Agama, Eko-religius, dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan tantangan bersama terbesar yang pernah dihadapi oleh umat manusia. Woodhead (2016) di dalam laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2016 yang membahas peran keyakinan dalam tantangan global sistemik. Ia menyatakan bahwa persoalan perubahan iklim tidak dapat diselesaikan tanpa melibatkan agama. Setidaknya terdapat empat alasan yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama, secara historis tradisi keagamaan memiliki integritas budaya yang teruji, kedalaman spiritual, dan kekuatan moral. Agama dapat menciptakan dan menginspirasi cerita, ritual, dan motivasi yang dibutuhkan untuk perubahan gaya hidup. Kedua, perubahan iklim pada dasarnya adalah masalah keadilan global. Dalam tradisi keagamaan, perhatian terhadap keadilan cenderung menjadi sentral. Sering kali datang dengan penekanan pada tugas untuk mendengar suara mereka yang rentan dan terpinggirkan dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketiga, tradisi keagamaan berperan dalam kepemimpinan. Dalam banyak konteks, para pemimpin agama memberikan pengaruh pada apa yang disebut tingkat akar rumput serta dalam pemerintahan nasional atau internasional. Komunitas agama membentuk jaringan di seluruh dunia. Narasi penderitaan dan solidaritas dibagikan dan memicu tindakan. Perubahan jangka panjang membutuhkan kontribusi para pemimpin agama. Keempat, agama memiliki pengalaman dalam menarasikan harapan dan kemungkinan solusi untuk mengatasi kecemasan terhadap tantangan perubahan iklim.


Di antara institusi sosial, agama sering dianggap sebagai salah satu jalan terpenting untuk nilai, motivasi, moral, dan pandangan dunia. Oleh karena itu, para pengamat telah menyarankan beberapa alasan utama mengapa agama-agama dunia, setelah terlibat, dapat menjadi bagian penting dari respons masyarakat terhadap perubahan iklim (Veldman et al., 2012; Posas, 2007). Pertama, agama mungkin dapat mendorong respons terhadap perubahan iklim melalui pengaruhnya terhadap pandangan dunia atau kosmologi dan kewajiban moral yang mereka promosikan. Kedua, agama mampu melibatkan khalayak luas, banyak dari mereka menerima dan menghormati otoritas moral dan kepemimpinan mereka. Ketiga, agama memiliki sumber daya kelembagaan dan ekonomi yang signifikan. Keempat, agama memiliki potensi untuk menyediakan konektivitas (misalnya dalam bentuk modal sosial) yang mendorong pencapaian tujuan kolektif. Masing-masing karakteristik tersebut dapat diterapkan pada isu perubahan iklim. Singkatnya, agama dianggap sebagai pengaruh penting pada sikap dan perilaku penganutnya selanjutnya serta menjadi aktor sosial yang kuat. Dengan demikian, Kolmes dan Butkus (2015) menyarankan agar para ilmuwan perlu berdialog dengan pemimpin agama tentang bahaya perubahan iklim dan bagaimana agama dapat berperan dalam mengatasinya. 


Restriksi Agama vis a vis Isu Perubahan Iklim


Potensi keterlibatan agama dalam isu perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dikompromikan oleh persepsi bahwa agama adalah anti terhadap isu perubahan iklim dan sains. Haluza-DeLay (2008) menyatakan bahwa teridentifikasi empat jenis hambatan mengapa kelompok agama kurang memiliki kesadaran terhadap lingkungan. Pertama adalah hambatan paradigmatis, yaitu keyakinan teologis atau pandangan dunia yang menonaktifkan kepedulian lingkungan, seperti teologi akhir zaman yang sudah dekat. Kedua, hambatan penerapan, meliputi tingkat perhatian untuk memberikan perhatian lingkungan, yaitu penerapan upaya mereka, terutama jika dibandingkan dengan isu-isu seperti kelaparan atau pembangunan ekonomi dalam menghadapi kemiskinan. Ketiga, kritik sosial yang tidak memadai dapat menjadi penghalang karena kelompok agama mungkin tidak mengenali masalah lingkungan sebagai masalah sosial (bukan berakar pada perilaku individu atau tidak bermoral seperti keserakahan), konsekuensinya adalah kegagalan untuk mengakui akar masalah yang lebih dalam dan memperoleh solusi yang memadai. Keempat, penghalang keyakinan, yaitu kategori yang mencakup faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan atau motivasi untuk bertindak, atau keterikatan pada gaya hidup saat ini. Hambatan-hambatan ini, terutama dua yang terakhir, tidak hanya terjadi pada penganut agama. Norgaard (2011) menyatakan bahwa psikologi sosial menyangkal parahnya perubahan iklim di antara orang Norwegia, meskipun penduduk negara tersebut memiliki pengetahuan iklim tinggi dan kebijakan pemerintah yang sesuai.Hambatan lain juga telah diidentifikasi. Para pemimpin kelompok agama mungkin enggan untuk mengatasi masalah ini. Misalnya, beberapa tokoh agama ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim karena mereka khawatir menangani masalah kontroversial seperti itu akan menyia-nyiakan modal politik mereka. Selain itu, tidak semua pemimpin institusi agama memiliki pemahaman dan wawasan yang memadai tentang krisis lingkungan. Hal ini menyebabkan, para pengikutnya tidak memiliki kesadaran kritis terhadap isu perubahan iklim (Torabi & Noori, 2019). Padahal, para pemimpin agama memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam mendorong pengikut mereka untuk melindungi planet bumi. Mereka dapat menginspirasi para pengikutnya melalui khotbah untuk memulai gerakan lingkungan. 


Agama dapat menjadi alat penting yang dapat digunakan dalam perang melawan perubahan iklim. Agama-agama di dunia memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia dalam merespons perubahan iklim (Veldman et al., 2014). Adanya keyakinan agama di negara-negara Pulau Pasifik yang pro-lingkungan yang memiliki kemauan dan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Tingkat keterlibatan spiritual yang tinggi dengan alam menciptakan kemungkinan untuk komunikasi tindakan adaptif dengan komunitas tersebut. Jika komunikasi dapat terjalin melalui saluran agama, bukan yang sekuler, penerimaan masyarakat akan lebih positif. Dengan demikian, pemimpin agama harus diberitahu tentang banyak masalah, misalnya bahaya terlalu sering menggunakan produk plastik, pentingnya menyelamatkan fauna dan flora, penggunaan air yang berkelanjutan, perubahan iklim dan dampaknya, dan pentingnya menyelamatkan hutan dan dampaknya pada masyarakat berkembang yang bergantung pada industri kehutanan. Pandangan dan saran seperti ini akan membantu memberdayakan para pemimpin agama di dekade mendatang untuk berbagi tugas dengan pengikutnya dalam menyelamatkan dan melindungi lingkungan (Nunn et al., 2016). Ecklund et al., (2016) melakukan penelitian yang menghubungkan skeptisisme perubahan iklim dan evolusi dengan mempertimbangkan hubungan agama dengan keduanya. Hasilnya, agama memiliki hubungan yang lebih kuat dan jelas dengan skeptisisme evolusi dibandingkan dengan skeptisisme perubahan iklim. Temuan tersebut memberi beberapa implikasi bagi upaya peningkatan kepercayaan pada penelitian perubahan iklim .Pertama, baik cendekiawan maupun jurnalis perlu mulai memisahkan skeptisisme perubahan iklim dan skeptisisme evolusi. Kedua, perhatian harus diberikan pada efek kepercayaan dan minat dalam sains. Tingkat kepercayaan diri seorang individu dan ketertarikan pada sains memiliki peran yang signifikan dan kuat dalam mengurangi skeptisisme tentang teori evolusi dan perubahan iklim. Ketiga, para ilmuwan sebaiknya mencoba meyakinkan para pemimpin agama untuk memajukan pendidikan sains dan kepercayaan pada sains di antara konstituen mereka. Penting untuk diketahui bahwa walaupun agama dianggap dapat berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim, tapi agama juga dapat menghalangi solusi bagi perubahan iklim. Hal itu tergantung pada aspek mana dari ajaran teologi dan tradisi agama yang ditekankan. 


Eko-Religius


Keterlibatan agama dalam isu-isu lingkungan telah menjadi gerakan yang berkembang dalam beberapa waktu (Watling, 2015). Gerakan ini terutama terlihat dalam bidang agama dan ekologi, yang berupaya untuk memfasilitasi eksplorasi dan promosi gagasan-gagasan eko-religius dengan menganalisis, membandingkan, dan menggabungkan pandanganpandangan berbeda agama tentang alam dan interaksi manusia dengan alam. Troster (2013) menjelaskan bahwa eko-religius adalah pandangan dunia atau pemahaman agama yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas dan keberlanjutan ekologi. Baginya, eko-religius adalah pendekatan yang memadukan keyakinan agama dengan kesadaran ekologis, sehingga melahirkan tanggung jawab terhadap lingkungan alam sebagai bagian dari pemahaman agama itu sendiri. Ini berarti eco-religious menempatkan lingkungan alam sebagai aspek penting dari keyakinan agama dan mendorong tindakan yang bertanggung jawab terhadap alam sebagai wujud dari penghormatan terhadap ciptaan Tuhan. Eko-religius adalah cara untuk menjembatani pemahaman agama dengan tantangan-tantangan lingkungan yang dihadapi manusia dalam era modern. Pemikiran Troster (2013) memiliki urgensi yang besar dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Ia mendorong kesadaran ekologi dan menghubungkannya dengan keyakinan agama, menjadikan ekologi sebagai bagian integral dari keyakinan. Konsep keberlanjutan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan mengingatkan kita bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi moral terhadap alam. Pemikirannya memotivasi tindakan nyata untuk merawat lingkungan alam dengan menggabungkan nilai-nilai agama dan keberlanjutan ekologi, mengajak kita untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berakar pada keyakinan agama. Dalam era tantangan lingkungan global yang semakin mendesak, pemikiran eko-religius Cobb memiliki urgensi yang kuat dalam membantu manusia menjalani kehidupan yang sejalan dengan alam dan nilai-nilai agama untuk menjaga dan merestorasi ekosistem bumi.


Nasr (1996) mendorong penggabungan keyakinan agama dengan tanggung jawab terhadap alam. Ia menggarisbawahi bahwa agama memiliki peran utama dalam mengilhami perlindungan dan perawatan alam sebagai aspek tak terpisahkan dari kehidupan spiritual. Pentingnya ini tercermin dalam usahanya untuk menyatukan nilai-nilai agama dengan upaya nyata untuk merawat lingkungan sebagai bagian penting dari tugas agama. Selain itu, pemikiran Nasr juga meresapkan pemahaman Islam dalam konteks isu-isu lingkungan, yang memiliki implikasi global signifikan mengingat jumlah besar umat Muslim di dunia. Menurut Sayem (2022), kontribusi pemikiran Nasr adalah dalam mengingatkan individu dan komunitas akan peran sentral agama dalam membentuk kesadaran ekologi dan mendorong tindakan yang berkelanjutan dalam melindungi dan merawat alam, yang pada gilirannya berkontribusi pada usaha global untuk menjaga keberlanjutan planet ini. Konsep eko-religius telah menginspirasi banyak peneliti di seluruh dunia yang telah berkontribusi dalam memahami hubungan antara agama, spiritualitas, dan alam. Di antara mereka, beberapa peneliti yang mencolok. Taylor (2010, 2020) merupakan seorang ahli ekologi dan agama. Ia dikenal karena karyanya dalam mengembangkan konsep “earth religions” atau “ecological religions”. Ia menyoroti bagaimana beberapa agama dan kepercayaan tradisional menghubungkan manusia dengan alam sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Taylor juga meneliti gerakan-gerakan spiritual kontemporer yang mempromosikan pelestarian alam dan aktivisme lingkungan. Grim dan Tucker (2014) merupakan pemikir utama di bidang studi agama dan ekologi. Mereka telah menyelidiki berbagai agama dan budaya di seluruh dunia untuk memahami pandangan-pandangan mereka tentang alam dan lingkungan. Karya mereka menekankan pentingnya dialog antar agama dalam menemukan solusi untuk perubahan iklim dan pelestarian alam, Allison (2016) menyatakan Grim dan Tucker (2014) dalam buku “Ecology and Religion” mencoba membangun jembatan antara praktisi agama dan ilmuwan ekologi, menunjukkan bagaimana agama dapat memberikan kontribusi positif dalam pemahaman hubungan antara manusia dan alam. Selain itu, mereka membahas tantangan dalam mengintegrasikan perhatian ekologi ke dalam berbagai budaya di seluruh dunia dan menyajikan pola-pola umum yang menghubungkan manusia dengan lingkungan. Buku tersebut menghadirkan pandangan inklusif terhadap berbagai tradisi agama dari seluruh dunia dan menunjukkan bahwa pandangan agama tidak terbatas pada monoteisme atau kepercayaan kepada satu dewa saja. Mereka juga mencatat pentingnya memahami peran agama dalam pemahaman tentang motivasi manusia dan perubahan sosial, meskipun terdapat tantangan dan ketegangan dalam dialog ini. Dengan menyajikan pemikiran-pemikiran dari berbagai teolog dan ilmuwan ekologi, buku ini memberikan kontribusi yang berharga dalam menggali hubungan antara agama dan ekologi serta menghadirkan pemahaman bersama tentang kontribusi agama dalam mencapai keberlanjutan ekologi global. 


Berkes (2017) adalah seorang ilmuwan lingkungan dan antropologis. Ia telah mengembangkan pemikiran bahwa banyak budaya dan masyarakat tradisional memiliki pemahaman mendalam tentang lingkungan alam yang dianggap suci. Ia berpendapat bahwa dalam budaya-budaya ini, alam tidak hanya dianggap sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai bagian integral dari sistem kepercayaan dan nilai-nilai spiritual. Ia menekankan pentingnya memahami dan menghormati pengetahuan lokal dan kebijaksanaan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam. Ia berargumen bahwa model-model pengelolaan yang berpusat pada pengetahuan lokal dan kearifan tradisional dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan daripada pendekatan-pendekatan modern yang sering kali mengabaikan nilai-nilai budaya dan spiritual dalam hubungannya dengan alam. Glaeser (2023) menyatakan bahwa respons agama terhadap perubahan lingkungan global dapat mempengaruhi cara manusia memperlakukan lingkungan dunia dan bagaimana hal ini mempengaruhi pandangan terhadap tindakan manusia dan apa yang dianggap sebagai tatanan sosial yang rasional. Konsep-konsep ini telah membentuk situasi budaya saat ini yang menginterpretasikan perubahan lingkungan global sebagai sesuatu yang berisiko. Ia mengusulkan bahwa eko-religius adalah kondisi yang diperlukan untuk mengimplan perilaku ekologis yang rasional. Berry (1999, 2009) mengajukan sejumlah ide pokok yang menghubungkan agama dengan perubahan iklim. Salah satu ide utamanya adalah mengenai hubungan erat antara spiritualitas, agama, dan lingkungan alam. Berry mendorong kita untuk melihat dunia dengan pandangan yang lebih holistik, mengakui keagungan alam sebagai sesuatu yang sakral yang harus dihormati. Ia menegaskan pentingnya mengintegrasikan dimensi spiritual dalam respons kita terhadap krisis lingkungan, termasuk perubahan iklim. Selain itu, Berry juga mengupas tantangan yang dihadapi oleh berbagai agama dalam menghadapi isu-isu lingkungan, dengan mengidentifikasi bagaimana beberapa tradisi agama telah mengabaikan tanggung jawab moral terhadap lingkungan alam. Hal ini membawa kita pada pertanyaan krusial tentang peran positif agama dalam menjaga keberlangsungan bumi. Berry juga menawarkan solusi dengan gagasan bahwa kita perlu mengubah paradigma dari eksploitasi alam menjadi upaya pemeliharaan dan harmoni dengan lingkungan. Ia percaya bahwa dengan menggabungkan spiritualitas dengan usaha pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak, kita dapat merintis gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap alam semesta tempat kita tinggal. 


Rasmussen (2012) menghadirkan ide-ide yang mendasar seputar peran agama dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan lingkungan di dalam bukunya yang berjudul “Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key”. Salah satu ide pokok yang ditekankan dalam buku ini adalah perlunya membangun hubungan yang lebih mendalam antara agama dan ekologi. Rasmussen mengajukan gagasan bahwa agama harus menjadi sumber inspirasi untuk tindakan perlindungan lingkungan, bukan hanya sebagai aspek spiritual yang terpisah. Ia berpendapat bahwa agama harus memimpin perubahan dalam pandangan dunia dan praktik-praktik manusia untuk mengatasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin meningkat. Permasalahan yang diangkat dalam buku tersebut mencakup perdebatan etika seputar eksploitasi alam, konsumsi berlebihan, dan pengabaian terhadap kerentanan ekosistem bumi. Rasmussen secara tegas menyoroti ketidakseimbangan yang ada dalam cara manusia berinteraksi dengan alam, terutama dalam konteks ekonomi global yang didorong oleh pertumbuhan tanpa henti. Ia juga menggambarkan dampak perubahan iklim yang sudah terjadi dan risiko serius yang dihadapi manusia dan lingkungan. Ia mengajak agar ajaran agama dapat menjadi katalisator untuk menghargai alam sebagai sesuatu yang suci dan mendukung tanggung jawab etis terhadap bumi. Ia juga menyarankan untuk membangun komunitas agama yang memprioritaskan pelestarian alam dan tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim, sehingga agama dapat menjadi kekuatan positif dalam menjaga keseimbangan ekologi dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.


Referensi


Allison, E. (2016). Ecology and Religion, by John Grim and Mary Evelyn Tucker. Society & Natural Resources, 29(6), 755–757. https://doi.org/10.1080/08941920.2015.1108813.

Berkes, F. (2017). Sacred Ecology. Routledge. https://www.routledge. com/Sacred-Ecology/Berkes/p/book/9781138071490. 

Berry, T. (2000). The great work: Our way into the future. Crown.

Berry, T. (2009). The sacred universe: Earth, spirituality, and religion in the twenty-first century. Columbia University Press. 

Ecklund, E. H., Scheitle, C. P., Peifer, J., & Bolger, D. (2017). Examining links between religion, evolution views, and climate change skepticism. Environment and Behavior, 49(9), 985-1006.

Grim, J., & Tucker, M. E. (2014). Ecology and Religion (3rd edition). Island Press.

Haluza-DeLay, R. (2008). Churches engaging the environment: An autoethnography of obstacles and opportunities. Human Ecology Review, 15(1), 71-81.

Kolmes, S. A., & Butkus, R. A. (2007). Science, religion, and climate change. Science, 316(5824), 540-542.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature (No. 167). Oxford University Press, USA.

Norgaard, K. M. (2011). Living in denial: Climate change, emotions, and everyday life. Cambridge: MIT Press. 

Nunn, P. D., Mulgrew, K., Scott-Parker, B., Hine, D. W., Marks, A. D., Mahar, D., & Maebuta, J. (2016). Spirituality and attitudes towards Nature in the Pacific Islands: insights for enabling climate-change adaptation. Climatic Change, 136(3-4), 477-493.

Posas, P. J. (2007). Roles of religion and ethics in addressing climate change. Ethics in Science and Environmental Politics, 2007, 31-49.

Taylor, B. (2006). Encyclopedia of religion and nature (2 volumes). New York: Continuum. 259 

Taylor, B. (2016). The greening of religion hypothesis (part one): From Lynn White, Jr and claims that religions can promote environmentally destructive attitudes and behaviors to assertions they are becoming environmentally friendly. Journal for the Study of Religion, Nature & Culture, 10(3), 268-305. 

Torabi, M., & Noori, S.M. (2019). Religious leaders and the environmental crisis: using knowledge and social influence to counteract climate change. The Ecumenical Review, 71(3), 344-355.

Troster, L. (2013). What is eco-theology?. CrossCurrents, 63(4), 380-385.

Veldman, R. G., Szasz, A., & Haluza-DeLay, R. (2012). Introduction: Climate change and religion-A review of existing research. Journal for the Study of Religion, Nature and Culture, 6(3), 255-275.

Watling, T. (2015). Ecology and ReligionÄSystematic Theology and Climate Change: Ecumenical PerspectivesÄAvatar and Nature Spirituality. Journal of Contemporary Religion, 30(3), 509–519. https://doi.org/10.1080/13537903.2015.1081355.

Woodhead, L. (2016). Four reasons why climate change can’t be solved without religion. In The role of faith in systemic global challenges. World Economic Forum.




0 Comments:

Post a Comment