Wahyu
Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Sosiolog Universitas Udayana
lahir dan tumbuh besar di Jogja
“Jogja, Jogja, tetap istimewa.
Istimewa negerinya, istimewa orangnya...”
[Jogja Hip Hop Foundation]
Sebagai m a n u s i a yang
lahir dan tumbuh besar di Jogja, saya sangat menyayangkan berbagai aksi
intoleran yang terjadi di kota kelahiran saya akhir-akhir ini; dari aksi
penyerangan gereja, “slogan baru” kota Jogja, pemotongan nisan salib di Makam
Purbayan, ditolaknya Slamet Jumiarto yang beragama Katolik mengontrak rumah di Dusun
Karet-Bantul, hingga yang terbaru: perusakan delapan nisan salib di Pemakaman
RS Bethesda—saya lahir di rumah sakit ini.
Persoalan yang dihadapi Jogja
sesungguhnya mirip seperti yang dihadapi Bali. Semakin besarnya arus modal yang
masuk ke Jogja (investor), serta semakin banyaknya pendatang di Jogja;
menyebabkan masyarakat asli Jogja kian tersisih. Dalam masyarakat yang
tersisih, politik identitas otomatis akan bermain. Itulah mengapa, saya cukup
kaget ketika seorang teman menggunakan foto profil WA (WhatsApp) bertuliskan “Jogja Kota Hidayah” lengkap dengan latar gambar
masjid di belakangnya. Dari situ saya berpikir, “Oh, Jogja bukan lagi kota
pelajar, ya? Tapi kota hidayah?”. Saya tidak tahu, apakah ini adalah upaya dari
pihak-pihak tertentu untuk mengembalikan identitas Jogja sebagai “Mataram Islam”?
Tetapi yang jelas, aroma
politik identitas sudah tercium di situ. Boleh jadi, ini adalah respon warga
asli Jogja terhadap investor dan pendatang yang sedikit-banyak telah mengubah “nuansa”
Jogja. Sebetulnya, slogan Jogja sebagai
kota hidayah tak jadi soal, karena hidayah bersifat universal, yang membuat
sedikit mengganjal adalah digunakannya salah satu simbol agama dalam slogan itu,
sehingga seolah menyiratkan Jogja hanya milik umat agama tertentu.
Dalam politik identitas, pihak
luar (asing) dan minoritas jelas akan menjadi tumbal. Mengutip analisis Slavoj
Zizek ihwal minoritas Yahudi di era kekuasaaan NAZI Jerman; pihak luar akan diposisikan sebagai “yang
menyimpang”, yang paling bertanggung jawab membuat hidup kita tak normal lagi,
atau yang membuat kita tak lagi baik-baik saja.
Seharusnya, republik ini sudah
cukup dewasa merespon persoalan terkait karena permasalahan serupa telah
terjadi berulangkali di negeri ini. Inti persoalan bukanlah terletak pada
perbedaan SARA, tetapi distribusi ekonomi dan kesejahteraan yang tak merata. Ini
pula yang sesungguhnya terjadi di Sampit dan Poso beberapa waktu silam. Seringkali,
penguasa sengaja menyematkan label “SARA” pada konflik yang terjadi di
masyarakat sebagai upaya menutupi kegagalannya mengalokasi berikut
mendistribusi kesejahteraan secara merata, sekaligus lepas tanggung jawab
atasnya.
Tragedi yang terjadi di tanah
air tahun 1998 dapat menjadi contoh konkret dan pembelajaran penting bagi kita
semua. Orde Baru menyalahkan minoritas Tionghoa Indonesia akibat krisis ekonomi
yang terjadi. Padahal, krisis tersebut murni disebabkan oleh lemahnya
fundamental ekonomi tanah air, yang juga turut terjadi di negara-negara dengan
julukan Eight of Asian Magic lainnya.
Serupa tapi tak sama, tragedi paling brutal menyoal SARA sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, terjadi ketika Hitler dan partainya, NAZI,
menyalahkan minoritas Yahudi akibat memburuknya perekonomian Jerman. Sikap dan aksi
pengecut ini bermuara pada pembantaian jutaan orang Yahudi di kamp-kamp
konsentrasi.
Berpijak pada paparan singkat
di atas, apa yang bisa ditekankan adalah; apabila diagnosis terhadap suatu
persoalan salah, maka solusi atau “obatnya” juga bisa dipastikan bakal salah, pun
sama sekali takkan menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya—ibarat mengobati eksim dengan salep panu.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan lebih berfokus mencari kambing hitam
ketimbang solusi? Tegas dan jelasnya, hanya orang-orang putus asa yang mengamini kekacauan dan kekerasan...
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment