Tradisi Intelektual yang Angkuh
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Tradisi
intelektual yang angkuh di ranah ilmu sosial-humaniora modern dimulai bersamaan
dengan kebangkitan idealisme Jerman yang digawangi oleh G.W.F Hegel, J.G
Fichte, dan F.W.J Schelling. Para filsuf-filsuf ini tak hanya menelurkan karya-karya
yang sulit dicerna dan dipahami, tetapi juga ketika mereka menyampaikan berbagai
pemikirannya secara langsung di hadapan publik; nyaris tak ada yang bisa
memahaminya. Alkisah, seorang perwakilan masyarakat umum yang menghadiri pidato
pengukuhan Guru Besar Fichte bersaksi bahwa selama dua jam lebih mendengarkan
ceramahnya; tak ada satu pun kata atau istilah yang dipahaminya.
Pertanyaannya, mengapa
mereka menelurkan berbagai karya yang sulit dipahami? Apakah ini kesengajaan,
ataukah bukan? Faktual, situasi dan kondisi Eropa abad 17-18 kuat dipengaruhi
oleh kultur feodal dan borjuasi di mana dunia kampus turut terpengaruh olehnya.
Para pemikir kampus sengaja membuat karya-karya dan berbagai istilah yang sulit
dipahami untuk menjaga prestise pengetahuan, yakni agar pengetahuan tetap
terjaga di lingkungan kampus, atau dengan kata lain: tak bisa diakses masyarakat
luar kampus. Hal ini tak lain adalah upaya pelembagaan—juga pengukuhan—feodalisme
dan borjuisme yang ditopang (ilmu) pengetahuan.
Hal lain yang
juga patut disayangkan adalah, nyatanya Karl Marx pun turut terpengaruh oleh
tradisi intelektual yang angkuh. Ia berupaya membebaskan kaum buruh dari
ketertindasan, tetapi tulisan-tulisannya sangat sulit dibaca oleh kaum yang
diperjuangkannya—yang sama sekali tak pernah mencicipi bangku universitas. Dari
sini kita bisa menggugat, kepada siapakah sesungguhnya Marx berbicara? Jangan-jangan,
ia hanya berbicara pada dirinya sendiri.
Lebih jauh, tradisi
intelektual yang angkuh pun masih berlanjut hingga kini. Ketika Anthony Giddens
menelurkan karya-karya yang mudah dicerna seperti The Consequences of Modernity dan The Third Way; ia justru dicemooh oleh kalangan akademik. Dan,
ketika ia kembali menulis berbagai karya yang sulit dipahami; ia kembali menuai
pujian. Perlu dicatat, motivasi tradisi intelektual yang angkuh saat ini
berbeda dari latar kultur feodal dan borjuis Eropa abad 17-18. Di era informasi
dewasa ini, di mana setiap kelas sosial nyaris bisa mengakses informasi yang
sama, tradisi intelektual yang angkuh dimaksudkan pada “yang lain”, yakni
kepentingan tafsir untuk melegitimasi (kebijakan).
Suatu karya yang
sederhana dan mudah dipahami hanya akan melahirkan tafsir yang defisit, bahkan
tunggal. Hal ini berbeda dari sebuah karya yang rumit dan melahirkan beragam
tafsir, pada gilirannya, tafsir-tafsir tersebut dapat digiring (baca:
dimanfaatkan) untuk melegitimasi suatu kepentingan, bahkan yang tak bertanggung
jawab sekalipun.
Sisi baiknya,
kini para pembelajar ilmu sosial-humaniora tak perlu berkecil hati bila sulit
memahami berbagai teks karya pemikir Barat. Kini kita paham jika hal tersebut
tak terlepas dari tradisi intelektual yang angkuh. Satu-dua poin sederhana bisa
menjelma menjadi berbelas-belas bahkan berpuluh halaman subbab buku yang membingungkan,
dan inilah tautologi yang sesungguhnya: upaya menjelaskan suatu ide yang justru
kian mengaburkan penjelasan awal. Tradisi intelektual yang angkuh membuat kita
memaklumi jika teks memang selalu hadir untuk disalahpahami.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
"Hal ini berbeda dari sebuah karya yang rumit dan melahirkan beragam tafsir, pada gilirannya, tafsir-tafsir tersebut dapat digiring (baca: dimanfaatkan) untuk melegitimasi suatu kepentingan, bahkan yang tak bertanggung jawab sekalipun."
ReplyDeleteBerarti kitab suci...?
Yapp, absolutely
Delete