembaga
berwenang telah selesai dilakukan atau belum. Tindakan ini pula yang dilakukan
Prabowo pada Pilpres 2014 lalu. Dalam hal ini, kita perlu sedikit bergeser pada
fenomenologi di mana kemenangan selalu bersifat subyektif. Sebagai misal, dalam
pertandingan tinju akbar antara Muhammad Ali dengan George Foreman di tahun
1974, juri memenangkan Foreman, namun masyarakat Amerika Serikat, bahkan dunia
menganggap Ali pemenangnya. Ali pun menganggap dirinya sebagai pemenang lewat
komentarnya di kemudian hari: “Ia
(Foreman) menghabiskan waktu lebih lama di rumah sakit untuk pemulihan
dibanding diriku”.
Dalam kerangka rasionalitas
afeksi, mungkin ditemukan lebih banyak rasionalisasi mengapa Prabowo lebih dini
mendeklarasikan kemenangannya. Pertama,
bisa jadi dikarenakan Prabowo menyaksikan ramai massa yang selalu menghadiri
kampanyenya—meskipun begitu pula dengan Jokowi—dengan demikian, ia yakin jika
dirinyalah yang menang. Kedua, perasaan
tak enak Prabowo pada para
pendukungnya. Dengan demikian, deklarasi kemenangan itu lebih menemui wujudnya
sebagai rasa welas asih Prabowo
terhadap para pendukungnya yang telah bersusah-payah memenangkan dirinya. Ketiga, perasaan Prabowo akan kecurangan
lembaga-lembaga survei yang memenangkan Jokowi, terlebih, survei internal
Prabowo sendiri yang menyatakan dirinyalah pemenang Pilpres.
Pertanyaannya, adakah
rasionalitas lain yang lebih superior dan mengatasi serangkaian rasionalitas di
atas? Ada, yaitu rasionalitas formal itu sendiri, yakni rasionalitas sebagaimana
awalnya, atau rasionalitas sebelum terbagi menjadi varian tipe-tipe
rasionalitas lainnya (instrumental, nilai, tradisional, dan afeksi).
Rasionalitas formal di sini, adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) itu sendiri.
KPU, dengan metode penghitungan nyata yang sangat ketat dan dengan transparansi
yang “bisa diikuti semua pihak”, akan menjadi rasionalitas formal yang mampu
menggilas beragam tipe rasionalitas sebelumnya. Apakah dengan demikian tindakan
Prabowo nantinya dapat dikatakan irasional jika ia terbukti kalah? Tidak juga.
Berbagai tindakan Prabowo tetap dinyatakan rasional, hanya saja “rasionalitas
yang menyejarah”. Bagaimanapun juga, prinsip utama tindakan rasional adalah ditemuinya
“alasan” dari setiap tindakan yang dilakukan aktor, dan Prabowo memiliki alasan
untuk setiap tindakannya.
Lebih jauh, ihwal yang tak
kalah menarik adalah apabila pemikiran rasionalitas Weber ditarik ke ranah ilmu
politik, maka tak ada lagi politisi maupun pemilih yang tak rasional: mereka
semua rasional. Hal ini cukup berbeda dari studi ilmu politik yang cenderung
membagi, terutama pemilih, ke dalam dikotomi pemilih rasional dan pemilih
irasional. Dan, apabila dahulu Kadek Dwita Apriani, Direktur CIRUS Surveyors Group,
pernah berkata secara personal kepada saya jika sesungguhnya semua pemilih
adalah irasional. Maka, lewat pemikiran rasionalitas Weber, saya bisa balik
menjawab jika setiap pemilih sesungguhnya rasional. Pada akhirnya, kesalahan
kita adalah ... terlalu banyak memikirkan hal-hal tak penting!
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment