“Orang-orang yang takut bahagia”
Gejala Biologis, Agamis, dan Klinis
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah
Institute
Biologis
Ketika para
prajurit diberi makanan enak dan “mahal” seperti steak, kaviar, atau lain
sejenisnya, mereka justru tidak bahagia. Ini artinya, besok mereka harus terjun
ke medan perang. Ketidakbahagiaan yang seperti ini masih menjadi wajar karena
di baliknya mereka mengetahui ada ketidakbahagiaan jauh lebih besar yang
menanti di balik kebahagiaan itu. Maka, menjadi tidak bahagia adalah lebih
logis dan masuk akal ketimbang menjadi bahagia. Kita pun bisa mempertanyakan, ketika
para prajurit NAZI lantang menyanyikan “Erika” saat berbaris menuju medan
perang, apakah mereka benar-benar bahagia?
Agamis
Tetapi, ada
penyangkalan terhadap kebahagiaan yang pada batas-batas tertentu menjadi sangat
absurd dan aneh. Penyangkalan ini ditunjukkan oleh kaum askestis dan puritan
agamis di mana keduanya saling berhubungan. Kaum askestis bersikap antiduniawi,
dan memiliki pantangan-pantangan tertentu terhadap hal-hal berbau keduniawian. Mereka
bersikap hati-hati dan cenderung menghindari kebahagiaan atau kenikmatan.
Berkelindan dengan itu, kaum puritan berupaya mengembalikan praktek-praktek
agamis sebagaimana awal-nya. Hal ini tak hanya tampak lewat upaya mereka meniru
keseharian hidup orang-orang terdahulu, tetapi juga persetujuan mereka untuk
menerapkan hukum-hukum terdahulu di era sekarang; pencuri dipotong tangan,
pezina dirajam, pembunuh balas dibunuh, dan lain sebagainya.
Dalam batas yang
paling ekstrim, kaum askestis tak hanya mencurigai kebahagiaan, tetapi justru
cenderung menyengsarakan dirinya, membuat hidupnya tak bahagia, bahkan dengan
sengaja melukai dirinya sendiri. Kita bisa melihat ini lewat sosok Silas dalam The Da Vinci Code. Ia tak segan
mencambuki dirinya sendiri hingga berdarah-darah ketika merasa berdosa, atau kurang
maksimal dalam menjalankan tugas yang diberikan Tuhan (baca: Gereja).
Boleh jadi,
contoh askestisme sekaligus puritanisme terkonkrit kita temui dalam laku para
santo di awal kekristenan. Sebagai misal, bagaimana Santo Paulus dan Santo Antonius
yang memilih hidup menyendiri di padang gurun, atau Santo Simeon yang selama 47 tahun hidup di
atas sebuah pilar. Terkhusus Santo Simeon, ada satu riwayat yang masih membuat
saya gemetar kala mengingatnya. Ketika tangan kiri Santo Simeon dipenuhi
belatung, dan sesekali belatung itu jatuh, Santo Simeon justru mengembalikan
belatung-belatung itu ke tangannya sambil berkata, “Makanlah apa yang diberikan Tuhan kepadamu”. Apa yang ditunjukkan
para orang suci ini tak hanya mengabdikan hidupnya untuk berdoa, tetapi juga mengikuti
segenap kesengsaraan dan penderitaan Yesus. Itulah mengapa, dalam tafsir yang
paling konservatif, kebahagiaan bisa berkorelasi langsung dengan “dosa”, ihwal yang
paling harus dihindari dan dimusuhi.
Klinis
Di samping kasus
(ancaman) biologis dan agamis di atas, terdapat pula orang-orang yang takut
bahagia dikarenakan persoalan klinis. Persoalan atau kasus klinis yang dimaksudkan
di sini berada dalam ranah psikologi klinis, yakni berkaitan dengan gangguan kejiwaan
dan perilaku abnormal lainnya. Umumnya, mereka yang takut bahagia dikarenakan
persoalan ini adalah orang-orang yang pernah mengalami kekecewaan dan kesedihan
yang teramat-sangat-dalam di hidupnya. Setelahnya, mereka akan melihat
kebahagiaan dengan penuh prasangka dan kecurigaan. Mereka berpikir jika
kebahagiaan adalah “jebakan” akan kesedihan yang lebih mendalam setelahnya, dan
ini hanya akan memperparah luka.
Ada semacam
kegelisahan yang terus menyelimuti orang-orang seperti ini, bahkan sebagian
dari mereka terjebak pada pemikiran fatalistik: seolah hidup mereka memang
ditakdirkan untuk menderita. Dengan begitu, mereka akan melihat kebahagiaan sebagai
bentuk “penyimpangan”, atau sesuatu yang seharusnya tak mereka dapatkan atau
rasakan. Motivasi penyangkalan pada kebahagiaan dalam kasus ini sangat jelas, yakni
untuk mengantisipasi kesedihan yang kian mendalam nantinya. Orang-orang seperti
ini seakan bisa melihat masa depannya dengan pasti, dan seringkali bagi mereka,
masa depan menjadi lebih menakutkan ketimbang masa lalu.
Inilah yang
menyebabkan mereka bertahan, dan tanpa sadar “menjaga” penderitaannya.
Keengganan untuk menerima kebahagiaan dan menjaga penderitaan itulah yang
menjadi mekanisme alam bawah sadar mereka untuk terus melindungi diri, yakni dari
kesedihan dan kekecewaan yang lebih akut di kemudian hari. Orang-orang seperti
ini biasanya melakukan perbuatan tanpa harapan, karena bagi mereka, harapan
adalah sesuatu yang berbahaya. Mereka betul-betul kehilangan dimensi
eksistensialnya sebagai manusia yang seyogiyanya bebas memilih dan menciptakan.
Jika hidup sudah seperti ini, apakah pantas untuk tetap dijalani?
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment