[The Shoes by Vincent van Gogh] |
Bagus Ardiyansyah
Pegiat Sanglah Institute
Perlu dipahami
sebelumnya, tulisan ini mencoba memberi contoh penekanan atau analisis secara
mendasar sebagai pemantik perkembangan pembahasan selanjutnya. Dewasa ini,
dalam pikiran kita, tidak hanya oleh kaum akademisi, tapi seluruh masyarakat di
Indonesia, sebaiknya mulai menanamkan pertanyaan tentang hukum berbanding realitas yang terjadi; apakah
hukum negara ini adil bagi seluruh rakyatnya? Atau
apakah para tiang bernyawa hukum telah menerapkan yang adil? Kenapa ini
dilakukan? Menilik fenomena atau kasus-kasus sebelumnya (mundur ke belakang),
ada beberapa ketidakadilan hukum yang terjadi bagi rakyat kecil (kaum sandal
jepit). Itulah mengapa, secara tidak langsung ini menjadi beban berat bagi
Indonesia, karena ini semakin mengesahkan wacana yang melekat pada hukum tanah air, yakni ‘hanya tajam untuk
kalangan bawah dan tumpul untuk kalangan atas’. Misal, kasus nenek Minah dengan tiga biji
kakao, Aal dengan sandal jepit, Suyanto dan Kholil dengan sebuah semangka,
nenek Meri dengan petasan, buruh tani bernama Aspuri dengan kain lusuh, Mbah
Kijo dengan satu tandan pisang, dan kasus kaum sandal jepit lainnya yang tidak
terekspos. Kasus-kasus tadi secara tidak langsung mencerminkan
betapa ada suatu kepincangan dalam penegakkan hukum. Kasus kaum sandal jepit
terkait, begitu mudah dalam penyelesaiannya tanpa menunggu waktu lama, di mana
secara implisit menimbulkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Bahkan,
suara ‘sandal jepit’ seperti tak digubris atau berbunyi tapi tak bersuara.
Berbeda dengan kasus
korupsi yang jelas merugikan semua sendi negara
dan berbangsa. Para koruptor atau ‘kaum sepatu pantofel’,
yang kebanyakan malah dilakukan oleh para tiang bernyawa dari penegak hukum; terlepas
dari hukum, mendapat hukuman ringan, bahkan para terpidana kasus korupsi masih
sempat bersolek; menggunakan pakaian rapi, berkemeja, bersepatu mengkilap, berrias, bahkan menggosok gigi untuk
tampil percaya diri tanpa merasa salah atas tindak korupsinya atau untuk
menunjukkan citra bahwa mereka bukanlah koruptor dengan bergam ritual tadi,
sungguh semua ini adalah fenomenolaugh
hukum yang terjadi di Indonesia. Inilah yang menjadi suatu pemantik penyadaran
sesungguhnya bagi kita, bahwa hukum tidaklah seindah dan serapi seperti
diyakini banyak orang,
terutama para legalis.
Menggunakan kacamata
analisis sosiologi hukum yang secara sederhana, dengan berpijak pada penjelasan
di atas, bahwa aliran hukum di Indonesia masih berselimut di dalam aliran hukum
positif (normatif). Aliran ini berpegang teguh pada kasus yang harus dilepaskan dari unsur
sosial dan moralitas, karena hukum merupakan kepastian walaupun itu pada
akhirnya harus menyampingkan rasa keadilan. Kita bisa memahaminya, bahwa tugas
hukum hanya mengkaji unsur-unsur nyata dalam sistem hukum; tidak ada hukum di
luar undang-undang, karena undang-undang menjadi sumber hukum dasarnya. Inilah
yang disebut azas legalitas, yakni tidak bisa dipidana seseorang sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. Tatkala, kaum sandal jepit kedapatan melakukan
perbuatan mengambil sesuatu, meski secara ekonomi nilainya tak sebarapa, yang
menurut mata hukum positivis itu suatu tindak pidana sehingga mereka harus
berurusan dengan hukum. Inilah eksis keyakinan dalam hukum aliran positivisme;
bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat itu baik atau buruk, adil
atau tidak adil, karena hukum harus lepas dari unsur sosial dan sejalan dengan
tujuannya, yakni
kepastian hukum. Sesuai pernyataan Hans Kelsen, bahwa aliran positivisme hukum
tidak membahas keadilan, itu karena bukan konsen dari hukum. Dengan kata lain,
inilah praksis dari yang disebut dengan tertib berpikir.
Lebih dalam, doktrin
terkait sampai merasuk pada hakim-hakim dan mereka terjebak di dalam pemikiran
legal-formalistik, karena hanya berlandaskan hukum sebatas peraturan
perundang-undangan dan tidak melihat dimensi sosiologis. Itulah mengapa,
doktrin atau tradisi yang digerakkan badan-badan pengadilan tanah air menjadikan hakim sebatas
boneka pengucap bunyi hukum yang berasal atau ditemukan dan telah ditetapkan
sebelumnya secara doktrinal dari sumber-sumber formal. Dengan demikian, ini
memperlihatkan pendidikan kehakiman yang menekankan
pada cara berpikir deduktif dengan silogisme logika formal. Parahnya, ini
secara tidak langsung menggiring penerapan hukum bukan lagi pada dimensi
humanis dalam membedah persoalan terkait siapa yang benar atau salah, tapi pada
penerapan ‘siapa yang kuat dialah yang menang’, dengan kekuatan materi, misalnya.
Berpijak pada penjelasan
sederhana di atas, ke depannya suatu pemahaman dan pengkajian secara sosiologis
dalam hukum serta penegakkannya,
adalah kebutuhan yang harus disegerakan. Apalagi di kondisi dewasa ini, di mana
perubahan-perubahan sosial bergerak dan semakin ajeg berlangsung.
*****
Tags:
Bagus Ardiansyah
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment